"Sebaiknya kamu pikirkan lagi, Khal. Om hanya tidak ingin kamu mengambil pilihan yang salah. Bukannya Om tidak mendukung mu, hanya saja Om tidak ingin kamu akan terluka diakhir. Karena jika kamu tetap akan membawanya untuk pergi tanpa mendapat restu orang tua, hidupmu akan dihantui oleh rasa bersalah pada kedua orangtuanya. Pikirkanlah bagaimana perasaan mereka saat kamu membawa kabur putrinya."
Khal memijit pelipisnya. Bersandar pada kursi kebesarannya. Ia menyudahi meetingnya ketika baru saja dimulai. Pikirannya kacau. Sudah beberapa hari ini, sejak sebulan lalu, ia terus saja dihantui oleh perasaan bimbang. Nasehat sang petuah yang menggantikan posisi orangtuanya itu terus terngiang-ngiang di telinganya.
Hubungan Khal dengan Anggi masih berjalan mulus walaupun kedua keluarga mereka tidak memberikan restu. Bahkan berulangkali Khal mencoba datang untuk berbicara empat mata dengan orang tua Anggi, tapi tetap saja tidak mendapatkan hasil. Khal datang untuk bertemu, namun mereka sama sekali tidak pernah membukakan pintunya.
"Apa yang harus aku lakukan jika seperti ini? Aku kasihan juga pada Bella. Keen masih teguh menunggu ku terlebih dulu mengikat wanita, tapi kisah asmara ku tidak semulus dirinya."
Khal mengusap wajahnya dengan kasar. Frustasi seperti ini mulai menjadi kebiasaan yang sering kali ia rasakan. Ingin sekali berpegang teguh pada nasehat Omnya, namun perasaannya masih utuh untuk wanita itu.
"Jika saja Mama masih ada, aku tidak akan pusing untuk meminta pendapat pada siapa. Sudah pasti aku akan menuruti apa yang dia inginkan." Khal mengusap lembut sudut matanya yang sedikit berair.
****
Di tempat lain, seorang wanita cantik berjalan santai, masuk ke dalam Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dengan mimik malas ia terus melangkah menuju pintu keluarnya para penumpang pesawat.
Wanita cantik itu mencari tempat duduk untuk menunggu seseorang. Seseorang yang sangat berati dalam hidupnya, namun ia sama sekali tidak pernah menghargai kehadirannya.
Sesekali ia melirik jam tangannya. Waktu terus berlalu. Hingga kini penantian pun akan segera berakhir. Beberapa orang mulai bermunculan dari dalam pintu keluar.
Segera wanita itu berdiri. Walaupun ia sangat muak, namun ia tidak bisa mengabaikannya. Lelaki ini adalah separuh jiwanya. Hanya karena sang lelaki tidak ingin tinggal di Jakarta, hal itu membuat wanitanya merasa kesal, seolah bisnisnya di Singapura lebih berarti dibandingkan dengan dirinya, begitulah pikirnya.
Tampak seorang lelaki tampan melangkah semakin mendekat ke arah wanita tersebut. Mereka saling melebarkan senyumnya. Ada rasa yang tertahan. Sang lelaki segera membawa wanita itu ke dalam pelukannya.
"Aku merindukanmu,sayang. Kamu terlihat sangat cantik sekali," bisik sang lelaki dan wanitanya hanya memutar bola matanya malas.
Bak seorang kekasih yang sedang kasmaran. Tanpa malu sang lelaki mendaratkan ciuman bertubi-tubi di wajah wanitanya.
"Bagaimana kabarmu selama ku tinggal, hem?" tanyanya.
"Yah, seperti yang kamu lihat. Aku tetap baik dan semakin baik setelah berada jauh darimu."
Kekehan renyah terdengar nyaring. Sang lelaki tampak sangat bahagia, ia menanggapinya sebagai sebuah lelucon. Tidak menyadari jika wanitanya mengatakan sesuatu yang sesuai dengan isi hatinya.
"Baiklah, ayo pulang! Aku sudah tidak sabar lagi melepaskan rindu," bisik sang lelaki sekali lagi.
Dengan merangkul bahu dan mendaratkan ciuman kilas di bibirnya, sang lelaki mulai menuntun wanitanya untuk segera pulang dan ingin segera melepaskan segala kerinduan pada wanita itu.
❤️❤️❤️
"Astaghfirullah haladzim, Keen."
"Benarkah yang kulihat ini?"
"Bagaimana bisa dia melakukan itu, apalagi di depan umum."
Suara berisik itu tidak membuat seorang Keen terusik. Ia masih fokus menatap ke arah pasangan tersebut dengan tajam. Hari ini, adalah hari keberangkatan Keen dengan asisten pribadinya ke Malay, menggantikan kakaknya yang sedang dalam keadaan tidak baik, dan Bella turut serta untuk mengantarkan kekasihnya hingga sampai Bandara.
Namun, sayang sungguh sayang, keduanya baru saja datang dan hendak mencari keberadaan Delon sang asisten, tapi mereka disuguhi oleh pemandangan memuakkan.
Keen menggeram tertahan. Tanpa ia sadari kini kedua tangannya sudah terkepal kuat. Bella yang menyadari kekasihnya sedang meradang karena melihat kejadian itu, seketika langsung memeluknya.
"Sayang, sudah. Jangan terbawa emosi! Biar aku yang mengikuti mereka. Kamu jangan pikirkan kejadian ini!" bisik Bella mencoba untuk menenangkan perasaan.
Setelah mendaratkan ciuman di pipi kiri Keen, Bella pun segera melangkah pergi. Namun Keen menahan tangannya terlebih dahulu.
"Kamu yakin akan mengikuti mereka?" tanya Keen meyakinkan.
Bella mengangguk mantap. Mengusap lengan sang kekasih dengan lembut. Bella tersenyum. "Aku hanya mengikuti mereka dari belakang, jika bisa aku akan memotretnya nanti."
Keen pun mengangguk. Ia tidak bisa apa-apa saat ini. Karena, yah, ia harus segera berangkat untuk melakukan perjalanan bisnis.
Segera ia memeluk tubuh wanitanya sebagai tanda berpisahnya. "Hati-hati, Honey." Bella mengangguk kecil. "Kamu juga hati-hati, sayang."
Keduanya saling melepaskan diri. "Baiklah aku akan segera pergi, takut kehilangan jejak mereka."
Segera Bella memutar tubuhnya. Ia berlari kecil untuk menyusul langkahnya yang tertinggal. Tidak ingin kehilangan jejak pasangan yang membuatnya penasaran tadi.
****
"Assalamualaikum...."
Khal mematung ditempatnya. Dahinya mengerut ketika ia melihat keluarga besarnya berkumpul. Mereka bersamaan mengalihkan pandangannya.
"Wa'alaikumsalam...."
Mereka menjawab bersamaan. "Wah, ini dia yang kita tunggu-tunggu," celetuk Farel.
"Ada apa ini?" tanya Khal bingung.
Khal melangkah masuk ke dalam. Farel berdiri menghampiri Khal yang masih tampak bingung. Ia segera merangkul bahu Khal. "Aku akan segera menikah bulan depan, dan kata Kakak, kamu juga akan segera menikah? Beneran Khal?" tanya Farel antusias.
Keluarga besarnya terlihat masih asyik mengobrol. Om denis, Kayla, Ino, Zeline dan Mama Nina tampak asyik membicarakan mengenai rencana pesta pernikahan Farel.
"Wanita mana yang sudah berhasil mendapatkan hati mu?" bisik Farel Karena merasa penasaran.
"Diamlah! Aku sedang tidak ingin membicarakan tentang dia."
Kini Farel duduk disamping Mama Nina dan Khal ikut duduk di sebelahnya. Semuanya tampak begitu serius. Khal hanya mendengarkan saja. Ada kegelisahan yang sedang ia rasakan.
Pernikahan mewah dan meriah pasti akan dimimpikan oleh setiap wanita, ia berfikir, akankah Anggi bersedia jika ia mengajaknya kabur dan menikah tanpa restu orangtuanya. Pernikahan sederhana dan tidak diketahui oleh publik.
Khal merutuki dirinya. Ia sungguh tak menyangka jika kisah cintanya harus serumit ini. Merasa hati dan pikirannya kacau, Khal seketika berdiri, ia tidak bisa menahan diri lagi untuk tenang di antara mereka.
"Maaf Mama Nina, Om, Tante dan Kakak. Sepertinya Khal tidak bisa lama-lama. Kepala Khal pusing, ijinkan Khal permisi terlebih dahulu."
Dengan keadaan sudah berdiri, Khal menatap semua orang yang sedang duduk tenang di sana. Terkejut mendapati tingkah Khal yang tidak biasa. Mereka pun mengangguk setelahnya.
"Iyah, tidurlah Khal. Kamu pasti capek," balas Mama Nina.
Tak menunggu lagi, Khal pun segera melangkah pergi untuk masuk ke dalam kamarnya. Semua keluarganya mematung menatap kepergiannya.
"Seharusnya, dia bisa merelakan kekasihnya," gumam Mama Nina.
"Saya pun, sudah menasehatinya, Mbak Nin, tapi yah semua tergantung dia," sahut Om Denis.
Yah, kisah asmara Khaleed sudah menjadi rahasia keluarganya. Mereka mengiba keadaannya. Apalagi Zeline, dia merasa sangat kasihan pada adiknya itu.
"Ma, Om, Tan, Zeline ingin pergi menemui Khal sebentar. Kalian lanjutkan saja obrolannya."
Semua mata tertuju padanya. Belum ada yang menganggukkan kepalanya. Hingga suara dari Mama Nina mengalihkan perhatian.
"Apa perlu Mama ikut bersama mu, sayang?"
Zeline baru saja beranjak dari duduknya, tak lama menggeleng sambil berkata, "tidak perlu, Ma."
Mama Nina mengangguk. Segera ia melangkahkan kakinya untuk menyusul Khal ke kamarnya. Kedua mata Ino masih setia mengikuti kemana sosok istrinya melangkah. Menatapnya begitu dalam hingga membuat kedua matanya berkaca-kaca.
"Saya tidak bisa menahan keadaan ini terlalu lama, Om, Ma. Zeline seringkali menangis ketika malam. Ia merasa kasihan pada Khal. Dia tidak seperti Keen yang dengan mudah menurut, tapi Khal sama sekali tidak menghiraukan perkataannya akhir-akhir ini. Saya pun juga tidak dihiraukan olehnya."
"Yang sabar, No. Berdoa saja agar semuanya segera berlalu. Om berharap ia bisa membuka hatinya. Tidak sepatutnya ia menahan diri dari rasa cintanya pada wanita yang akan menikah," tutur Om Denis.
"Mama juga merasa gagal, tidak bisa menggantikan Mbak Nia dalam keadaan ini. Andai saja Mbak nia masih ada," gumam Mama Nina.
Farel pun langsung memeluknya. Memberikan usapan lembut di punggungnya. Semuanya merasa bersalah karena keadaan Khal yang masih tidak berubah. Mereka semua menentang keputusan untuk melanjutkan hubungan dengan wanita itu, namun Khal tidak menghiraukan perkataan mereka.
Di dalam kamar Khal.
Terlihat sosok lelaki sedang duduk ditepi ranjang, ia menatap ke bawah, kedua tangannya bertumpu pada kaki dan digunakan untuk menopang kepalanya. Khal terlihat sangat frustasi.
Tak lama disusul oleh Zeline yang melangkah masuk ke dalam. "Khal, apa yang sedang kamu pikirkan?"
Suara lembut Zeline mengudara. Khal mengalihkan pandangannya. Wajahnya tampak basah, hal itu membuat Zeline semakin iba padanya. Segera mengusap kasar wajahnya. Khal terpaku melihat Kakaknya yang kini telah duduk di samping.
"Kamu masih memikirkan wanita itu? Kamu masih berhubungan dengannya?" tanya Zeline tanpa basa-basi.
Keduanya saling menatap dalam diam. Tak berselang lama, Khal mengangguk. Membuat Zeline merasakan sesak di dadanya.
"Kami saling mencintai, Kak. Hanya karena kedua orangtuanya tidak memberikan restu, lalu kami harus merelakan cinta kami berakhir. Begini saja Khal merasa sangat tersiksa, Kak," ungkapnya. Bibirnya bergetar. Isak tangis mulai terdengar. Zeline tak kuasa menahan diri. Segera ia membawa sang adik ke dalam pelukannya.
"Tenanglah, Khal! Kakak lebih sakit lagi melihat mu seperti ini," bisiknya. Sesaat ia meleraikan pelukannya. Zeline mengusap lembut pipi sang adik yang telah basah.
"Jangan menangis, boy! Cukup kepergian Mama dan Papa saja yang kamu tangisi. Kakak tidak ingin kamu mengalami sakit karena terus bertahan. Kakak tahu jika kamu sangat mencintainya, tapi lihatlah keadaanmu sekarang! Hanya luka yang kamu dapat. Apa kamu bisa menjamin akan bahagia ketika nanti kamu akan menikahinya tanpa mendapatkan restu?"
Zeline meraih kedua tangan Khal. Menatap sang adik dengan begitu dalam. "Jika kamu yakin bisa memberikan kebahagiaan untukmu dan dia, maka Kakak akan membantumu."
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Vera😘uziezi❤️💋
Bab ini Automatis nangis bunda
2021-02-04
0
༄༅⃟𝐐Dwi Kartikasari🐢
pagi" udah mewek...
lanjut thor
semoga sukses dan sehat selalu thor
2021-01-22
0
Umi suyanto
siapa tuh yang dibandara....... yang dikuntit sama Bella..... Anggi kah ?. trus lakinya.... pacar ??
Anggi statusmu saat kamu menerima khal itu seperti apa ?.
calon bini orang lain ???
2021-01-18
0