Pagi dengan rintik hujan, menatap jauh ke sebuah rumah. Abyaz yang saat ini sudah di rooftop rumah, kembali lagi melihat ke arah rumah Damar.
"Kakak."
Al yang mencari kakaknya, dan membawa payung, lalu dia memayungi sang Kakak.
Air mata berteman hujan, dan tatapan itu hanya tertuju pada rumah itu.
"Kak Abyaz ayo masuk. Hujannya tambah deras."
Abyaz sedari subuh sudah berada di rooftop. Pras setelah subuh, menata pakaikan Abyaz, Pras akan menyimpan buku pribadi Abyaz. Bahkan dia juga yang menyimpan ponsel Abyaz.
"Al, kali ini saja."
Al dengan perasaan resah, dia sudah mulai basah kuyup. Tapi demi sang Kakak, dia tetap berdiri disamping Abyaz dan memayunginya.
"Al, sayang Kak Abyaz." Ucapnya, perlahan memeluk Abyaz.
Alishba dan Emran juga mencarinya dan melihat ke atap. Sungguh suasana pagi yang sangat pilu dengan air mata.
"Sepertinya Abyaz terluka batinnya." Ucap Emran dan Alishba menoleh ke arah suaminya.
"Apa maksud kamu Mas?"
"Kemarin aku juga sudah bilang sama Papa. Setelah sampai disana, Abyaz harus mendapatkan perawatan dokter psikiater."
"Adikku hanya berduka Mas. Dia tidak stress."
"Sayang, aku tahu. Tapi dari tatapan Abyaz aku bisa melihat. Dia terkena syok mendalam. Dokter psikiater bukan hanya membantu orang stress, tapi mereka bisa mengobati orang-orang yang terkena tekanan batin."
Alishba masih melihatnya dan berkata "Perlahan, hati dan pikirannya akan menerima keadaan ini."
Alishba merasa suaminya ada benarnya. Tapi tidak harus ke dokter psikiater, dan berharap ada cara lain untuk membuat adiknya tenang. Alishba tidak ingin adiknya berlarut dalam kesedihan.
"Mas Emran, apa tidak ada cara lain?"
Emran yang memayungi Alishba dan menatap ke atas rooftop itu. Dia berkata "Yang aku tahu hanya itu, kita harus mencobanya. Sebelum, nantinya akan terlambat."
Alishba yang bersedekap dan merasa merinding, lalu Emran mengajak istrinya masuk ke dalam rumah. Tadi mereka mencari Abyaz ke rumah Damar, tapi Vava dan Lingga mengatakan Abyaz tidak datang ke rumah itu.
Selama dalam suasana duka, Vava dan Lingga yang mengurus semuanya.
Viral juga masih mendapat perawatan khusus, kedua orang tuanya juga sangat cemas.
Alishba yang masuk ke dalam rumah, dan melihat sang Mama yang berjalan menuruni tangga, mengangkat dua tas.
"Mama, Abyaz ada di rooftop."
Britney menatap Alishba dan berkata "Adik kamu sudah ke atas."
Alishba dan Emran ke atas dengan cepat.
"Bibi tolong ambilkan handuk." Ucap Alishba, dan Emran menyusul ke rooftop.
Emran baru menapaki tangga besi putar, tapi Abyaz dan Alvaro sudah turun lebih dulu.
"Sayang, kamu kehujanan."
Alishba menyelimuti Abyaz dengan handuk dan Alvaro berlari ke kamarnya, untuk segera berganti baju. Alvaro yang kedinginan sudah menggigil.
"Kakak, Abyaz bisa sendiri."
"Ya udah, kamu ganti baju dulu." Ucap Alishba dan Abyaz berganti baju di kamar sang Mama.
Britney tadi pagi sudah menyiapkan baju untuk Abyaz, karena pagi ini mereka bertiga harus pergi.
"Alishba, dimana adik kamu?"
"Di kamar Mama. Dia basah kuyup. Baru ganti baju."
Britney berganti ke kamar Alvaro yang ada di sebelah kamarnya.
Britney mengetuk pintu kamar Alvaro, dan ternyata tidak di kunci.
"Al masih mandi." Gumamnya dan melihat ke arah lemari.
Britney perlahan menata baju-baju Alvaro. Karena dia juga harus ikut Alishba. Sementara Alvaro akan tinggal di rumah Emran.
Britney menata pakaian Alvaro dalam dua koper, dan Alvaro yang keluar dari kamar mandi mengusap rambutnya dengan handuk.
"Mama."
Britney menoleh ke arah Alvaro.
"Al... Kamu sudah selesai mandi."
Alvaro yang mendekat dan Britney memeluk putra tampannya.
"Sayang, sementara kamu harus tinggal di rumah kakak kamu."
"Iya Ma. Mama nggak usah cemas."
"Nanti kalau kamu ujian, Mama akan datang."
"Emmh, Al tahu Ma."
Britney memeluk Alvaro dengan perasaan sendu. Alvaro juga sudah memahami keadaan saat ini. Apalagi setelah di rooftop, dia bisa merasakan hati Abyaz yang sangat terluka.
Biasanya Alvaro meledek sang Kakak, bila Abyaz menunggu telfon dari sang kekasih. Alvaro yang mendekatinya, lalu menggoda sang Kakak. Dan Alvaro akan mengatakan, kalau Mas Damar tidak akan merindukan Kak Abyaz.
"Mama jangan nangis lagi. Al juga sedih kalau lihat Mama nangis." Ucap Alvaro dan mengusap air mata sang Mama.
"Emh, kamu sudah besar."
"Kamu harus rajin belajar, nurut sama Kakak kamu."
"Iya Ma. Al tahu. Al juga nggak akan main kemana-mana. Al juga akan nurut sama Kak Alishba."
"Mama sayang kamu. Jangan lupa sholat. Ingat, alarm ponsel diaktifin waktu subuh. Kadang kamu susah bangunnya."
"Iya Mama. Al tahu, Al juga akan sering telfon Mama."
"He'em, cuma tiga bulan. Nanti kamu nyusul kesana."
"Emms, kalau perlu Al nanti kuliah disana aja."
"Iya, nanti kamu bisa kuliah disana."
Britney mengecup pipi Alvaro. Walaupun Alvaro sudah remaja. Tapi dia sangat dekat sama Mamanya, apalagi anak paling kecil. Tidur saja, terkadang masih minta ditemani Mamanya.
Alvaro juga anak rumahan, jarang bergaul dengan teman yang sekitar rumahnya. Dia hanya mengenal teman yang ada di sekolahnya. Bukannya tipe pilih-pilih, atau tipe pendiam. Tapi Alvaro memang lebih memilih bermain game di rumah dan selalu bersama keluarganya.
"Ayo kita sarapan dulu. Mama udah siapin omelette kesukaan kamu." Ucap Britney yang sebenarnya enggan untuk berpisah. Tapi demi putrinya yang masih dalam perasaan luka. Britney harus berpisah sementara dengan putra tampannya.
Britney keluar kamar lebih dulu, dan Abyaz sudah keluar kamar.
Abyaz duduk di ruang tamu sambil memeluk bantal.
Alihsba yang disebelahnya, tampak menyuapi Abyaz.
"Sudah Kak."
Alishba lalu memegang cangkir dan Abyaz mulai minum teh hangat itu dari tangan kakakmya.
"Sekali lagi ya." Ucap Alishba dan Abyaz hanya menggeleng.
Alishba mengerti dan berkata "Ya udah, kamu harus minum vitamin dari dokter."
"Iya Kak."
Emran dan Alishba masih menemani Abyaz. Tadi Emran juga memeriksa kondisi Abyaz, suhu tubuh dan tekanan darah Abyaz menandakan kondisi stabil, dan tidak ada yang masalah. Hanya saja, batin Abyaz yang masih sakit, dan itu perlu diobati.
"Sayangnya Papa udah makan?" Pras mendekati Abyaz dan mengecup keningnya.
Abyaz hanya tersenyum sekilas saat menatap sang Papa.
"Papa, kita mau kemana?"
"Kita mau ke tempat yang jauh dari sini."
"Jauh?"
Alishba dan Emran meninggalkan Abyaz bersama sang Papa.
"Iya, kita akan pindah."
"Apa kita tidak akan kesini lagi?"
Pras menatapnya dan mengelus rambut Abyaz, lalu berkata "Papa tidak mau melihat putri Papa dalam kesedihan. Jadi, kita harus pergi."
"Papa, Abyaz nggak mau pergi. Abyaz baik-baik saja." Suara Abyaz seolah telah menahan rasa sedih. Tapi, dia mulai menangis lagi.
Pras memeluknya dan berusaha untuk sabar, lalu berkata "Papa sayang kamu. Papa cuma ingin kamu kembali seperti biasanya."
"Papa." Lirihnya.
"Abyaz sayang sama Papa?" Tanya Pras dan memeluk putrinya dengan sabar.
"Iya Pa. Tapi kita nggak harus pergi Papa."
Britney mendekati mereka dan berkata. "Mas, kamu sarapan dulu. Abyaz biar sama aku."
Pras mengerti dan mulai pergi dari ruangan itu.
Britney perlahan duduk di sebelah Abyaz dan berkata "Sayang, tidak semua hal yang kita inginkan, bisa kita capai. Ada kalanya Allah memberi kita ujian, agar kita bisa lebih baik."
Britney mencoba tenang dan mengelus rambut putrinya itu. Abyaz yang masih terdiam, tapi dia mulai berfikir, apa yang dikatakan sang Mama ada benarnya.
Bahkan Abyaz beberapa hari merasa dirinya sudah jauh dari Tuhan-Nya.
Britney menatap Abyaz dan memegang pipinya Abyaz.
"Sayang, kamu boleh mencintai umatNya, tapi kamu tidak boleh mencintainya dengan begini."
Abyaz mulai mengingat setiap sang kekasih menanyakan apakah Abyaz sudah sholat, apakah Abyaz sudah makan, apakah Abyaz sudah mengerjakan tugasnya.
Hujan perlahan mulai reda, dan Abyaz masih mendekap erat bantal sofa. Britney mengerti perasaan putrinya, tapi Britney ingin mencoba menguatkan Abyaz, agar tidak terlalu larut dalam kesedihannya.
Abyaz sudah mulai bisa diajak mengobrol dan Britney mengecup keningnya.
"Kita sebentar lagi akan berangkat."
"Iya Ma."
Britney pergi ke lantai atas dan Abyaz menoleh ke arah luar, hujan telah membasahi pohon-pohon yang ada di halaman depan rumahnya.
Satu jam kemudian
Abyaz yang sudah ada di dalam mobil Lexus warna hitam dan berjalan melewati rumah itu.
"Papa berhenti."
"Abyaz...." Keluh Pras, dan Britney memegang bahu suaminya.
Pras lalu menghentikan mobilnya dan Abyaz hanya membuka kaca mobilnya. Memandangi sejenak rumah itu. Vava dan Lingga juga pergi setelah Britney dan Pras berpamitan, tapi mereka tidak bertemu Abyaz. Karena Pras meminta untuk tidak menemui Abyaz. Baik itu dari keluarga Mahatma atau keluarga Pondok Indah.
"Mas, biarkan dulu." Ucap Britney dan Pras hanya bisa diam.
Ini kisah dari seseorang di antara dua benua.
Akhirnya cinta itu bukan terpisah secara jarak, waktu atau tempat, bukan juga cinta yang tragis. Tapi cinta itu masih tersimpan dalam hati Abyaz, sampai kapanpun akan tersimpan dalam hatinya.
"Mas Damar, selamat tinggal." Ucap Abyaz, kembali menutup kaca mobilnya.
Pras menoleh ke arah Abyaz.
"Sayang..."
"Papa, ayo kita pergi."
Kalian pasti mengerti sampai disini. Itu fotonya di edit juga tidak mau. Othornya nulisnya juga sambil mengusap hidung.
Waktu pertama, ada yang tanya seperti ini "Othor kenapa bukan Alishba yang di buat ceritanya?"
Ini salah satu alasannya.
Alasan othor buat tulisan ini, hanya kisah Abyaz yang buat genana dari awal cerita.
Sebenarnya panjang banget ceritanya, surat-surat dan tulisan Abyaz tidak othor sematkan lagi.
Soalnya, othor tidak sanggup saat merasakan cinta Abyaz.
Ketiga.
Teringat kata Sadewa. Sebenarnya ada obrolan Alishba yang menggoda Abyaz, tapi othor tidak sanggup lagi mengungkapnya.
Kalau mencintai sewajarnya saja, jangan berlebihan mencintai seseorang, apalagi belum menjadi suami.
Ya, bukan hanya pacar atau suami, kalau cinta itu teramat dalam, memang sebenarnya akan menyakitkan bila nantinya berpisah.
Itu alasan Alishba tidak memakai hati tapi dia memakai pikirannya. Dia cinta suaminya, tapi cinta itu juga pakai pikiran jangan asal main hati dan perasaan dalam.
Namanya juga cinta, tidak bisa disalahkan.
Tapi ini kisah Abyaz dan benar adanya. Untuk bagian ini, selebihnya othor rubah. Sesak nafas rasanya, nggak kuat.
Tapi othor akan lanjutkan.
Memang benar, Damar Putra Mahatma telah meninggal dunia di usai 25 tahun. Murni karena kecelakaan.
Pras dan Britney bukan bermaksud menjauhkan Abyaz dari keluarga Mahatma. Tapi, mereka hanya orang tua yang ingin melihat anaknya kembali.
Setiap hari hanya tatapan sendu, bahkan hanya dalam lamunan tanpa air mata, dan sorot matanya kosong.
Pras dan Britney hanya berusaha untuk memulihkan keadaan putrinya, dan semoga bisa kembali kesedia kala.
Terpisah Dua Benua dengan cinta.
Terpisah Dunia Akhirat dengan do'a.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Anny cell
luar biasa thor karyamu...g bisa ditebak..selalu bkin penasaran....semangat thor..
2021-05-04
0
Novi Rohmah
ciri khas karya mu Thor ga bisa ditebak
bagus walau yg ini kebanyakan bawang 😔😔😔
2021-04-25
0
Enny Sutadji
😭😭😭😭😭😭🤧🤧🤧🤧🤧kenapa sih mesti pakai yg sedih" jadi 😭😭😭😭🤧🤧🤧🤧
2021-02-28
0