Kota tempat aku dan mas Agam tinggal sangat asri. Kota kecil yang jauh dari keramaian dan padatnya jalanan kota. Papa meminta mas Agam mengerjakan proyek pembangunan pabrik di sini. Sehingga aku harus ikut.
Setiap pagi selalu terdengar suara burung yang saling bersahutan. Hawa sejuk pegunungan membuat tubuhku serta pikiranku menjadi tenang. Pernikahanku yang hampir menginjak satu tahun, belum memilik tanda-tanda akan hadirnya momongan.
Mas Agam tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Dia selalu meyakinkanku, bahwa akan ada hari dimana suara tangis bayi terdengar di rumah kami. Namun sebagai seorang wanita, aku selalu gelisah memikirkan hal itu. Bagaimanapun kesempurnaan seorang wanita? Ada saat dirinya sudah menjadi seorang ibu. Meski mas Agam tidak pernah mempermasalahkannya, tapi kedua orang tuanya pasti menginginkan seorang cucu.
"Hubby, bangun sudah hampir jam 07.00 WIB. Bukankah Hubby harus memeriksa pembangunan proyek!" ujarku membangunkannya. Mungkin mas Agam tidur terlalu larut, sehingga dia tidur kembali setelah sholat subuh.
"Hubby, ayo bangun! Nanti Hubby bisa telat!" ujarku lagi sembari menggoyang-goyangkan badannya pelan.
"Hmmm!" sautnya dengan mata terpejam.
"Hubby, bangun sudah jam 07.00 WIB." ujarku lagi.
"Hmmm!" sautnya.
"Baiklah, kalau Hubby tidak bangun. Aku tidak akan sarapan bersama Hubby. Biarkan saja aku kelaparan!" ujarku kesal. Kurasakan tangannya menahan lenganku.
"Baiklah aku bangun. Jangan marah lagi sayang!" ujarnya, lalu menarikku dalam pelukannya. Alhasil kepalanya bersandar pada perutku yang rata.
"Sayang, maafkan aku. Semalam kamu tidur dalam keadaan lapar. Seharusnya aku menolak permintaan pak RT." ujarnya lirih, lalu mencium lembut perutku.
"Hubby, bukankah dulu pernah mengatakan. Jika tidak ada kata maaf dan terima kasih dalam pernikahan kita. Hubby bisa menerima kelemahanku, kenapa aku tidak bisa menerima kesalahan Hubby?" ujarku santai.
"Hmmm! Aku tahu, tapi tetap aku harus meminta maaf. Istriku yang cantik ini, harus tidur dalam keadaan lapar!" ujarnya sembari memelukku erat. Aku merasa geli, saat kepalanya menyusup dalam hijabku.
"Hubby, jangan seperti ini. Sekarang Hubby bangun, aku akan menyiapkan sarapan!" ujarku, kurasakan kepalanya menggeleng. Kuangkat kepalanya pelan.
"Memangnya Hubby tidak kerja! Bukannya semalam Hubby lembur, karena hari ini akan meninjau proyek!" ujarku sembari menatap kedua bola matanya yang indah. Wajahnya terlihat sangat tampan, meski baru bangun dari tidur.
"Sayang, aku lelah. Aku akan semangat, asalkan kamu memberi aku semangat pagi. Satu saja sudah cukup!" ujarnya nakal.
Cup
"Sudah, sekarang bangun! Cepat mandi, nanti terlambat. Meski Hubby bos, tidak semestinya Hubby terlambat datang. Apalagi ada staf baru, wanita cantik pula. Apa tidak rugi? Kalau sampai terlambat!" godaku, sesaat setelah kecupan pagi yang singkat.
"Sayang, kamu cemburu!" ujarnya datar, aku menggeleng.
"Cemburu untuk orang yang tidak percaya pada dirinya sendiri dan pasangannya. Sampai saat ini, aku masih yakin hanya aku satu-satunya wanita yang Hubby cintai. Aku juga masih percaya, kalau Hubby tidak akan mengkhianatiku!" ujarku final, lalu keluar dari kamar. Aku segera menuju dapur, jika terlalu lama di kamar. Pasti semakin lama mas Agam bersiap, padahal hari sudah sangat tinggi.
Saat aku ke dapur, aku melihat bik Asih sedang memasak. Aku hanya bisa membantu sekadarnya saja. Bik Asih terlihat sedikit gelisah, entah apa yang sedang dia pikirkan? Aku tahu betul, bik Asih orangnya seperti apa?
" Bik Asih, sedang ada masalah? Kenapa dari tadi diam saja? Bik Asih tidak seperti biasanya!" ujarku, menganggetkannya.
"Asthgfirullah mbak Tika, bibik kaget!" ujarnya, sembari memegang dadanya.
"Ada apa bik? Katakan pada Tika. Barangkali Tika bisa membantu. Bibik sudah seperti saudara bagi Tika, jadi anggap Tika seperti putri bibik sendiri!" ujarku lirih.
"Tidak ada apa-apa mbak?" ujarnya menutupi.
"Bik, Tika tahu kapan bibik berbohong? Kapan bibik jujur? Sekarang katakan pada Tika ada apa? Jangan takut Tika akan menjadi pendengar yang baik!" ujarku.
"Suami bibik sakit. Bibik bingung harus bagaimana? Sudah berkali-kali bibik membawanya ke puskesmas, tapi tidak ada hasilnya. Kata mantri yang ada di puskesmas, suami bibik harus dibawa ke rumah sakit besar. Suami bibik harus mendapatkan perawatan lanjutan. Sedangkan bibik tidak ada biaya untuk ke rumah sakit besar!" ujarnya lirih, sembari terisak.
Kupeluk tubuh renta bik Asih, kuberikan dukungan sebagai seorang anak. Meski dia ART di rumahku. Aku dan mas Agam tidak pernah membedakannya.
"Bik, sekarang pulanglah. Aku akan mengantar suami bibik ke rumah sakit, tapi setelah mas Agam berangkat kerja. Bibik tidak perlu memikirkan biaya rumah sakit. Tika yang akan menanggung semua biayanya. Bibik sekarang hanya perlu menjemput suaminya, kita berangkat dari sini bersama." ujarku.
"'Tidak mbak Tika, bibik tidak ingin merepotkan mbak Tika. Selama ini bibik sudah menyusakan mbak Tika dan mas Agam. Biarkan bibik sendiri yang membawanya ke rumah sakit." tolaknya halus, sembari menggeleng lemah. Kupegang kedua bahu yang mulai melemah, kutatap kedua bola mata yang mulai sayu. Sepintas aku teringat akan bunda, ibu yang selalu aku rindukan.
"Bik Asih bukan siapa-siapa bagi kami? Bik Asih sudah seperti ibu bagiku, jadi tidak ada istilah merepotkan atau menyusahkan. Sekarang yang paling penting, suami bik Asih sehat. Apa bik Asih tidak ingin melihat suaminya sehat kembali? Bik Asih jangan lupa! Harta bisa dicari ketika kita sehat, tapi sehat itu tidak akan bisa dicari lagi!" ujarku, bik Asih mengangguk.
Akhirnya bik Asih pulang menjemput suaminya. Tak lama aku dan mas Agam sarapan bersama, mas Agam sempat heran karena tidak melihat bik Asih.
"Hubby, aku bisa pinjam mobilnya. Aku akan mengantar suami bik Asih ke rumah sakit. Jadi nanti Hubby bisa menggunakan mobil sport Hubby!" ujarku, mas Agam mengangguk.
"Memangnya suami bik Asih kenapa?" tanya mas Agam.
"Suami bik Asih sakit sudah sejak lama. Pihak puskesmas tidak sanggup, jadi harus dirujuk ke rumah sakit besar. Selama ini bik Asih diam saja, karena terhalang biaya. Bik Asih merasa tidak enak jika merepotkan kita lagi!" tuturku, mas Agam mengangguk.
"Sayang, nanti hati-hati mengemudinya. Seandainya aku tidak harus melihat pembangunan proyek. Aku sendiri yang akan mengantar. Aku sedikit khawatir, jika kamu mengemudi sendiri. Meski aku tahu kamu bisa mengemudi!" ujar mas Agam khawatir.
"Hubby, selama kamu mengizinkan. Percayalah tidak akan terjadi sesuatu padaku. Jadi Hubby tidak perlu khawatir!" ujarku sembari tersenyum.
Selesai sarapan aku dan mas Agam sama-sama bersiap. Mas Agam akan pergi ke proyek. Sedangkan aku akan pergi mengantar bik Asih ke rumah sakit.
"Assalammualaikum, pak Agam!" sapa pak Adi, RT di wilayahku. Beliau datang bersama seorang wanita cantik berhijab.
"Waalaikumsalam!" jawab aku dan mas Agam hampir bersamaan.
"Ada apa pak Adi datang pagi-pagi?" tanya mas Agam. Aku memanaskan mobil yang akan aku gunakan.
"Maaf sebelumnya pak Agam, saya ingin minta bantuan anda. Saya tidak bisa mengantar Annisa ke proyek, karena pagi ini saya ada rapat mendadak!" ujar pak Adi lirih.
"Maksud bapak, bantuan apa?" sahut mas Agam.
"Saya ingin titip Annisa, agar bisa berangkat bersama bapak. Itupun kalau bapak tidak keberatan. Saya belum sempat membelikan Annisa kendaraan!" ujarnya lagi. Aku hanya diam menyimak, tanpa sedikitpun ingin terlibat.
Aku melihat bik Asih dan suaminya datang. Kubukakan pintu mobil bagian belakang. Aku menghampiri mas Agam untuk berpamitan. Kucium lembut tangan mas Agam, dia membalas mengecup lembut keningku.
"Hubby, aku berangkat sekarang!" ujarku lirih, mas Agam menahan tanganku.
"Sayang, bagaimana menurutmu permintaan pak Adi?" tanyanya.
"Lakukan yang menurut Hubby baik. Aku rasa Hubby mengetahui, jawaban yang paling baik!" sautku, mas Agam menunduk.
"Aku tahu pasti jawaban ini yang kamu berikan! Kenapa kamu tidak langsung melarangku? Agar mudah aku menolaknya!" batinnya.
"Pak Adi, mbak Annisa mari saya berangkat dulu!" pamitku sopan, mereka berdua mengangguk pelan.
"Mas Agam, jika rumah sakit di sini tidak bisa menangani suami bik Asih. Aku akan langsung menghubungi om Bayu!" ujarku, mas Agam mengangguk.
"Aku pergi, assalammualaikum!" ujarku lirih.
"Waalaikumsalam!" saut mereka bersamaan.
...☆☆☆☆☆...
Happy reading😙😙😙
Kalau berkenan jangan lupa like, vote, and, comen. Terima kasih😊😊😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 158 Episodes
Comments
Lin_nda
semangat terus Thor.
aku uda mamlir ya dan pastinya membawa Like
2021-01-30
0
ZEN KAMIL
Next sukaa..
2021-01-21
0
Dewi Ws
💕
2021-01-18
0