Sebuah mobil memasuki halaman rumah mewah. Benda beroda empat itu terhenti ditempatnya. Seseorang turun dari sana. Melangkah masuk dengan menampilkan senyuman termanisnya.
Wajahnya tampak berseri dari hari sebelumnya. Ia tidak bisa menahan diri dari kebahagiaan yang baru saja diraihnya. Seseorang yang sejak dulu mendiami hatinya kini telah hadir. Berharap jika hubungan yang baru saja terjalin itu akan bertahan hingga menuju akhir dengan mengucap janji suci. Begitulah angannya.
"Assalamualaikum."
Sejenak ia menghentikan langkahnya. Senyumnya melebar ketika menatap sosok bocah yang saat ini sedang menangis dalam gendongan Om tampannya.
"Hey brother, kenapa menangis? Kayak Kak Zeline aja suka nangis."
Seketika itu Om Denis menoleh. Ia baru saja membujuk Reno karena di tinggal oleh sang Kakak dan Mamanya untuk pergi ke acara ulangtahun temannya. Bukan hanya mereka saja, namun David dan Zeline juga ikut pergi bersama karena memang keduanya teman satu sekolahan, bahkan satu kelas pula.
Denis tersenyum. "Baru pulang, Khal?"
"Iyah, Om. Baru datang atau sudah dari tadi?" tanya Khal balik.
"Lumayan, tadi berangkat dari rumah jam lima sore."
Khal menyalimi tangan Om Denis. Mencubit gemas pipi tembem bocah berusia sekitar empat tahunan itu. Tampaknya suasana hatinya memang sedang buruk. Begitu saja Khal mencubit pipinya dan ia pun kembali menangis.
"Khal." Om Denis memperingatkan.
Bukannya takut, Khal malah terkekeh. "Memangnya Reno kenapa sih, Om? Trus pada kemana semua, kok rumah berasa sepi gini?" tanya Khal yang baru saja menyadari sesuatu hal.
"Sudah jangan nangis lagi sayang! Kak Khal jadi bingung tu," bujuk Denis pada putranya.
Setelah dirasa tenang. kini Denis mengalihkan pandangannya kearah Khal.
"David dan Rena sedang pergi ke acara ulangtahun temannya. Reno gak boleh ikut sama Rena. Dia malu kalau ngajakin satu keluarganya," jelas Om Denis.
Seketika itu Khal terbahak. "Ada-ada saja si Rena." Khal menggelengkan kepalanya. "Lha, trus si Deva kemana Om?" tanyanya lagi.
"Kata Zeline, Deva sedang pergi beli buku sama Ino sejak tadi. Tu anak, memang maunya sama Ino mulu. Gak kayak si David."
Khal tersenyum sambil mengangguk. "Iyah, mereka punya idola masing-masing."
Kedua orang itu masih bertahan di tengah ruangan yang bisa menghubungkan ke tempat mana pun. Entah kenapa mereka jadi asyik mengobrol dengan keadaan berdiri seperti itu. Apa tidak capek? Hah... biarkan saja.
"Oyah, kamu udah makan belum? Tu, ada makanan kesukaan mu dan Keen. Tante kamu tadi yang masakin."
Khal pun mengangguk. "Khal baru aja selesai makan, Om. Nanti aja kalau lapar bakal aku makan."
"Yasudah. Eh, kamu kok pulang sendirian aja Khal, Keen kemana?" tanya Om Denis.
"Keen? Ah, Om Denis kayak gak tahu dia aja. Paling juga kencan dengan Bella. Yasudah deh, Om. Khal mau mandi dulu. Gerah."
Setelah Denis mengangguk, Khal pun segera melangkah pergi menuju kamarnya. Suasana hatinya masih berkabut cinta. Bahkan sejak tadi ia sudah tidak sabar untuk segera masuk kedalam kamarnya dan tentu saja ingin menghubungi seseorang.
"Nanti sajalah teleponnya. Aku mandi dulu saja biar fresh."
****
Ditempat lain.
"Sayang, ini bagus gak?" tanya Bella.
Keen menatap malas kemudian menggeleng. "Biasa saja. Gaun yang kamu pilih tidak ada yang pas semua."
Bella memanyunkan bibirnya. Ia merasa kesal mendengar ucapan dari kekasihnya. Entah mengapa akhir-akhir ini Keen seperti tidak nyaman berada di dekat Bella dan hal itu telah dirasakannya dengan begitu nyata.
"Kenapa sih, sayang? Sejak tadi kamu cemberut aja. Bahkan sama sekali tidak bersemangat saat melihatku memakai gaun-gaun itu. Padahal, biasanya kamu sangat senang jika menemaniku belanja."
Keen menghela nafasnya. Ia merasa bersalah pada kekasihnya, namun hal itu tak mengubah hatinya yang sedang gundah. Ia tidak menyadari jika akhir-akhir ini ada orang lain yang turut hadir di dalam hati.
"Hei, kenapa jadi bersedih. Aku hanya terlalu banyak berfikir. Masalah perusahaan membuatku jadi tidak bersemangat, Honey. Kak Khal memintaku untuk memeriksa perusahaan yang ada di Malay," kelakarnya.
Maafkan aku, sayang. Entah kenapa aku terus memikirkan seseorang. batin Keen.
Bella mengerutkan keningnya. "Malay? Kamu akan pergi ke Malay? Kapan?" tanya Bella sedikit terkejut.
"Mungkin besok atau lusa."
Seketika itu raut wajah Bella berubah menjadi sedih. Ia sungguh merasa tidak nyaman. Sudah dua kali ini Keen mencoba menghindar darinya ketika akan diajaknya untuk pergi ke acara pesta temannya.
"Sayang, lusa kan, acara pesta pernikahan Sinta. Apa tidak bisa kalau Kak Khal saja yang pergi? Kemarin pas acara pesta pernikahan Tara, kamu juga gak bisa nemenin aku kan, masa kali ini kamu juga gak bisa temenin aku."
Seketika itu Keen merangkul bahu Bella. "Maaf yah, Honey. Kak Khal pun juga akan pergi ke Singapore setelahnya. Mana mungkin aku tega membiarkan dia sendirian untuk menangani proyek-proyek itu."
Pada akhirnya, Bella harus kembali mengalah. Walaupun sebenarnya ia sungguh merasa kesal, tapi semuanya pun tak bisa ia dirubah. Memang kekasihnya adalah pemimpin perusahaan. Sudah seharusnya ia berbesar hati ketika hal semacam ini terjadi.
"Yasudah deh, kabari aku jika kamu akan berangkat." Bella menghela nafasnya. "Sebaiknya kita pulang saja. Besok aku akan mencari gaun untukku sendiri."
Keen melepaskan rangkulan tangannya. Ia terkejut ketika mendapati sosok kekasihnya yang terlihat murung. Rasa bersalah kembali hadir. Ia pun segera menghiburnya. "Honey, kenapa besok? Mumpung aku masih ada di sini, ayo ku bantu untuk memilih gaun yang indah," ucapnya dengan begitu lembut. Ia berusaha untuk mengembalikan keceriaan sang kekasih.
"Hei, sudah dong. Jangan cemberut gitu!" ucapnya lagi dengan mencium gemas pipi kekasihnya.
Hanya begitu saja dan wanita itu sudah kembali pada kesadaran dirinya. Keceriaan muncul kembali. Keen tampak lebih antusias dari sebelumnya. Ia pun segera membantu Bella untuk mencari gaun cantik yang pas dengan wanita itu.
Hanya beberapa menit saja dan kini Bella sudah mendapatkan gaun cantik yang diinginkannya. Padahal, gaun itu sudah sejak tadi dipilih oleh kekasihnya dan Keen baru saja menyadari jika gaun itu begitu indah.
"Dasar! Makanya, jangan cemberut aja. Sudah ku bilang gaun ini cantik, tapi kamu malah asyik berfikir urusan kantor."
Keen tersenyum. "Maafkan aku, Honey."
Keduanya keluar dari butik tersebut. Segera masuk mobil dan akhirnya Keen pun membawa mobilnya untuk keluar dari butik itu. Mengantarkan Bella pulang kerumahnya sebelum dia sendiri akan pulang kerumahnya.
Ada sesuatu hal yang berbeda dalam dirinya. Merasa akhir-akhir ini atensinya terkuras untuk memikirkan seseorang. Sebisa mungkin ia mengelaknya, namun tetap saja rasa dihatinya begitu terasa nyata.
Tiba-tiba saja lamunan sosok Keen teralihkan oleh suara dering dari ponselnya. Segera ia merogoh saku jasnya. "Kenapa lagi sih?" Keen menggerutu, ia pikir kekasihnya yang menelvon. Eh... ternyata bukan.
Dahinya mengerut. Nama seseorang yang sering kali mengganggu hari-harinya kini muncul di layar ponselnya. Entah mengapa, tiba-tiba saja hatinya berbunga-bunga. Bahkan entah sadar atau tidak. Saat ini ia tersenyum lebar.
"Halo selamat malam," sapanya dengan lembut. Keen melirik jam mahalnya yang melingkar apik di tangan kirinya. Sudah pukul sembilan malam.
Keen tersenyum lebar dengan perasaan campur aduk. ia sungguh merasa bahagia ketika mendengar gelak tawa renyah dari sebrang sana.
"Selamat malam juga, Keen. Astaga, kamu bisa saja. Oyah, kamu ada di mana? Lagi bersama dengan Kakak mu atau lagi keluar? Aku menghubunginya, tapi tak diangkat."
Seakan sudah tidak sabar untuk bertanya. Anggi memberondong Keen dengan berbagai pertanyaan. Sungguh tidak sabar barang semenit saja. Karena wanita itu sangat ingin mendengar suara kaku dari kekasih barunya. Cie-cie... yang lagi kasmaran.
Keen mengerutkan keningnya. Ia merasa ada yang aneh. Biasanya Anggi akan menghubungi dirinya untuk bercerita mengenai Kakaknya. Eh, kenapa sekarang bertanya mengenai telepon yang tidak di angkat. Berarti hubungan mereka semakin bertambah dekat. Sungguh hal itu membuat Keen merasa tidak senang.
Berusaha untuk tenang dalam keadaan hati bergejolak. "Aku sedang perjalanan pulang, Nggi. Tumben kamu menghubungi Kak Khal. Biasanya juga malu kalau menghubunginya duluan. Jadi sekarang sudah tidak ada kata malu lagi?" goda Keen.
Terdengar suara kekehan renyah sekali lagi. Hingga Keen pun itu tersenyum lebar. Masih menerka-nerka apa yang saat ini sedang terjadi di antara keduanya. Anggi dengan Kakaknya.
"Ada kabar bahagia Keen. Kamu pasti kaget jika aku mengatakannya. Ehhmmm... Khal mengungkapkan perasaannya padaku. Kami sudah resmi berpacaran, Keen. Dia berjanji akan secepatnya melamarku."
Begitu senangnya Anggi mengungkapkan kabar gembiranya. Ia benar-benar ingin berjingkrak kesenangan. Lelaki tampan yang sejak dulu dikaguminya kini telah resmi menjalin cinta kasih dengannya. Suatu mimpi yang terwujud dengan sempurna.
Tidak sadar Keen saat ini meremas ponselnya. Tubuhnya kaku dengan hatinya yang terbakar. Rasa sesak tiba-tiba muncul dan semakin menyiksa diri.
Satu menit.
Dua menit.
Tiga menit.
Empat menit.
Lima menit.
"Halo... Keen...."
"Halo... Keen, kamu masih ada di sana?"
"Ah, iyah, iyah, maaf aku sedang mengemudi, Nggi. Jadi tidak mendengar mu tadi. Ada apa?"
Dengan perasaan yang tidak baik, Keen mencoba untuk tetap tenang. Ia sadar, tidak seharusnya rasa itu hadir. Bahkan ia telah mengetahui sejak dulu jika sang Kakak lah yang mencintai wanita itu. Lalu, apa salah jika cinta itu berbalas.
Aku tidak sepatutnya merasakan ini. Anggi memang harusnya untuk Kak Khal. batin Keen.
"Kami resmi menjadi sepasang kekasih, Keen. Kakak mu sungguh romantis sekali dan aku baru saja mengetahuinya hari ini."
Sangat senang, Anggi mencoba membagikan aura kebahagiaannya pada lelaki itu. Namun, sepertinya sang lelaki merasakan sesuatu hal yang sebaliknya.
"Wah, selamat yah. Akhirnya, kamu bisa mendapatkan hati Kak Khal. Jangan lupa untuk mentraktir ku yah! Aku sudah memberikan banyak bocoran tentangnya. Sudah pasti itu tidak gratis."
Anggi kembali terkekeh. Lebih riang dari sebelumnya. "Tentu. Tentu saja aku akan mentraktir mu. Tunggu saja ketika nanti aku tidak sibuk, Oke!"
Anggi sejenak menghentikan perkataannya. Merasakan getaran dari ponselnya. Seketika itu matanya berbinar.
"Eh, ada telepon masuk dari Kakak mu. Ku matikan dulu yah, Bye. Oyah, jangan bicara padanya jika aku menghubungi mu! Selamat malam Keen."
Tut.
Keen masih mematung. Hatinya sudah tak berbentuk lagi. Ia tahu semua ini salah, namun ia sendiri pun tak bisa menolak sebuah rasa yang tiba-tiba saja hadir.
"Tidak seharusnya aku bersedih seperti ini."
Bersambung...
Jangan lupa like yah..
Komen juga..
Terimakasih...
❤️❤️❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Salmah S
Keen ingat kamu sudah ada Bella...
2021-12-13
0
Aulia Nia
kasihan keen cintanya bertepuk sebelah tangan
2021-05-19
0
Farrah
lah.... kok keen gitu sich sama khal....
2021-03-25
0