Embun kembali berlari, tapi kali ini Dia berlari dari sisi tembok rumah mereka. Dia tidak berpikir panjang yang penting lari. Dia tidak tahu tempat sekitar rumah mereka sudah dijaga oleh suruhan Ayahnya.
Pria Misterius yang disebut Embun kolor ijo ikut mengejarnya. Dalam keadaan bingung dan takut, Embun masih berusaha mencari celah untuk lari. Padahal Dia sudah dikepung.
Dengan napas yang memburu, kedua bola matanya masih celingak-celinguk mencari pelarian. Hingga aksinya pun berhenti disaat Dia mendengar suara Ayahnya.
"Siti.... Berhenti, jangan buat Ayah marah." Pria yang berusia sekitar 46 tahun itu yang bernama Pak Baginda Harahap, berteriak dari balkon rumahnya yang terdapat di lantai dua.
Embun mendongak melihat Ayahnya yang kini berkacak pinggang, dengan pakaian khas nya, selalu berjubah dan pakai lobe itu, dengan pandangan kesal.
Entah berapa kali Embun, meminta kepada Ayahnya. Agar namanya jangan dipanggil dengan sebutan SITI, Dia sangat tidak menyukai panggilan itu.
Semua anggota keluarga dan kerabat memanggil Embun dengan panggilan Siti. Hanya Mamanya yang selalu menuruti permintaan putrinya itu. Bahkan Pria yang sangat dibencinya yaitu Paribannya, sewaktu kecil selalu mengolok-olok namanya, yang dianggap kolot.
"Masuk ke rumah! jangan sampai mereka memperlakukanmu dengan kasar." Ucap Ayahnya dengan nada tinggi dari balkon di lantai dua.
"Ini semua gara-gara kamu. Aku akan buat perhitungan denganmu." Umpat Embun kepada si kolor ijo dengan mata melotot dan hendak menonjoknya. Tapi tidak jadi. Karena Embun hanya mengancam.
Sikap Embun kepada si kolor ijo, membuat si kolor ijo sedih.
"Nona, benarkah kamu tidak mengenalku." Gumamnya dalam hati. Dia pun meninggalkan kediaman tuan besarnya itu menuju tempatnya bekerja. Di perkebunan salak miliknya orang Tua Embun.
Melihat tubuh putrinya muncul dari taman belakang rumah dengan penampilan kacau. Mama Nur dengan cepat menghampiri putrinya dengan derai air mata. Embun bersikap malas melihat Mamanya itu.
Dia merasa dijebak, diminta pulang tanpa mau memberi alasannya.
"Sayang, kamu baik-baik saja kan?" Mama Nur nampak begitu panik dan sedih. Ternyata putrinya dalam keadaan tidak baik-baik saja. Tangan Embun yang dipegangnya mengeluarkan darah dari balik baju lengan panjang yang dikenakan Embun.
Embun melap air matanya dan tidak mau melihat dan merespon ucapan Mama Nur. Bahkan Embun menepis tangan Mama Nur yang memeriksa keningnya yang tergores duri salak.
Mama Nur kembali memeluk putrinya itu. Tapi Embun berontak dan ingin lepas. Sehingga Mama Nur mengalah. Dengan perasaan dongkol serta wajah cemberut dan ditekuk. Embun melewati Ayahnya begitu saja yang juga berada di taman itu.
Embun berlari memasuki kamarnya dan menguncinya. Dia menghempaskan tubuh mungilnya di ranjang empuknya. Dia menangis dengan posisi telungkup. Bantal sudah basah karena air matanya.
"Mas Ardi, tolong Aku, Jemput Aku!" Tangisannya semakin kencang saja. Dia ingin menghubungi Ardi kekasihnya. Tapi, ponselnya hilang. Dia juga belum hapal no ponsel si Ardi.
Tok....tok...tok...
"Sayang.... Buka pintunya. Kamu makan dulu ya sayang?" Mama Nur berbicara dibalik daun pintu kamar Embun dengan lembut. Dia ingin membujuk putrinya itu agar mau membuka pintu.
Embun tidak menggubris ucapan Mamanya. Dia tidak selera makan. Dia hanya pingin berkomunikasi dengan Ardi.
Tanpa membersihkan tubuh dan masih dalam keadaan terluka. Dia menuju meja yang sering dibuatnya belajar. Di meja itu selalu ada laptop.
"Aku harus menghubungi Mas Ardi dari sosmed nya. Siapa tahu Dia bisa menolongku." Dengan cepat Embun menyalakan laptop di kamarnya. Tapi tidak mau menyalah, Ternyata laptop itu kehabisan baterai. Dia pun menchargernya.
Setelah menyalah dengan cepat Dia membuka google crome. Dia akan masuk ke sosmed FB. Tapi, nyatanya internet tidak ada koneksi.
"Tidak biasanya, jaringan internet tidak ada di rumah ini. Apa sandinya sudah diganti ya?" Dia masih berusaha mencoba konek, tapi nihil. Sialan....! kenapa sih hidupku jadi menderita begini." Embun melepas hijabnya dengan kasar dan melemparnya kesembarang arah. Dia menangis dan terduduk di sudut kamarnya dekat meja belajarnya.
"Semua keinginan kalian kuturuti, bahkan cita-cita ku juga kalian atur. Aku dari dulu pinginnya jadi Guru. Tapi, kalian tidak mengizinkannya. Sekarang jodohku juga kalian atur. Aku benci semua orang di rumah ini." Embun menangis sambil menekuk lututnya. Teriakan-teriakan Mamanya dari luar kamar, tidak dihiraukannya.
"Siti.... buka pintunya nak! makan dulu ya!" kali ini, suara Ayahnya terdengar lembut. Tapi, tidak digubrisnya.
"Sayang.... Mama bawa makanan kesukaanmu. Buka pintunya ya sayang?" Mama Nur, masih berusaha membujuk putrinya yang keras kepala itu.
"Siti..... buka Nak, jangan buat Ayah kesal." Mendengar Ayahnya mengancam. Akhirnya Embun pun berang.
"Biarkan Aku sendiri.... Kalau kalian masih ribut disitu. Aku akan bunuh diri! Pergi kalian semua, jangan ada ku dengar suara memanggil namaku lagi." Ucapnya dengan menangis histeris.
"Sayang, jangan bertindak bodoh. Jangan lakukan itu nak." Mama Nur menjadi panik dan ketakutan mendengar ucapan putrinya itu.
"Makanya kalian jangan maksa Aku buka pintu. Aku kesal sama kalian semua. Kalian selalu memaksakan kehendak." Suara tangisnya Embun kali ini sudah agak tenang tidak emosional dan histeris lagi.
"Baiklah nak, jangan lakukan hal bodoh ya?"
Embun tidak menjawab. Dia hanya menangis sambil memeluk lututnya dan menenggelamkan wajahnya.
Puas menangis dan merasa tubuhnya sangat gerah. Embun pun membersihkan tubuh dan lukanya yang kena duri salak di lengan, kening dan kakinya.
Dia mengobati lukanya dengan P3K yang ada di kamarnya. Dia memakai baju tidur lengan dan celana pendek. Dia merebahkan tubuhnya di ranjang. Lama memikirkan Ardi, Dia pun tertidur. Mungkin karena kelelahan, sehingga Dia jadi cepat tertidur.
Embun terbangun disaat Dia merasakan sentuhan lembut di kepala dan lengannya. Dia membuka matanya perlahan. Yang pertama dilihatnya adalah Mamanya.
Bagaimana mamanya bisa masuk padahal kamarnya dikunci dari dalam.
"Sudah tiga jam kamu mengurung diri di kamar nak. Ini sudah pukul 3 sore. Kamu juga belum makan kan?" Mama Nur, dengan lembut mengajak putrinya itu berbicara. Dia naik ke tempat tidur putrinya dan duduk disebelah putrinya itu.
Jangankan makan, Sholat Dzuhur pun sudah lewat.
"Ma, Aku tidak ingin menikah dengan si Guru itu." Ucap Embun, Dia mengubah posisinya dengan membuat paha Mamanya sebagai bantal.
Kening Mamanya berkerut, wajahnya bingung. Tapi, Dia masih mengusap-usap puncak kepala putrinya itu dengan sayang.
"Apa maksudmu nak Tara?" Embun menggerakkan kepalanya pertanda mengiyakan ucapan Namanya.
"Mama baru ingat, kamu selalu mengejeknya dengan Guru Gendut." Ucap Mamanya dengan tersenyum dan tertawa kecil.
Dia teringat kejadian 15 tahun yang lalu, Embun dan Tara sering bertengkar dan Embun sangat membenci Tara. Bahkan Embun selalu memanggil Tara dengan panggilan Guru Gendut. Karena memang sewaktu kecil Tara sangat Gendut.
"Tapi, sekarang Dia tidak gendut lagi sayang. Dia sekarang sangat tampan. Kamu sich sampai bersumpah segala tidak mau melihatnya seumur hidup. Sehingga Dia pun takut dengan sumpahmu. Kalian itu akan menjadi pasangan yang serasi.
"Aku tidak mau menikah dengannya, walau Dia sudah tampan atau apapun...!" Embun beranjak dari tempat tidur, Dia berjalan ke arah meja belajarnya.
"Ma, kenapa jaringan internet tidak ada."
"Ayah matikan." Suara bariton itu terdengar dari ambang pintu kamar Embun.
TBC.
Mohon dukungannya dengan memberikan like coment positif rate 🌟 5 dan jadikan novel ini sebagai favorit
Vote ya kak!☺️🌻😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 321 Episodes
Comments
0316 Toiyibah,S,Pd.
semangat thorr,,, bagus ceritamu,,, up terussssdd
2021-11-20
0
Whiteyellow
Terima kasih ya..maaf baru nongol lagi🙏 .boomlike untukmu🤩
2021-03-15
2
Bagus Effendik
Hadir sob
2021-02-14
2