Sesaat memejamkan mata, tersenyum dalam perasaan rindu menyatu dengan cinta.
Anugrah cinta bisa mendatangi siapa saja. Termasuk Abyaz Ali Wardana.
Abyaz yang memakai helm bogo, dan duduk diatas motor, merasakan udara malam. Tampak mengenakan hoodie warna putih yang bertulisan blackpink di bagian punggungnya.
"Al, jangan ngebut." Teriaknya, saat suara jalanan yang riuh, Alvaro yang memakai helm full face, tidak mendengarnya.
Baru jam 8 malam, Alvaro mengajak sang Kakak untuk menemaninya di street food yang lumayan jauh dari rumahnya.
"Anak itu, kenapa aku jadi ingat Mas Damar."
Abyaz yang mendengarkan tentang si kecil yang bernama Tyo. Di usia 6 tahun yang tidak mengenal siapa orang tuanya, dan sudah menjadi pengamen cilik di sebuah pasar.
"Apa dulu Mas Damar seperti itu??"
Abyaz semakin dengan hatinya, lalu dia benar-benar merasakan kesedihan yang pernah dilalui pacarnya.
Damar Putra Mahatma, pemuda 24 tahun, dia di adopsi melalui hukum dan mendapat surat dari lembaga sosial. Karena tidak ada surat dan identitas apapun.
Pagi itu, seorang Eyang yang menyusuri pasar yang tidak jauh dari kediamannya.
Melihatnya seperti putranya yang telah tiada. Dia merasa menyesal atas apa yang telah dia lalukan untuk putranya.
Eyang Dewi, yang memperhatikan dan suka dengan suara Tyo kala itu. Lalu bertanya-tanya tentang Tyo. Dia bilang tidak mempunyai siapapun, dan tidak kenal. Hanya kenal seorang tukang becak, dia juga bukan bapaknya. Dulu Tyo juga seperti anak yang ditinggalkan.
Tukang becak itu hanya merawatnya saja. Bahkan identitasnya tidak ada. Bagaimana buat surat hukum untuk mengadopsinya, tukang becak itu juga susah mencari uang. Hidup bisa makan cukup, bisa bersyukur. Tyo akhirnya di adopsi oleh Eyang Dewi, surat-surat lengkap sesuai hukum. Bahkan Aldo dan Lingga yang mengurusnya, pihak Lembaga sosial hanya menyarankan untuk membuat perwalian seusai aturan hukum.
Akhirnya resmi menjadi anak ke 3 Suryo Mahatma dan Dewi. Jadi masuk daftar keluarga Eyang Dewi. Sudah usia senja tapi sangat senang melihat Damar, nama itu juga Eyang Dewi sendiri yang membuatnya.
Kala itu Limar masih di penjara, hanya Aldo, Eyang Dewi dan Viral. Bunda Hesti juga menjalani perawatan, jadi di rawat di rumah Lingga.
"Mas Damar," Suara tangis Abyaz pecah di keramaian jalanan malam itu.
Tidak ada yang mendengar suara tangis Abyaz. Bahkan sesampainya di street food yang di tuju Alvaro. Abyaz masih menangis.
Karena Damar kecil tahunya agama islam. Damar juga bisa sholat tepat waktu di usia 6 tahun. Eyang Dewi akhirnya tidak merubah keyakinannya. Malah suka dengan Damar yang begitu rajin, bahkan pandai menyanyikan lagu islami dan asmaul husna.
"Tole, iki Eyangmu. Jenenge Damar."
(Nak, ini Kakekmu. Namanya Damar.)
Begitulah Eyang Dewi saat mengenalkan Damar kepada Viral. Viral juga sangat senang.
Viral yang tadinya seperti terkurung, karena Aldo jarang mengajak keluar rumah, di rumah juga tidak ada teman sebaya. Ada Damar, dia semakin aktif bermain, bahkan sangat akur. Damar juga mengerti, dia selalu mengalah dan bisa menenangkan Viral bila menangis.
"Kak Abyaz nangis." Tegur Alvaro yang menoleh kebelakang.
Motor matic yang dia kendarai sudah berhenti, tapi sang Kakak tidak turun dari motornya. Ternyata Kakaknya sedang menangis.
Alvaro yang masih mengenakan helm melepaskan helm Abyaz. Tapi Abyaz masih saja duduk di motor itu. Tangannya mencoba mengelap air mata dan ingusnya sendiri.
"Kenapa Kakak nangis??" Tanya Alvaro
"Itu tadi."
"Apaan?"
"Udah nggak jadi." Balasnya dan mulai turun dari motor itu.
Mereka sudah ada di pinggir jalan, pusat kuliner malam.
"Udah nangisnya?"
Alvaro yang berusaha merapikan rambut Kakaknya.
"Emmh, aku nggak apa-apa."
"Emang ada apa?"
"Cuma ingat Mas Damar."
"Mas Damar di Amrik, jangan ditangisin. Dia juga nggak bakal lihat air mata Kakak."
Abyaz mencubit tangan Alvaro dan berkata "Kakak beneran sedih, malah bilang gitu."
"Laah, emang bener. Mas Damar di Amrik, disana bisa happy-happy, terus yang disini, ngapain nangis-nangis nggak jelas. Baru pacar aja, ditangisin."
"Kamu nggak bakal ngerti."
"Ya udah sana, kakak yang beli Boba. Aku disini aja."
Abyaz dengan kesal dan berkata "Kamu yang ajak Kakak, malah nyuruh Kakak."
"Kakak lihat dong, banyak cewek. Aku risih kalau pada lihatin aku. Ini helm nggak aku lepas."
"Ya kan bisa pakai masker."
"Tetep aja. Udah buruan, aku mau yang original ukuran large."
Abyaz pergi begitu saja, kenapa Abyaz yang harus beli. Bukannya yang ngajak Alvaro. Abyaz kembali mendekati Alvaro.
Tangan kiri Abyaz menadah ke Alvaro.
"Mana duitnya?? Money.... Buruan!"
Alvaro yang masih memakai helm, hanya menyengir. Lalu mengambil dompet dari saku celana jeansnya.
"Ini."
"Tapi ingat, Boba brown sugar ukuran large."
Abyaz hanya diam dan merasa gelisah.
"Mas Damar lagi apa ya?"
Saat duduk menunggu pesanannya, dia masih terus kepikiran dengan sang pacar. Walaupun belum lama pacaran, tapi Abyaz sudah membawa perasaan yang begitu mendalam.
Abyaz yang masih duduk, mengambil ponsel dari saku hoodie yang dia pakai.
Tampak senyuman manis, ketika dia melihat sebuah foto Damar yang sedang makan. Itu kiriman dari Binar, sang adik manis.
"Mas Damar baru sarapan." Jarinya mengusar layar ponselnya.
Abyaz sudah mengambil pesanannya. Dua Boba, brown sugar dan green tea.
"Ini, terus kita kemana?"
"Aku udah nemuin tempat yang pas."
Alvaro mengajak ke sebuah tempat. Abyaz juga sudah membeli beberapa jenis jajanan yang ada di pusat kuliner itu.
"Kenapa kita disini?"
"Disini sepi, dan nggak ada yang lihat aku."
"Dari pada duduk di parkiran, mending pulang aja Dek!!"
Abyaz langsung memakai helmnya, dan Alvaro menggeleng gemas. Tapi siapa yang aneh kalau begini, Abyaz atau Alvaro.
"Iya iya, kita pulang."
Abyaz yang sudah memeluk erat Alvaro diatas motor yang melaju cepat.
Tampak tersenyum manis, apalagi setelah melihat foto yang dikirim Binar padanya.
"Mas Damar, aku padamu." Ucapnya dan seolah ingin menyuarakan lebih kencang. Agar semua orang tahu, kalau dia saat ini telah jatuh hati, kepada pemuda yang bernama Damar Putra Mahatma.
Setibanya di rumah, Abyaz yang melihat mobil sang Papa udah di rumah, berarti Papanya udah pulang dari Bandung.
"Ma, Papa dimana?" Tanya Abyaz.
Abyaz masih seperti anak-anak yang ditinggal sebentar, langsung mencari keberadaan orang tuanya.
"Di kamar mandi." Ucap Britney yang sedang menyiapkan baju suaminya.
Tahu Papanya sudah pulang, Abyaz langsung mencari sang Papa.
"Abyaz... Papa masih mandi."
Suara Britney yang melerai Abyaz. Dari tadi mengetuk-ketuk pintu kamar mandi. Sang Papa tahu, kalau itu kebiasaan Abyaz.
Pras yang masih basah dan hanya melilitkan handuk di atas pinggangnya.
"Papa baru mandi."
"Buruan, Abyaz tungguin."
"Sana dulu."
"Tapi buruan mandinya."
"Iya, sayangnya Papa yang cantik."
Pras yang gemas dengan anaknya, kembali menutup pintu kamar mandinya.
"Papa kamu baru mandi."
"Kamu kenapa?"
"Ems, nggak apa-apa Ma."
Abyaz bersandar di bahu Mamanya dan berkata "Apa Mama pernah nangis kalau di tinggal Papa pergi lama?"
"Nggak nangis, tapi kangen. Suka aja bilang Mas buruan pulang, gitu aja."
"Mama masih suka panggil Mas. Kenapa Ma?"
Britney gemas, anaknya sudah gadis 20 tahun. Tapi banyak sekali pertanyaan sepele. Britney jadi paham dan merasa kalau Abyaz terkena buper pada cinta pertama.
Britney menatap Abyaz dengan senyuman dan berkata "Karena Papa kamu yang minta di panggil Mas. Jadi Mama ya panggil dia Mas terus. Mama sama Papa kamu tua Mama 3 tahun, Papa kamu mau dihormati sebagai suami. Walaupun usianya lebih muda dari Mama."
"Emh, iya aku jadi paham."
Abyaz mengerti dan akhirnya dia keluar dari kamar orang tuanya. Terkadang Abyaz memang seperti anak baru gede.
Di Golden Mansion.
"Mas Lingga, sudah keterlaluan." Ucap Vava dengan kesal.
Lingga yang duduk di ruang baca, baru mulai membaca buku, tapi sang istri yang baru tiba dari Bali. Wajahnya tampak kesal setelah mengetahui kabar tentang anaknya.
"Mas Lingga, udah berapa kali aku bilang. Kenapa Binar sampai pergi ke Texas. Terus ponselnya baru aktif lagi. Kamu blokir semua kartu dia."
Lingga tidak menghiraukan suara istrinya yang begitu bawel.
"Kamu baru pulang jalan-jalan, harusnya sampai di rumah bahagia. Ini malah marah-marah."
Vava keluar dari ruang baca itu dan masih dalam kedongkolan, Lingga tersenyum saat mendengar ocehan istrinya yang membela anaknya.
"Binar pasti sudah bersama Damar." Batin Lingga
Di ruang kamar dan masih dengan perasaan kesal "Daddy macam apa yang begitu, anaknya jauh di negeri orang tanpa diberi uang. Harus bergantung sama Damar."
"Aku harus nyusul Binar."
Vava yang melihat kopernya masih berantakan dan akhirnya dia kembali memilah pakiannya. Sebagian dia keluarkan dan menata dengan rapi, lalu menutup koper itu.
Dengan kekesalan ke kamar mandi dan baru hendak masuk kamar mandi.
"Tenanglah." Lingga memeluknya dari belakang.
Vava hanya terdiam. Perlahan berkata "Kamu sudah berani menyakiti anakku."
"Sayang, Binar anak kita."
"Tapi kamu tega sama dia."
"Dia sudah besar, sesekali kita harus bisa membiarkan dia untuk berusaha sendiri."
"Tapi aku nggak suka sama caramu."
Lingga memutar badan Vava dan akhirnya Vava juga tidak berani membantah suaminya lagi.
Tangan Lingga mengangkat dagu istrinya dan berkata "Mommynya Binar yang cantik, Daddynya Binar juga kangen."
Vava memalingkan wajahnya dan berkata "Aku mau nyusul Binar."
"Hanya karena ini??"
"Mas Lingga!"
"Apa kamu tidak malu??"
Lingga memandangi istrinya yang bawel.
"Anak kita harus bergantung sama Damar. Harusnya kamu siapkan apartemen untuknya, kamu malah menyuruh dia tinggal sama Damar."
"Sayang apa salahnya? Damar bisa menjaga Binar dengan baik. Biarkan Binar belajar dari Damar."
Lingga tersenyum dan memeluknya "Aku tahu, pasti tadi Binar ngadu sama kamu. Berarti dia sudah aman bersama Damar. Kamu tidak perlu cemas."
"Tapi aku masih kecewa sama kamu Mas. Mas Lingga tega sama anakku."
"Hemms, anak kita. Sudah, jangan marah-marah."
Orang tua yang satu ini, setiap masalah anak, pasti menjadi hawa panas dingin.
Lingga dengan cepat mengangkat Vava dan mengajaknya ke dalam kamar mandi.
"Mas turunin aku."
"Aku mandiin, biar segar."
"Aku bisa sendiri."
"Aku mandikan kamu, biar nggak sensi lagi." Suara yang begitu menggodanya.
Suasana malam Daddy dan Mommy Binar, selalu hareudang. Tapi Lingga cukup sabar dengan istrinya yang marah-marah tentang masalah anaknya.
"Tapi aku juga kangen Binar."
"Aku juga, tapi nanti saja kita kesana. Setelah terima raport Batari sama Betari."
"Emmh, iya." Lirihnya.
Binar Jati Lingga
Batari Ayu Lingga
Betari Darra Lingga
3 B yang menggemaskan sang Mommy, sungguh meresahkan perasaan Daddy, karena Mommy selalu membela 3 B.
Apapun masalah anak mereka, entah dari masalah sekolah, nilai ujian, sikap mereka yang menyusahan Mommy dan Daddy, tapi Mommy selalu merasa di pihak yang benar.
Sungguh perjuangan untuk mendapatkan momongan, jadi Vava tidak tinggal diam, bila Daddynya menghukum anaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Anik Adja
jenengnge apik tenan Yo Thor
2021-02-25
1
Mita Karolina
-Limar, Linggar, langit
- Binar, batari, betari
Namanya Jawa bgt tapi terkesan AGUNG apikkkkkk
2021-02-01
1
Rhara
makin keren thorrrrr👍🏼👍🏼👍🏼👍🏼
2021-01-25
2