Berjalan dengan senyuman tengilnya, dan masih memikirkan Binar yang sudah kembali.
"4 tahun, ternyata cepat juga." Gumam Abyaz dan masih berjalan ke arah Masjid.
Suasana hati Abyaz begitu senang, dan mulai menyapa beberapa teman yang dia kenal, setelah tiba di teras Masjid.
Ada sosok tampan yang mengukir senyuman pedas kepada Abyaz.
"Akhirnya dia sholat juga, apa yang membuat dia tobat." Batin Abyaz.
Abyaz sangat tahu, kalau Viral jarang sekali ke Masjid. Apalagi, yang ada di kampusnya. Bahkan dari kecil, Viral tidak mau diajak Abyaz untuk ke TPA. Selalu alasannya, aku ngantuk harus tidur siang, aku harus latihan basket dan sampai SMA juga begitu. Ada saja alasan dia, ketika Abyaz mengajak dia ke Masjid, yang ada di dekat rumah mereka.
"Adiknya sudah kembali. Pasti dia senang." Batin Viral dengan tatapan tidak suka.
Viral lalu berjalan ke tempat wudhu, dan Abyaz mulai berjalan ke tempat wudhu perempuan. Menyingsingkan lengan kaos panjangnya, dan melipat celana jeans yang dia kenakan.
Niat dan do'a dia panjatkan dalam hati. Tapi Abyaz memang senang, bukan hanya karena Binar sudah pulang, tapi Viral sudah berubah.
Semenjak tahu kalau Abyaz berpacaran dengan Damar. Viral tidak lagi mengganggunya.
Entah apa yang Viral pikirkan, yang jelas selama beberapa hari, Viral menjaga jaraknya dengan Abyaz.
Di dalam mobil, Binar menelfon Pakdenya yang tengil.
"Pakde, ini aku."
"Emmh, Binar. Kirain Pakde, mafia yang mau neror Pakde." Ucap Pras seraya menggoda Binar. Saat ini, Pras ada di restorannya.
"Jadi Pakde sama Daddy sekongkol."
"Hemms, Pakde cuma mendukungnya. Tapi kamu memang harus pulang." Ucap Pras, sambil merapikan tanamannya yang baru datang.
Sudah hampir jam 1 siang, Pakde tengil itu baru memandangi tanaman hiasnya. Pras tadi pagi memesan beberapa tanaman hias yang sempat naik daun.
"Pakde dimana?"
"Di tempat biasa."
"Pakde, kenapa aku harus pulang??Bukannya Pakde yang dukung aku pergi. Malah sekarang aku di kawal lagi."
"Bukannya bagus. Anak sultan memang harus begitu Binar. Tunjukan pesona kamu." Ucap Pras dan tatapan matanya hanya melihat ke arah janda bolong.
"Ini semua gara-gara Pakde."
"Mana oleh-oleh buat Pakde?"
Pras yang tengil, senyumannya kali ini hanya untuk janda-janda yang berbaris di depan matanya. Dari janda bolong, janda merah, dan masih banyak jenis janda lainnya yang sudah menggoda mata sang Pakde tengil itu.
"Mana sempat aku bawa oleh-oleh. Aku saja tidak bisa keluar apartemen. Daddy telah menyuruh Mr. Ruk, dia sama saja. Tidak menyerah sedikitpun."
Pras lalu fokus ke telfonnya "Anak tampan! Kamu sudah lulus kuliahnya. Fokuslah membantu Budhe Limar dan Daddy kamu."
"Pakde sama Budhemu, juga sudah malas mendengar keluhan Mommy kamu yang bawel."
"Setiap arisan keluarga, seolah dunia runtuh tanpa kamu."
"Mommy, memang begitu. Pokoknya, kalau sampai aku harus kerja sebelum waktunya. Ini gara-gara Pakde."
"Tapi kamu sangat tampan memakai jas."
"Keren Maksimal!"
"Pasti banyak gadis yang melihat ke arah kamu."
"Pakde tahu dari mana??"
Binar yang menjadi heran. Dia tidak pernah berselfie atau update tentang dirinya.
"Mommy kamu."
"Tadi pagi, dia membuat heboh di grup keluarga."
Suara Binar mendesah pelan, ternyata semua gara-gara sang Mommy.
"Pakde..."
"Apa Pakde sudah kasih restu sama Abyaz?"
"Abyaz? Kalian sudah bertemu?"
"Iya, tadi Binar ke kampus Abyaz, tapi belum banyak cerita."
"Emh, Pakde sudah kasih restu."
"Abyaz, biar merasakan masa mudanya."
"Pakde tidak mau terlalu mengekang dia."
Hanya sebuah obrolan antara Pakde dengan keponakan. Binar dengan gaya dia yang manis menyebalkan, kemudian menutup panggilannya.
"Selamat Abyaz. Akhirnya kamu bisa resmi pacaran."
Tampangnya manis-manis unyu, tapi sesungguhnya dia begitu menyebalkan.
Entah kenapa, Vava begitu menyayangi Binar. Usia 17 tahun dia sudah lulus SMA, umur 18 tahun dia pergi ke Amrik, dan kuliah disana. Lulus sarjana di usia 22 tahun.
Kembali ke Abyaz, yang sudah selesai sholat dzuhur. Duduk di lantai teras Masjid, dan mengikat tali sepatunya.
"Kak,..."
"Sadewa..."
Abyaz masih sibuk dengan tali sepatunya dan Sadewa berjongkok di depannya. Lalu menyerahkan sebuah map.
"Cepat juga." Ucap Abyaz.
"Ini demi Kakak. Kalau tidak, aku juga malas mengerjakannya."
Abyaz tersenyum dan mengusap rambut Sadewa, lalu berkata "Adikku yang pintar. Ayo kita makan. Kakak yang traktir."
Sadewa berdiri, dan menyulurkan tangan kanannya.
Abyaz memengganya erat dan mulai berdiri.
"Kak..." Panggil Sadewa yang berada di sebelah kiri Abyaz.
"Iya, kenapa?"
"Apa, Viral sama Kakak berantem lagi?"
Abyaz menggeleng dan mulai berfikir. Mereka tidak berantem, bahkan tidak ada masalah apapun.
"Memangnya, ada apa dengan Viral?" Tanya Abyaz yang penasaran.
"Nggak sih, aku cuma lihat aja. Tadi Viral di halaman Masjid lihat Kakak cuek aja. Nggak seperti biasanya."
"Memang biasanya kenapa? Kita biasa aja."
Abyaz melihat ke arah Viral yang mengendarai motornya dengan kencang.
"Kalau dulu dia jahil, tapi sepertinya memang dia sudah berubah." Ucap Abyaz dan merasa ada yang salah dengan Viral.
Sadewa bisa melihatnya dan dia berkata "Aku juga dengar, dia putus sama Meta."
Abyaz merasa, sepertinya dirinya ketinggalan info penting. Semenjak berpacaran, Abyaz juga menjauh dari teman-teman kampusnya, dirinya juga lebih suka ke perpustakaan untuk membaca buku.
"Putus?"
"Emmh, aku juga tahunya dari yang lain."
Sadewa dan Abyaz masih berjalan ke arah kantin kampus.
Sadewa cukup pendiam, tidak seperti Nakula yang sok maskulin. Nakula juga suka tebar pesona, tapi dia bukan playboy yang gampang gonta ganti pasangan.
Menurut Nakula pacaran itu ribet, kalau sekedar menggoda cewek dan membuat baper cewek dia ahlinya, apalagi dia memilih jurusan seni peran. Dia ingin jadi aktor film, terkadang dia juga sudah mendapat kontrak film. Ya, walaupun hanya peran pengganti atau pemain pendukung.
Setelah tiba di kantin. Abyaz yang makan, tapi lagi-lagi tidak henti memandangi foto sang kekasih.
"Kak, buruan makannya."
"Emh, iya."
Padahal tinggal 10 menit lagi, dia harus masuk ke kelas mata kuliah romantic & gothic.
"Apa aku, harus tanya Kakak soal itu."
Sadewa dengan senyuman, tapi entah kenapa sepertinya dia menyimpan sesuatu.
"Kakak, segitunya kalau lihatin fotonya Mas Damar."
"Memang kenapa? Apa aku salah?"
Sadewa dengan senyuman manis, dan menatap Abyaz "Bukan salah Kak, cuma akan sakit kalau sampai kalian tidak sampai menikah."
"Apa maksud kamu bilang begitu? Mas Damar bukan Viral yang playboy."
"Bukan maksud aku gitu kak. Tapi kalian belum menikah, hal lain pasti bisa saja terjadi."
"Iiih, jangan bikin aku parno deh. Dek, kamu sama aja sama Kak Alishba."
Sadewa terus menutup telinganya dengan headseat dan berkata "Kakak, aku pergi dulu."
Sadewa yang memengang kedua bahu Abyaz. lalu berbisik "Ingat apa yang aku bilang, jangan terlalu cinta, kalau kalian belum menikah."
"Terima kasih buat baksonya."
Abyaz yang masih duduk, lalu menatap Sadewa yang sudah berjalan pergi dari kantin.
"Apa yang dia katakan?"
"Aku jadi nggak nafsu makan."
Abyaz mulai gelisah, dengan perkataan Sadewa yang begitu misterius.
Mendorong piringnya, dan langsung menggendong tas ranselnya.
"Huft..."
"Kenapa aku jadi memikirkan perkataan Sadewa barusan."
Abyaz lalu pergi ke kelasnya. Kelas yang akan membawa suasana baper. Apalagi dosennya laki-laki, masih sangat muda. Mata kuliah ini, selalu membuat riuh mahasiswa dan mahasiswi yang ada dalam kelas itu.
"Mr. Robert, if they love each other, why can they hurt each other?"
(Pak Robert, jika mereka saling mencintai, kenapa mereka bisa saling menyakiti?"
Setelah satu jam kelas di mulai, seorang mahasiswa yang berkacamata dan cukup manis.
Mahasiswa yang duduk di pojok belakang barisan kanan. Bertanya kenapa dosennya tentang cinta yang menyakiti. Karena dosennya itu, membahas sebuah film yang ditayangkan dan melihat ada adegan perpisahan yang menyakitkan.
"Your name?"
(Nama kamu?)
"Felix"
"Oke Felix, good question."
(Baik Felix, pertanyaan bagus.)
"Love is felt by two people. They are united by the same feelings. It is love."
(Cinta itu dirasakan oleh dua orang. Mereka disatukan oleh perasaan yang sama. Itu adalah cinta."
"But love can be separated, for several reasons. In fact, they love each other. But, a choice or fate that makes them part."
(Tapi cinta bisa dipisahkan, karena beberapa alasan. Padahal, mereka saling mencintai. Tapi, sebuah pilihan atau takdir yang membuat mereka berpisah).
Abyaz hanya mendengarkan penjelasan dari dosennya, dan masih banyak pertanyaan serta penjelasan dari Mr.Robert. Tentang kisah cinta, yang ada dalam film yang ditayangkan tadi.
"Destiny?"
(Takdir?)
Abyaz mulai melamun dan ada seorang kurir yang mengantarkan bunga, buket bunga yang cantik. Bunga mawar putih, yang membuat gadis-gadis lain ingin mendapatkannya.
"Hai, Abyaz. Kamu dipanggil Mr. Robert." Seorang teman yang duduk di sebelah kanannya.
"Abyaz Ali Wardana."
"Yes, Mr. Robert." Jawabnya.
Abyaz langsung berdiri, tampak sedikit terkaget.
"Abyaz Ali Wardana." Ucap Dosen dan berjalan medekat, sudah memegang buket mawar putih yang cantik.
"Yes." Tampak tersenyum dan sedikit malu. Saat dipanggil masih saja melamun.
"The courier delivers flowers for you."
(Ada kurir yang mengantar bunga untuk kamu.)
"Thank you Mr. Robert." Ucapnya, saat dosennya menyerahkan buket bunga itu.
(Terima kasih Pak Robert.)
"From your boyfriend?"
(Dari pacar kamu?)
Abyaz mulai melihat kartu yang terikat di buket bunga itu.
"Yes Mr. Robert." Abyaz dengan senyum dan masih berdiri.
(Iya Mr. Robert.)
"Very romantic. White roses. Symbol of sincere love."
(Sangat romantis. Mawar putih. Simbol cinta yang tulus.)
Abyaz perlahan kembali duduk, dan masih memandangi bunga itu, jari-jari kirinya menyetuh bunga mawar putih, yang segar itu.
"Sangat harum. Mas Damar." Batin Abyaz yang mencium dari wangi bunga itu.
Abyaz tersenyum dan meletakan bunga itu di atas meja. Mr. Robert juga sangat menawan. Dosen yang satu ini, memang selalu menyenangkan.
Damar, setelah mendapat telfon dari Binar tadi, dia terbangun. Damar juga menjadi gelisah dengan ucapan Binar.
Damar mengingat jadwal kuliah Abyaz kalau siang ini, Abyaz ada di kelasnya Mr. Robert. Kebetulan, Damar waktu mengantar Abyaz ke kampus. Melihat jadwal kuliah Abyaz. Dan ini, menjadi kesempatan Damar, untuk mengungkapkan perasaannya.
Walaupun dirinya tidak bisa selalu ada di dekat Abyaz. Tapi Damar tetap ingin membuat Abyaz merasakan cinta, yang tulus dari Damar.
"Mas Damar aku suka." Gumamnya dan kaluar dari kelasnya.
Saat berjalan ke lobby gedung. Sudah ada dua sosok tampan dengan para bodyguard mereka.
Abyaz yang memegang bunga dan masih menatap dua pria tampan itu
"Apa ini sebuah film?" Abyaz masih tertegun tanpa kata.
"Kenapa seperti di film yang tadi aku lihat?"
Abyaz menggeleng, melihat kedua orang itu, seolah akan saling menyerang satu sama lainnya.
"Abyaz aku sudah datang."
"Abyaz, kamu harus pulang sama aku."
Abyaz menghembuskan nafasnya dengan pelan, lalu mengangkat panggilan telfonnya. Setiap jam 3 sore, pasti Damar juga menelfon Abyaz.
"Maz Damar, aku dalam bahaya besar." Ucap Abyaz, yang memegang ponselnya, tapi matanya tertuju pada dua pria itu.
Tadi di dalam kelas, semua orang yang ada di kelasnya, menatap Abyaz saat mendapat kiriman bunga. Dan saat ini dua pria tampan berserta para pengawal mereka berdiri di depan Abyaz. Membuat riuh dan semua mata tertuju padanya.
"Papa jemput Abyaz... Abyaz takut." Batinnya semakin resah.
Hemms,
Menurut kalian cinta Abyaz harus berlabuh untuk siapa?
Apa yang akan terjadi nanti?
Othor mau rehat dulu ya, sambil menghalu manis. hehehe.
Semoga kalian masih setia.
Terima kasih atas like, komentar, dan vote dari kalian semuanya. 🙏
Dua cucu, dan Eyang.
Mungkin akan membuat resah perasaan Abyaz.
Nantikan kisah selanjutnya. 🤗🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Enny Sutadji
Susah banget ya jadi orang cantik dimana mana selalu jadi rebutan dulu mama nya sekarang anak nya
2021-02-27
0
Ibunya Esbelfik
weeeh lariis manniiiisss 😊😊😊😊
2021-01-30
0
Eda Sally
Like
2021-01-29
0