Selesai adu argument antara Alex dan Beni dengan satpam yang menjaga gedung wali kota, mereka lalu kembali menyusuri kota yang bising dengan vespa Beni untuk menuju ke kedai kopi Litera sambil menunggu senja datang. Sesampainya di kedai kopi Litera mereka langsung masuk dan naik ke atap kedai kopi tersebut.
“Bang Ben, mengapa bisa abang dikasih naik ke atap kedai ini?”
“Dahulu aku kerja sambilan di sini, dua tahun lamanya aku kerja di sini sebelum akhirnya memutuskan untuk berjualan buku. Jadi aku udah cukup dekat dengan pemilik kedai”
“Bang, aku di sini cuma sendiri dan lagi aku rencananya mau mencari uang tambahan untuk dapat mengisi perut”
“Jadi kau mau aku carikan kerjaan?”
“Kalau boleh aku kerja di sini aja bang, jadi pelayan tukang angkat-angkat kopi-pun boleh”
“Aku salut sama kau, kebanyakan anak muda sekarang cuma bisa minta sama orang tuanya. Giliran disuruh kerja, banyak kali alasan mereka”
“Orang tua saya udah lama meninggal bang akibat kecelakaan, sekarang biaya kuliah saya cuma paman yang menanggung”
“Aku turut berduka sama kau Alex, paman kau itu emang kerja apa sekarang?”
“Paman saya cuma jadi buruh tani biasa bang. Lahan yang beliau garap semuanya milik orang bang”
“Sedih juga perjuangan kau. Ya sudah nanti aku coba bicara sama pemilik kedai, mungkin besok atau lusa baru ada jawabannya”
Beni kembali teringat tentang perjuangan dirinya dahulu kuliah yang hampir sama dengan Alex. Dahulu dirinya tidak di ijinkan kuliah oleh orang tuanya, dikarenakan dia harus menjadi anggota polisi atau tentara seperti orang tuanya yang sekarang sudah menjadi perwira polisi.
Akan tetapi Beni menolak permintaan orang tuanya tersebut. Dirinya yang sangat mencintai ilmu pengetahuan terutama ilmu politik yang sekarang menjadi jurusannya, memilih untuk keluar dari rumah dan pergi mendaftar kuliah di Universitas Nusantara.
Sagala biaya kuliah dia cari sendiri dengan bekerja sambilan, mulai menjadi buruh kasar di pasar, pelayan kedai kopi, penjual tiket, hingga menjadi tukang sapu jalanan. Dia harus bekerja dikarenkan orang tua Beni tidak merestui dirinya untuk kuliah.
Baru akhir-akhri ini orang tua Beni kembali menghubungi dirinya untuk menanyakan kabar, dan memberi sedikit uang untuk menghidupi dirinya serta membayar segala biaya perkuliahan. Tetapi uang yang diberikan oleh orang tuanya tersebut tidak dia gunakan sedikit-pun, uang tersebut hanya makin bertambah di rekeningnya.
Beni lebih memilih untuk berjualan buku untuk menghidupi dirinya, dikarenakan dia sudah terbiasa mandiri untuk menghidupi dirinya sendiri dan tanpa bantuan orang lain, sekalipun itu adalah orang tuanya.
Senja telah tiba dengan sang surya memancarkan warna yang sangat indah menghias angkasa, dengan angin bertiup manja membelai siapa-pun yang menikmatinya. Ditambah pemandangan danau yang berada ditaman kota yang membiasi angkasa dengan angsa-angsa menari diatasnya. Membuat siapapun enggan beranjak, termasuk Alex.
“Inilah mengapa aku sangat suka berada di sini, Kau orang kedua yang pernah ku ajak”
“Siapa orang pertama bang”
“Seseorang yang dahulu pernah tinggal dan menetap di hati ini, namun kini telah tiada”
“Ke mana dia bang?”
“Dia meninggal di parlemen jalanan akibat sebuah peluru karet menembus matanya yang indah, hingga membuat dia banyak kehabisan darah dan akhirnya tiada”
“Saya turut berduka bang”
“Itu yang membuat aku bersumpah. Aku tidak akan pernah berhenti berjuang selama birokrasi apatis masih ada di negeri ini”
Alex berpikir dan merenung tentang bangaimana nasibnya jika dia berada di posisi bang Beni, apakah dia masih kuat menghadapi dan menjalani hidup. Hingga tanpa ia sadari, hari yang kian gelap telah menyelimuti mereka hingga suara azan magrib berkumandang.
“Ini sudah gelap bagaimana jika aku mengantar kau pulang, sekalian biar aku tau di mana kau tinggal”
“Boleh bang”
Sesampainya di kost, Beni melihat kamar kost Alex yang cukup berantakan dengan buku-buku yang dapat dibilang cukup berat untuk bisa dipahami. Kebanyakan buku-buku tersebut adalah buku filsafat yang sangat tebal.
“Kau suka baca buku filsafat rupanya, kulihat kamarmu sudah macam kapal pecah yang dilanda badai filsafat”
“Hahaha.., abang ada-ada saja. Aku memang suka baca buku filsafat. Harap bisa dimaklumi bang, aku belum punya rak buku untuk merapikan ini semua”
“Ya sudah tak apa, aku malahan senang bisa lihat badai filsafat yang ngacak-ngacak kamar”
“Bang Ben mau minum?, biar saya ambilkan”
“Tak usah, aku mau pulang dulu ini. Dari tadi pagi aku belum mandi”
“Ya sudah kalau begitu, hati-hati di jalan bang”
Selepas pulangnya Beni, Alex merebahkan tubuhnya di atas ranjang hingga kabut hitam menyelinap masuk dalam pikirannya sampai tanpa sadar dia telah tertidur.
Hari ini Alex tidak masuk kuliah lantaran dosen yang mengajar jatuh sakit. Alex yang tidak tahu harus pergi ke mana hanya bisa menetap tinggal dalam kamar kostnya, sambil membuka lembaran-lembaran buku sebelum sore tiba yang membuat dia harus kembali untuk ke kantor wali kota.
Saat sedang serius membaca buku, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk seseorang, Alex yang penasaran tentang sosok di balik pintu lalu membukanya. Sosok tersebut rupanya orang yang ingin memenuhi janjinya untuk mentraktir sebuah buku.
“Selamat pagi Alex, saya pikir kamu belum bangun”
“Ternyata kamu Rosa, ada apa ya?”
“Hari ini sepertinya semesta merestui saya untuk memenuhi janji kepadamu”
“Janji?, emangnya kamu ada janji apa ya?”
“Janji untuk mentraktir kamu sebuah buku, gitu saja sudah lupa”
Ucap Rosa dengan nada manja kepada Alex. Alex yang teringat akan janji Rosa tersebut lalu bergegas mengambil jaket kesayangannya yang tergantung di balik pintu lalu pergi dengan Rosa yang sembari tadi menunggu di luar.
“Hari ini kita pergi ke toko buku ya”
“Mengapa harus ke toko buku?, mending beli buku di lapak-lapak lebih murah lagi”
“Saya mau mentraktir kamu buku baru, sebab buku yang kamu traktir kemarin cukup menarik bagi saya, dan buku baru merupakan tanda terimaksih saya, mohon jangan menolak ya”
“Hmm…, nanti jika aku pilih buku yang mahal bagaimana?”
“Terserah kamu deh, mau mahal ataupun murah tetap saya akan mentraktirnya”
“Kalau begitu saya tidak akan sungkan lagi”
Mereka menaiki angkutan umum menuju ke sebuah pusat pembelanjaan yang cukup terkenal di kota tersebut. Sesampainya di toko buku, Alex melihat buku-buku baru yang tersusun rapi. Matanya mengarah kepada sebuah buku sastra lawas yang cukup terkenal karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Anak Semua Bangsa.
Alex sering mendengar buku tersebut sangat sarat akan pesan moral yang tersurat dalam setiap kata, walau cukup sulit dimengerti akibat penulisan menggunakan bahasa Indonesia jadul, akan tetapi Alex penasaran akan pesan moralnya.
“Rosa, saya mengambil buku ini ya!”
“Ya silakan, tenang aja saya yang traktir kok”
“Kamu tidak membeli buku Rosa?”
“Untuk sekarang enggak deh, buku yang kemarin saja belum habis saya baca”
“Ya sudah kalau begitu, berhubung saya menemukan buku yang bagus. Bagaimana jika kita makan es krim habis ini?”
“Mau banget, kalau begitu saya bayar dahulu buku ini lalu langsung ke toko es krim ya!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments