Ketukan pintu membuat Rey menoleh ke arah sana, dilihatnya Sellin yang baru saja membuka pintu ruangan kerjanya.
"Ada apa?" tanya Rey, mendudukan tubuhnya kembali di kursi kerjanya.
"Ehm, Tuan Vino memanggil bapak ke ruangannya."
"Papa?" Dahi Rey berkerut dalam, kenapa papanya tiba-tiba datang ke kantor.
"Iya pak. Tuan Vino sedang menunggu bapak." Sellin mengulangi perkataannya, mata wanita itu menatap wajah Rey dalam.
Rey menghembuskan napas panjang sebelum kemudian ia berkata, "Baiklah, aku akan ke sana. Oh iya Sellin, tolong siapkan semua berkas untuk meeting nanti siang." ujarnya beranjak dari duduknya.
"Baik pak." ucap Sellin seraya menganggukan kepalanya lalu ia memutar tubuhnya, mengekori Rey yang baru saja keluar dari ruang kerjanya.
Ting. bunyi pintu lift yang terbuka, dengan segara Rey dan Sellin masuk ke dalam sana.
"Ehm Sellin, kenapa papaku tiba-tiba datang ke kantor?" tanya Rey menoleh ke arah Sellin yang berdiri di sampingnya.
"Maaf pak, saya kurang tau. Saya juga terkejut saat melihat Tuan Vino datang ke kantor."
Pikiran Rey membawa pria itu menebak-menebak maksud kedatangan papanya. Baru beberapa hari yang lalu papanya keluar dari rumah sakit, lalu kenapa pria paru baya itu langsung kembali ke kantor untuk bekerja? Apa Papa Vino tidak mempercayai Rey untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi saat ini?
Suara Sellin membuat lamunan Rey terbuyarkan, wanita itu menekan tombol lift yang pintunya hendak tertutup kembali.
"Tuan Rey, kita sudah sampai di lantai 5." ujar Sellin, Rey mengangguk lalu ia keluar dari lift tersebut menuju ruang kerja papanya. Namun tidak dengan Sellin, yang kembali ke lantai 2 untuk melanjutkan pekerjaannya.
***
"Silahkan duduk dulu Rey." Pinta Papa Vino sesaat setelah Rey membobardirnya dengan banyak pertanyaan yang membuat Papa Vino bingung harus menjawab yang mana dulu.
"Tidak Pa. Kenapa papa harus ke kantor? Papa belum sepenuhnya pulih!" seru Rey, ia mencemaskan kesehatan papanya, ia takut jika penyakir jantung papanya kembali kambuh.
"Tenanglah Rey, kemari dan duduklah." Papa Vino mengusap kedua lengan anaknya itu lalu membawanya duduk di sofa yang di dudukinya tadi.
"Papa." Rey mendengus kecil, menatap wajah papanya dalam, wajah yang sudah dihiasi dengan lipatan keriput di beberapa bagian wajah pria itu.
"Rey, papa tidak bisa membiarkanmu menangani masalah ini sendirian, ini perusahaan Papa. Papa akan ikut menyelesaikannya juga, kita bisa menyelesaikannya bersama."
"Tapi pa--." ucapan Rey terhenti saat Papa Vino menggelengkan kepalanya.
"Papa tahu kau mencemaskan kesehatan papa. Tapi papa tidak bisa membiarkan masalah ini semakin menyebar kemana-kemana, beberapa anak perusahaan kita sudah di tutup. Papa tidak ingin anak perusahaan lainnya ikut ditutup Rey." Mata Papa Vino memerah dan berkaca-kaca, membuat Rey semakin tak tega dan merasa bersalah karena tidak bisa menangani masalah perusahaannya dengan cepat.
"Papa." Rey memeluk tubuh papanya, "Maafkan Rey Pa." ucapnya kemudian.
Papa Vino hanya tersenyum seraya melepaskan pelukannya, "Tidak perlu meminta maaf, ini bukan kesalahanmu. Ayo kita bekerja sama untuk menyelesaikan masalah ini, agar tidak semakin menyebar." Rey mengangguk, sekali lagi ia memeluk tubuh papanya yang lemah.
*
"Ada jadwal meeting kita dengan Om Bram dan juga Dimas di jam makan siang, aku rasa papa harus ikut dan membahas kondisi perusahaan dan untuk menjalin kerja sama. Sebelumnya kita belum pernah bekerja sama dengan mereka karena kerja sama kita dan Tuan Dev membawa banyak investor lain. Untuk itu kita tidak bekerja sama dengan perusahaan Om Bram." jelas Rey kepada papanya.
"Baiklah. Dimana kita akan bertemu?" tanya Papa Vino yang tengah duduk di kursi kerjanya.
"Di Restoran milik Zayn." mendengar nama anak bunsunya, Om Vino kembali memikirkan pria itu. Di mana keberadaan Zayn sekarang? Apa anak bungsunya itu masih marah kepadanya?
"Oh iya Rey, apa kau sudah bisa menghubungi adikmu? Dimana dia sekarang nak?" tanyanya menatap Rey sendu. Ya, walaupun perusahaan dalam kondisi seperti ini karena ulah Zayn, namun Papa Vino tidak sepenuhnya menyalahkannya.
"Zayn ada di Jakarta sekarang. Aku belum bisa menghubunginya, kemungkinan Zayn mengganti nomor ponselnya."
"Baiklah." jawaban itu menutup percakapan Rey dan papanya.
***
"Mamii." Panggil Ken berlari masuk ke dalan kamar, menghampiri ibunya yang tengah duduk berselonjor di atas tempat tidur.
"Mamii, mau naik." ucapnya. Tasya tersenyum lalu ia menggendong anaknya itu dan menaikannya di atas tempat tidur.
"Mamii, kata nenek hali minggu kita ke taman hibulan. Benalkah?" tanyanya mencondongkan kepalanya ke arah wajah Tasya.
"Apa nenek mengatakan hal itu padamu?" Mata Tasya membulat ia tidak tahu perihal jalan-jalan di taman huburan yang dikatakan Ken barusan.
"Iya, nenek bilang kita akan pelgi belsama-sama dengan deddy juga." ucapan Ken membuat bibir Tasya mengatup. Hari minggu tinggal 3 hari lagi, apa dalam tiga hari kedepan Rey bisa menyelesaikan kerjanya di kantor, dan bisa menghabiskan akhir pekan bersamanya dan Ken? Tasya rasa tidak. Permasalahan yang di hadapi perusahaan Papa Vino, bukanlah permasalahan kecil. Butuh waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya, namun tidak bisakah Rey meluangkan sedikit waktunya untuk Ken?
"Ehm, sayang. Nanti dilihat ya, doakan saja semoga pekerjaan daddy cepat selesai agar kita bisa pergi ke taman hiburan pekan nanti." Tasya mengusap kepala anaknya sebelum kemudian ia memeluk tubuh mungil tersebut, bukan hanya Ken yang merindukan sosok ayahnya tapi Tasya juga, ia merindukan suaminya itu.
"Baiklah Mamii, Ken akan berdoa kepada Tuhan agal pekeljaan daddy cepat selesai dan daddy bisa belmain belsama Ken."
"Anak pintar." Tasya mengusap wajah Ken lalu membobardirnya dengan kecupan-kecupan singkat hingga membuat Ken berceloteh.
"Mamii geli." Keluhnya gemas, menjauhkan kepalanya dari maminya. Hal itu membuat Tasya semakin gemas dan semakin mengerjai anaknya itu.
Cukup berpuas-puas mengerjai anaknya hingga membuat perutnya sakit karena tertawa, Tasya beralih kepada teleponnya yang baru saja berdering.
"Rey." gumam Tasya mengerutkan dahinya, tumben sekali suaminya menelpon di jam begini.
"Hallo sayang, ada apa? Tumben sekali kau menelponku di saat jam kerja." ucap Tasya sesaat setelah mengangkat telepon dari suaminya.
"Syaa, kau sedang apa?" pertanyaan Rey membuat dahi Tasya semakin berkerut dalam.
"Aku sedang bermain bersama Ken. Ada apa?"
"Oh, baiklah." ucap Rey sebelum keheningan terjadi di antara keduanya.
"Rey." panggil Tasya, setelah beberapa menit tidak mendengar suara suaminya itu.
"Ehm, Syaa. Nanti malam aku tidak kembali ke rumah."
"Kenapa?" seketika raut wajah Tasya berubah, ia sudah berharap suaminya akan kembali ke rumah dan menepati janjinya, namun apa yang terjadi sekarang, suaminya tidak bisa pulang.
"Aku harus ke luar kota. Mungkin selama 3 hari."
"Oh." jawab Tasya singkat.
"Apa kau tidak keberatan? Maafkan aku."
Tasya terdiam, ia menghela napas panjang. "Tidak apa-apa. Aku mengizinkannya, tapi bagimana dengan Ken?"
"Berikan ponselmu kepada Ken. Aku mau berbicara dengannya." Tasya menoleh ke arah Ken yang tengah bermain di sampingnya, "Ken sayang. Daddy mau berbicara denganmu."
Anak kecil itu menghentikan permainnanya seraya menoleh ke arah ibunya, "Daddy?" tanyanya kembali dengan antusias.
"Iya." Tasya meloudspeaker panggilan telponnya agar Ken bisa leluasa mendengar ucapan Rey.
"Deddy. Aku melindukan deddy." ucap Ken.
"Daddy juga merindukanmu."
"Deddy, kata nenek hali minggu kita ke taman hiburan. Ken sudah tidak sabal menunggu hali minggu."
Glek, ucapan Ken membuat Rey menelan ludahnya dengan kasar. "Ehm, maafkan daddy ya Ken. Tapi daddy tidak bisa, daddy masih banyak pekerjaan."
Ken menoleh ke arah Tasya dengan tatapan sendu, lalu memeluk tubuh wanita itu. Sungguh melihat reaksi Ken baru saja, membuat Tasya ingin menangis, ia merasa kasihan dengan anaknya itu.
"Tidak apa-apa Ken. Kau bisa pergi bersama mami, nenek dan juga kakek." tutur Tasya memeluk anaknya erat.
"Iya Ken, kau bisa pergi bersama kakek dan juga nenek." timpal Rey dari seberang telpon.
"Tapi mami, Ken mau belsama deddy." ucapnya lalu anak kecil itu terisak.
"Ken, jangan menangis." Tasya menutup panggilan suaranya, ia beralih pada anaknya yang saat ini tengah menangis karena merasa ayahnya tidak meyayanginya.
Ditempat yang berbeda, Rey mengusap kasar wajahnya seraya menarik kuat rambutnya ke belakang. Ia merasa dilema, di satu sisi ia ingin segera menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada perusahaan milik papanya, di sisi lain, ia ingin melungkan waktunya untuk anaknya walaupun sedikit saja, namun hal itu tidak bisa ia lakukan karena harus ke luar kota.
"Rey, apa kau sudah berpamitan kepada Tasya dan juga Ken?" Rey menoleh, dilihatnya papanya yang tengah masuk ke dalam ruang kerjanya bersama Sellin.
"Ehm, su-sudah Pa."
"Baiklah, ayo kita ke restoran X sekarang. Sebentar lagi Tuan Bram dan juga Dimas akan ke sana." ujar Om Vino. Rey mengangguk, ia merapikan rambut dan juga jasnya yang sedikit berantakan lalu ikut berlalu dari sana bersama papanya dan juga Sellin.
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Elda Gayo
semoga masalah cepat teratasi kasian Kenzo
2021-07-07
0