"Sialan!"
"Apa maksudnya ini? Lo pengen Gue benci sama Anggi?!"
Tubuhnya memanas. Ia sedang terbakar api amarah. Bisikan setan mulai merajai dirinya. Khal melemparkan piring beserta sendok yang dibawanya.
Pyyaaaaaarrrrrrrrr
"Astagaaaa ... Kak," pekik Keen terkejut.
Khal sudah beranjak dari duduknya. Keen mengadakan kepalanya keatas. Menatap dengan tatapan bingung. Namun hal sebaliknya yang dilakukan oleh Khal. Tatapan matanya begitu tajam, seakan siap untuk memangsa lawannya.
"Mending Lo keluar dari kamar Gue!" bentaknya.
Keen mulai merasa panik dan cemas. Bukan seperti ini yang ia inginkan. Ia hanya ingin membuka mata hati sang Kakak agar tidak salah menilai seseorang.
"KELUAR!"
Dalam sekejap amarah Keen memuncak. Ia sangat menyayangi Kakaknya, tidak akan mungkin membiarkan sang Kakak akan terus berada dalam keadaan luka yang terlalu lama.
Keen beranjak dari duduknya. Tatapan matanya tak kalah sengit dari sang Saudara kembar. "Dia sudah menikah, Kak. Mereka sudah menikah kurang lebih tiga bulan dan dia telah menutup kebenarannya dari kita. Suaminya bernama Mahendra Osigar. Pengusaha kaya yang sudah menetap di Singapura, tapi semenjak beberapa hari yang lalu, ia mulai menanam saham di Jakarta. Memulai bisnis baru di sini. Leo sudah menyelidiki semuanya." Keen meluapkan segala rasa dengan sedikit meninggikan suaranya.
Khal mengepalkan kedua tangannya. Tatapan matanya semakin menajam kala hatinya yang merasa tidak terima.
"Jadi, Lo ... sudah menyelidiki semuanya. Agar Lo bisa membuat Gue pergi dan membencinya. Ini pasti akal-akalan Lo aja kan, Keen. Gue tau kalian semua tidak merestui hubungan ku dengannya, jadi Lo mulai bersandiwara."
Bara api semakin membara. Menghanguskan kerendahan dan keikhlasan hati. Khal telah berada di tingkat tertinggi amarahnya. Ibarat air dalam gelas yang terus diisi hingga penuh dan hampir luber.
"Kakak sudah dibutakan oleh cinta. Anggi sudah menikah. Aku dan Bella sudah melihatnya sendiri. Dia menjemput lelaki itu di Bandara, bahkan mereka saling memeluk dan si lelaki tanpa malu menciumnya. Apa yang ada didalam laptop tadi semuanya nyata, Kak. Itu bukan rekayasa." Keen kembali meluapkan api amarah.
Khal sudah berada diluar kesadarannya.
"Kurang Ajar Lo, Keen"
Dengan deru nafas memburu Khal segera melayangkan satu pukulan pada wajah sang adik. Tubuh Keen terhuyung ke belakang. Tidak sampai terjatuh. Keen kembali menegakkan badannya. Menatap begitu dalam ke arah sang saudara kembar.
"Kak."
Keen seakan tidak percaya dengan respon yang diberikan oleh sang Kakak. Seketika itu Keen pun mulai tersulut emosi. Hanya karena wanita gila, sang Kakak berani memukulnya, sungguh sangat disayangkan. Begitu pikirnya.
"Melihat Kakak seperti ini membuatku semakin membenci wanita itu," ungkap Keen dengan penuh amarah.
"Breng sek!"
Khal menghampiri Keen dan kembali melayangkan pukulan. Kali ini Keen bisa menghindar. Keduanya mulai beradu fisik. Saling ingin melumpuhkan lawan.
*Bbuuugh...
Kkkreewwkkk...
Prraaaaanggg...
Klontaangg...
Pyyaaaaaarrrrrrrrr...
Brraaakkk...
Buuugghh...
Eeeeuuuhhhhh*..
Keduanya saling berguling, saling menindih, saling menghimpit, namun dalam keadaan penuh emosi dan saling menyakiti. Bukan hal baru bagi mereka melakukan hal semacam itu. Ketika mereka Kuliah, keduanya lebih sering berlatih ilmu bela diri, walaupun semuanya tahu jika Khal memiliki bakat lebih dari Keen.
Terdengar langkah kaki dari luar yang semakin jelas. Namun, Khal yang kini sudah menguasai keadaan tidak bisa mendengarnya. Ia masih asyik berada di atas tubuh Keen dengan keadaan wajah yang memilukan.
"Astaghfirullah haladzim, Khhaaaaalll!"
Suara teriakkan kencang dari seseorang telah menghentikan aktivitasnya. Khal menoleh ke belakang. Ia begitu terkejut saat mendapati sang Princess sudah berada di ambang pintu sambil melotot dan menutup mulutnya.
Wanita cantik itu tidak sendiri. Di sampingnya ada seseorang yang tidak lain adalah suaminya. Keduanya sangat terkejut melihat keadaan adik kembarnya.
"Apa yang sedang kalian lakukan, hah?" Zeline membentak keduanya. Khal segera beranjak dari atas tubuh sang adik. Zeline dan Ino masuk ke dalam kamar tersebut dengan tergesa-gesa, kemudian mereka segera membantu Keen untuk berdiri.
Wajahnya tampak babak-belur. Dari lecet, luka memar hingga noda darah terlihat jelas di wajahnya. Zeline menangis dengan penuh amarah. Ini adalah pertama kalinya ia menyaksikan sendiri ketika keduanya sedang berkelahi.
"Apa yang sedang kalian permasalahkan?" tanya Zeline dengan membentak. Ino masih menahan tubuh Keen agar tidak ambruk.
"Masalah wanita itu lagi? Tidak mendapatkan restu? Keen tidak setuju? Atau apa?" Masih dengan membentak dan nafas yang memburu. Wanita itu sungguh sangat marah saat ini. Bibirnya bergetar saat berbicara, ia berusaha keras untuk tidak menangis.
"Kali ini lebih dari itu, Kak Zeline," balas Keen.
"Sialan Lo! Jangan ngomong sembarangan!" sahut Khal.
"Diam Khal!" bentak Zeline.
"Sayang, sabar dulu. Kita bahas masa ...."
Zeline sekilas menatap suaminya yang mulai membuka suara. Menahan nafasnya sejenak. Ia tiba-tiba saja merasa kesal karena lelaki itu mencoba menghalangi keinginannya untuk marah.
"Kamu diam saja, biar aku yang urus mereka, Ino!" pungkas Zeline.
Ino hanya menghela nafas. Ia tahu jika istrinya sedang dalam keadaan marah. Tidak akan mungkin bisa ia membujuknya jika keadaan serumit ini. Pada akhirnya ia memilih diam dan pasrah saja. Mengikuti alurnya sesuai dengan keinginan sang istri.
"Katakan apa yang sebenarnya terjadi, Keen!" pinta Zeline dengan keadaan yang masih sama.
"Anggi sudah menikah, Kak. Keen ingin memberitahukan Kak Khal, tapi Kak Khal tidak terima."
"Breng sek! Sialan Lo!"
Seketika itu Khal kembali melangkah maju untuk menghampiri Keen. Kedua tangannya terkepal kuat. Nafasnya memburu dan menggebu. Ia ingin sekali lagi meluapkan amarahnya. Sangat marah setelah mendengar kabar buruk mengenai sang kekasih hati.
Namun, Zeline lebih dulu menahan tangannya. Khal menghentikan langkahnya. Khal menatap ke arah sang Kakak dan Zeline pun sama. Keduanya saling menatap satu sama lain. Saling melemparkan pandangan mata, namun tatapan mata keduanya sangat jauh berbeda.
"Apa yang akan kamu lakukan, Khal?" tanya Zeline dengan suara rendah.
"Tidakkah kamu ingat siapa dia?" Zeline sejenak menghentikan perkataannya. Ia menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya kasar. Amarahnya kini sudah tidak bisa terbendung lagi. Hatinya terasa perih melihat adik kembarnya yang berkelahi hanya karena seorang wanita. Ia tidak tahan lagi. Lelehan air mata telah membasahi pipi.
"Kakak, Kamu dan Keen dibesarkan oleh orang yang sama. Kita besar bersama-sama. Mendapatkan cinta dan kasih sayang yang sama. Tidakkah kamu bisa berfikir jernih, apa yang saat ini telah kamu lakukan padanya?"
Zeline mencoba meluapkan segala rasa yang tertahan. Suaranya terdengar parau akibat menangis. Bahkan untuk menyelesaikan ucapannya saja ia sangat berusaha keras. Rasa sesak di dada membuatnya sedikit susah hanya untuk mengatur nafas.
"Jadi sekarang kamu mulai mengabaikan dia, mulai tidak percaya padanya, atau malah sudah tidak perduli lagi padanya? Katakan Khal?"
"Mungkin sebentar lagi kamu juga tidak akan menganggap ku sebagai Kakakmu jika saja aku memberikan kabar buruk tentang wanita itu."
Zeline sudah dikuasai oleh amarah. Ia tidak bisa berfikir jernih. Hanya ingin meluapkan kekesalannya yang sudah menumpuk di dalam hati.
Wanita itu sudah berada pada keadaan yang terendah. Menangis pilu, tubuhnya bergetar, isak tangis yang sangat memilukan. Bahkan Ino dan Keen sudah ikut serta dalam kesedihannya.
"Jika saja Mama dan Papa masih ada, apa kamu akan melakukan hal ini, Khal? Jika saja mereka masih ada, apa kamu akan tega menyakitinya? Hanya karena seorang wanita," Zeline tidak sanggup lagi melanjutkan perkataannya. Ia semakin merasakan sesak di dadanya. Tangisnya semakin menjadi. Sungguh memilukan.
"Pasti ... Mama ... akan merasa ... sangat sedih."
Sesenggukan. Ino segera melangkah menghampiri istrinya. Ia sungguh marah pada Khal, tidak pernah melihat istrinya yang menangis hingga seperti itu. Segera Ino memeluk tubuh istrinya yang sedang menangis pilu.
"Sebaiknya kamu tanyakan pada wanita mu, Khal. Jangan membuat keributan di sini! Aku tidak ingin melihat istriku menangis seperti ini," ucap Ino dengan sangat tegas.
"Kenapa dia begitu tega ...? Kita sudah ... tidak memiliki Orang tua ... hanya bisa ... berkeluh-kesah padaku ... atau padanya ... tapi dia tega memukulnya." Zeline berusaha keras untuk menyelesaikan ucapannya. Masih dalam keadaan menangis, Ino semakin mengeratkan pelukannya sembari memberikan usapan lembut pada punggungnya.
"Ayo sebaiknya kita keluar dari sini!" bisik Ino.
Dengan perlahan Ino menggiring istrinya untuk keluar dari kamar Khal. Namun, hal yang sangat mengejutkan lagi adalah dua bocah yang telah siap dengan seragam sekolah telah berdiri di depan kamar tersebut. Mereka sedang menangis sembari saling berpelukan.
"Astaghfirullah haladzim ... aku melupakan mereka," gumam Ino
"Hei, jagoan. Ada apa kalian menangis?" tanya Ino.
Keduanya saling melepaskan diri. Menatap nanar pada Ino dan Zeline. Segera keduanya berlari dan memeluk tubuh mereka. Isak tangisnya bahkan semakin nyaring. Mungkin keduanya telah melihat kejadian di dalam kamar, hingga kini mereka ikut menangis.
Kembali pada Khal dan Keen di dalam kamar.
Keen mengusap wajahnya yang telah basah. Membiarkan rasa nyeri dan perih mulai mengambil alih. Ia pun juga tidak bisa menahan diri setelah melihat dan mendengar penuturan dari sang Kakak. Sungguh sedih dan sangat menyentuh hati.
"Maafkan aku, Kak. Aku hanya ingin memberitahu kenyataan. Aku hanya ingin Kakak bahagia, tapi bukan dengan wanita yang sudah menikah. Sekali lagi tolong maafkan aku, Kak!"
Keen mulai membawa langkah kakinya untuk segera pergi. Namun sejenak ia menghentikan langkahnya tepat di samping Khal. "Cukup kali ini saja Kakak membuat Kak Zeline menangis seperti tadi!"
DEG ... DEG ... DEG ...
Hembusan angin mulai dirasakan, bersamaan dengan itu sosok adik kembarnya telah berlalu meninggalkan dirinya. Sesaat kemudian ia mendengar suara pintu yang tertutup.
Zeline, Ino dan Keen telah pergi. Seketika itu tubuh Khal merosot kebawah. Ia sedikit menunduk, seperti sedang sujud. Salah satu tangannya memukul lantai. Berulangkali. Ia mencoba untuk menyalurkan rasa kesalnya, rasa bersalahnya.
Bukan hanya Ino dan Keen saja yang menangis. Kali ini Khaleed juga ikut menangis. Ia sungguh merasa sangat bersalah pada Kakaknya. Jika itu menyangkut Mama atau keluarga, Khal tidak bisa menahan diri. Ia pun juga sangat menyayangi keluarganya, apalagi sosok Mamanya.
Khal terisak semakin kencang. Merasa sangat bersalah. Menyesal karena telah berbuat buruk pada adiknya. Padahal ia sendiri tahu, jika adiknya tidak akan mungkin bisa menyakitinya, namun sekarang ....
"Maafkan aku ... maafkan aku ...."
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Muhammad arfa Ayunda
pecah bgt bab ini 👍😭
2022-09-09
0
Becky D'lafonte
sedih😭😭😭
2022-02-08
0
Resakrvv
menangis bacanya thor 😭 😭 😭
2021-07-02
0