Zayn membolak-balik tubuhnya mencari posisi yang sekiranya nyaman, sofa yang ia rasa begitu kecil membuat pria itu tidak nyaman tidur di sana. Ia melirik ke arah ranjang, masih sangat luas untuk tidur di sisi Ara, namun Zayn tidak mungkin melakukannya.
"Aghtt. Apa aku tidur di kamar tamu saja?" gumamnya beranjak duduk. Sudah hampir pukul 1 pagi namun ia belum tertidur juga karena merasa tidak nyaman tidur di sofa, seumur-umur baru kali ini Zayn tidur di sofa.
Ingin sekali Zayn mengakhiri penderitaannya tidur di sofa sempit dan memilih tidur di kamar tamu yang memiliki kasur yang berukuran besar yang pastinya akan membuatnya nyaman, namun ia tidak tega meninggalkan Ara tidur sendiri di kamarnya. Bagimana jika wanita itu ingin minum dan ke kamar mandi? Pasti ia akan membutuhkan bantuan Zayn bukan?
"Huh." dengus Zayn, dengan keputusan yang bulat. Ia beranjak dari duduknya dan melangkah menuju tempat tidur untuk tidur di atas sana. Zayn mengambil keputusan tersebut karena ia harus segera beristirahat, besok pagi ia akan mulai bekerja di kantor milik papanya. Untuk itu ia harus segera tidur, "Aku akan menjaga jarak dengannya." gumamnya menatap istrinya yang terlelap di sisinya. Zayn meraih bantal peluk lalu menjadikan pembatas antara dirinya dan juga Ara, ia takut akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan saat tertidur.
***
Pagi menyambut, mata lentik milik Ara terbuka dengan pelan-pelan menyesuaikan dengan cahaya di kamar tersebut. Setalah sepenuhnya sadar, Ara merasa sesuatu yang begitu asing berada di atas perutnya.
"Agkhp." Kedua tangan Ara menutup mulutnya dengan penuh keterkejutan saat melihat Zayn tidur di sampingnya dengan setengah telanjang, pun tangannya yang melingkar di tubuh Ara.
"Za-Zayn." tangan Ara bergerak melepas lengan Zayn yang melingkar di tubuhnya, sebelum kemudian ia membangunkan pria itu.
"Jangan menggangguku, aku baru saja tertidur." gumamnya, kembali memeluk erat tubuh Ara yang ia sangkah bantal peluk.
Tubuh Ara meremang saat merasakan hembusan napas Zayn yang menggelitik lehernya, ini sungguh gila. "Zayn." Ara menggeser tubuhnya, ia merasa tidak nyaman berada di posisi seperti saat ini. Kenapa Zayn tiba-tiba tidur di atas ranjang? Bukankah pria itu meminta tidur di sofa?
Ketukan dari pintu kamar membuat Ara yang semula membiarkan Zayn tidur, kini harus membangunkan suaminya itu, "Zayn." Ara menepuk-nepuk lengan tangan Zayn yang melingkar di atas perutnya. Tak butuh waktu lama, Zayn membuka matanya dengan malas. Pria itu terlonjat kaget saat wajahnya berada di leher Ara pun tangannya yang langsung ia tarik. "Eh, ma-maaf." ucapnya beranjak duduk. Zayn melirik ke sekitarnya, mencari bantal peluk yang menjadi pembatasnya,
"Astaga." dengus Zayn seraya menggeleng-geleng kepalanya saat melihat bantal peluk tersebut sudah berada di atas lantai.
Tatapan Zayn kembali mengarah ke arah Ara yang baru saja mengeratkan selimutnya, wanita itu menatap suaminya dengan tatapan penuh selidik apalagi setelah melihat dada telanjang Zayn.
"Aku tidak melakukan apa-apa. Sungguh." ucap Zayn meyakinkan, "Ah, kenapa aku bodoh sekali. Kenapa aku tidak bisa mengontrol tubuhku." batinnya.
Zayn beranjak turun dari atas tempat tidur lalu meraih bajunya yang tergeletak di tepi tempat tidur kemudian memakainya. "Se-semalam aku kepanasan, itu sebabnya aku membuka pakaianku. Aku terbiasa tertidur dengan membuka baju." jelasnya,
Ara tak bergeming, tatapan matanya masih mengarah ke arah suaminya, "Ke-kenapa kau bisa tidur di sini?" tanyanya kemudian.
"Ehm, maaf. Aku tidak terbiasa tidur di sofa, tapi aku janji tidak akan tidur di ranjang lagi bersamamu." ucap Zayn sungguh-sungguh, pria itu masih belum berhenti mengutuki dirinya.
"Zayn, apa kau sudah bangun?" suara milik Papa Vino yang berada di balik pintu membuat perhatian Zayn dan Ara teralihkan ke arah sana.
"Papa." gumam Zayn, pria itu menoleh ke arah Ara sebelum kemudian ia berkata, "A-aku mau membuka pintu dulu." ucap Zayn canggung. Dengan buru-buru ia melangkahkan kakinya ke arah pintu kemudian membukanya.
"Ada apa Pa?" tanyanya sesaat setelah membuka pintu kamarnya.
"Zayn, kau belum bersiap? Ini sudah hampir pukul 8 pagi." seru Papa Vino yang baru saja melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya, pria paru baya itu sudah tampak rapi dengan balutan jas berwarna hitam.
"Astaga." Zayn melongos, ia baru tersadar jika pagi itu ia harus segera ke kantor.
"Cepatlah bersiap." ujar Papa Vino, "Oh iya apa Ara sudah bangun?" sambungnya.
"Iya." Zayn membuka lebar pintu kamarnya dan mempersilahkan papanya untuk masuk.
"Kau sudah bangun nak." Papa Vino mendaratkan tubuhnya di tepi tempat tidur, tepat di sisi Ara.
Ara yang saat itu duduk bersandar di kepala ranjang hanya bisa mengangguk, ia menatap Zayn singkat lalu mengalihkan perhatiannya menatap Papa Vino.
"Apa tidurmu nyenyak?" tangan Papa Vino begerak untuk mengusap lembut lengan menantunya.
Ara kembali mengangguk, "I-iya." jawabnya.
"Baiklah. Sebentar lagi perawat yang akan merawatmu akan segera datang. Kau bisa meminta tolong padanya jika membutuhkan sesuatu."
"Terima kasih Pa." Tatapan mata Ara terlihat sendu, ia merasa bersyukur bisa bertemu dengan keluarga Zayn yang sangat memerdulikannya.
"Buatlah beristirahat. Papa mau ke dapur dulu untuk memberitahu Bi Sumi agar membawakan sarapan untukmu." Papa Vino hendak bangun dari duduknya namun Ara menahan lengan mertuanya tersebut.
"Pa." panggilnya dengan tatapan mata sendu yang mulai berkaca-kaca.
"Ada apa nak? Kenapa kau menangis?" Papa Vino mengusap lembut pipi Ara lalu menyeka air mata yang jatuh dari kedua kelopak mata Ara.
"Terima kasih. Papa dan yang lainnya telah memperlakukanku dengan baik, aku sangat bersyukur untuk itu. Tapi." Napas Ara berembus ke udara, terdengar begitu berat. Wanita itu menyeka air matanya sebelum kemudian ia melanjutkan ucapannya, "Ara tidak bisa seperti ini terus. Ara merasa hanya menjadi beban di kelurga ini."
"Sayang." Papa Vino yang merasa iba langsung memeluk tubuh menantunya itu, "Jangan berkata seperti itu. Papa akan tetap merawatmu hingga kau benar-benar pulih, kau jadi seperti ini karena kesalahan Papa jadi jangan pernah merasa tidak enak hati ataupun menyalahkan dirimu." Melepas pelukannya, "Papa telah menganggapmu sebagai anak Papa." ucapan Papa Vino yang sungguh-sungguh sedikit melunakan hati Ara, bahkan keresahan hati wanita itu sedikit memudar.
"Terima kasih." ucap Ara.
Papa Vino mengangguk seraya mengusap lembut puncak kepala menantunya yang masih dililit perban, "Tidak perlu berterima kasih." ujarnya tersenyum.
"Ada apa Pa?" Zayn yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung berjalan ke arah ranjang dengan raut wajah yang terlihat bingung saat melihat kedua mata istrinya yang sembab.
"Tidak ada apa-apa. Cepatlah bersiap, papa akan menunggumu di meja makan." ujar Papa Vino beranjak berdiri. Pria paru baya itu berpamitan kepada menantunya sebelum kemudian ia meninggalkan kamar tersebut.
Sepeninggalan Papa Vino, Ara langsung mengusap sisa-sisa air matanya.
"Ada apa?" dahi Zayn berkerut dalam, ia masih setia berada di tempatnya. Berdiri di samping ranjang dengan tatapan mata yang menyelidik.
Ara menggeleng, "Apa kau mau ke kantor?" tanyanya mengalihkan pembahasan mereka.
"Eh iya." jawab Zayn lalu ia memutar tubuhnya dan hendak melangkah menuju ruang ganti.
"Maaf." langkah kaki Zayn terhenti, kepalanya menoleh ke arah Ara yang tengah menunduk, "Aku tidak bisa membantu dan menyiapkan keperluan kerjamu." setitik cairan bening kembali jatuh dari kedua pelupuk mata Ara.
Napas Zayn berembus ke udara, ia kembali memutar tubuhnya menghadap ke arah istrinya, "Tidak apa-apa. Aku masih bisa melakukannya sendiri." ucap Zayn meyakinkan. Lalu ia kembali melanjutkan niatnya untuk mengganti pakaiannya.
***
"Aku ke kantor dulu. Jangan lupa untuk meminum obatmu. Oh iya, jika kau merasa jenuh berada di dalam kamar, kau bisa memanggil Bi Sumi atau perawat untuk mengantarmu ke taman belakang." tutur Zayn seraya melingkarkan jam tangan di pergelangan tangannya.
"Iyaa." jawab Ara singkat
"Aku berangkat ya." Zayn mengusap kepala Ara lembut seraya menatap lekat kedua manik mata sendu milik Ara. Setelah mendapat jawaban dari istrinya, Zayn langsung berlalu dari sana.
Di ruang tamu, Zayn di sambut oleh seorang pria yang tidak begitu asing di ingatannya.
"Zayn, kau sudah bersiap. Perkenalkan ini dokter Rian." ucap Papa Vino beranjak bangun dari duduknya saat melihat keberadaan anak bungsunya di sana. Pun dokter Rian yang ikut beranjak dari duduknya.
Pria yang tengah memakai jas berwarna putih itu menarik salah satu alisnya saat matanya bertemu pandang dengan Zayn. Begitupun dengan Zayn yang sedari tadi melemparkan tatapan sengit pada dokter Rian.
"Kau." Tatapan mata Zayn masih sama, ia tidak suka dengan keberadaan laki-laki itu di sana, apalagi ia akan menjadi dokter pribadi untuk Ara.
"Zayn. Dia dokter Rian." ucap Papa Vino lagi.
"Aku tahu." jawab Zayn tanpa mengalihkan tatapannya.
"Tuan Zayn, senang bertemu denganmu lagi." Dokter Rian menjulurkan tangannya seraya tersenyum, namun Zayn tidak merespon uluran tangan laki-laki itu.
"Ehm Papa. Sepertinya aku sudah sangat terlambat. Aku deluan ke kantor." ujar Zayn menoleh ke arah Papanya. Ia melemparkan tatapan bengis pada dokter Rian sebelum kemudian ia meninggalkan ruang tamu.
Dokter Rian tersenyum, "Ternyata dia sudah menikah dengan gadis lain." gumamnya, lalu kembali mendudukan tubuhnya di sofa saat Papa Vino menyuruhnya.
.
.
.
.
.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
alya Zahra
lanjut thor,,,
2021-07-27
0