Ketika taksi yang ditumpangi pengantin baru ini menepi di depan pagar rumah Adira sudah keluar dengan menggedong satu anaknya, kemudian tidak lama disusul oleh Winda yang juga menggendong bayi dari anak perempuannya.
“Selamat datang kembali ke rumah Kakakku sayang,” seru Adira membukan pagar untuk Dimas dan Iliana masuk.
“Wah, kamu di sini juga, Dek.” Dimas tidak mengira kalau sang adik menyempatkan datang demi menyambutnya.
Adira tersenyum dengan tubuh bergerak-gerak memomong bayi laki-lakinya, “Iya, demi Kak Dimas dan sebenarnya Dira mau kenalan juga sama istri baru Kakak.”
Iliana tersenyum saat Adira meliriknya, “Sudah berapa lama Kak pacaran sama Kak Dimas? Kak Dimas nggak pernah bilang kalau punya pacar cantik. Ngakunya jomblo mulu, parah ‘kan?”
Iliana menoleh ke samping. Dimas tertawa sembari mengibaskan tangan untuk mengelak ucapan sang adik.
“Kamu itu. Maksudnya bukan begitu.”
“Jadi, apa maksudnya ngaku jomblo mulu?”
“Hei kalian mau terus mengobrol di situ?” Winda yang hanya berdiri menunggu di teras bersorak, “ayo masuk! Kita lanjut di dalam. Di luar panas, kasihan itu Atala.”
“Iya, Ma!” balas Dimas disertai senyuman. Ia menoleh pada istrinya dan membantu membawakan koper milik Liana, “ini kami mau masuk.”
Mereka berjalan mendekati Winda. Dimas dan Liana menyalami sang ibu saat sampai di teras, lalu mereka kembali melangkah untuk masuk ke rumah.
“Kemarin Mama sudah merapikan kamar Dimas. Semoga Liana betah tinggal di sini. Maaf, rumah kami kecil.”
“Nggak masalah, Tante. Liana sudah terbiasa dari kecil hidup sederhana,” balas wanita itu disertai senyuman tipis.
“Jangan panggil Tante. Panggil Mama seperti Adira dan Dimas.”
Dira yang sudah duduk di sofa sembari memangku Atala tersenyum saat kakak iparnya itu menatap ke arahnya.
“Iya, Ma.”
Senyuman di bibir Winda merekah, “Begitu ‘kan lebih enak. Ayo, duduk dulu!”
“Ma, itu ikannya Dimas dikasih makan ‘kan semalam?” tanya Dimas yang baru datang lagi setelah meletakkan koper-koper pakaian di kamar.
“Sudah, kamu itu mengurus ikan saja. Ini loh sekarang sudah punya istri. Perhatikan istrimu. Jangan perhatian sama ikan terus.”
“Iya, Ma. Dimas paham kok.” Pria ini duduk di single sofa, “tapi ****** Dimas ‘kan juga penting.”
“Begini nih Dimas kalau di rumah, Na. Ikan terus mainannya.” Liana tertawa kecil, “Mama mau tanya sebenarnya kalian kenal berapa lama? Benar dari SMA? Soalnya Mama lihat foto kamu pakai seragam dipandangi Dimas terus.”
“Dira juga penasaran, Kak. Kalian ini pacaran diam-diam ya? Kenapa?” sambung Adira.
Dimas dan Liana bersamaan melempar pandang. Padahal aslinya mereka ini hanya mantan.
“Kami kenal memang dari SMA.”
“Wah, jadi kalian pacaran dari SMA? Kenapa nggak jujur saja ke Mama dan Dira, Kak?” Adira sudah menyela sebelum Dimas menyelesaikan jawabannya.
“Kami sama-sama takut untuk mempublik hubungan ini.” Kali ini Liana yang coba menjelaskan, “Dira, Mama, maaf atas perbuatan kami. Harusnya, kami jujur sebelum ini semua terjadi.”
Winda tertegun, kekecewaan ini masih membekas di hatinya. Walau sekarang 70 persen Winda sudah memaafkan.
“Ya sudah, semua sudah terjadi. Terpenting kalian mau saling berkomitme menjalin hubungan yang lebih serius demi anak itu.” Winda menatap meja yang masih kosong, “waduh, Mama sampai lupa membuatkan minum.”
“Nggak usah repot-repot, Ma.” Liana bangkit dan melangkah melintasi Dimas, “biar Liana saja yang buat minum. Mama lagi repot menggendong cucu.”
“Makasih loh, itu dapurnya sebelah sana.” Winda menunjukkan arah dapur menggunakan tangannya.
Iliana menganggu dan melangkah ke arah yang Winda beritahu padanya.
...***...
Malam pun tiba. Waktunya untuk istirahat dan besok harus kembali bekerja. Namun, sepasang pengantin baru ini masih berdiri meratapi kasur yang ukurannya kecil.
“Kamu tidur di kasur saja. Biar aku di sofa,” ucap Dimas menunjuk single sofa yang ada di dalam kamarnya.
“Sofanya terlalu kecil. Mana bisa kamu tidur di situ. Lebih baik kita sekasur saja.”
“Kasurnya belum diganti ke ukuran besar, Na. Memang nggak apa-apa kalau nanti kita bersentuhan?”
Liana menghela napas, “Nggak masalah dari pada kamu tidur di sofa. Takut juga kalau Mama tahu kita pisah ranjang.”
Akhirnya, kedua orang itu berbaring di kasur yang sama. Namun, tetap ada guling di tengah mereka.
Dimas berusaha mengendalikan detak jantungnya. Entah mengapa rasanya seperti kali pertama suka pada seseorang. Apa lagi saat sikunya tidak sengaja menyenggol lengan Liana. Ia serasa tersengat arus listrik.
“Maklumin saja kalau sempit ya, Na. Namanya juga kasur bujangan.” Dimas menoleh ke sebelah kiri, tempat sang istri tidur.
Ketika Liana ikut menoleh, Dimas malah menatap langit-langit kamar kembali.
“Nggak apa-apa.”
“Besok aku akan pesankan ranjang yang lebih besar.”
“Nggak usah, Dim. Saya nggak mau merepotkan.”
Dimas menatap ke arah sang istri hingga pandangan mereka bertemu, “Tapi nggak mungkin juga kita terus-terusan tidur begini. Kamu tenang saja. Aku ada tabungan.”
Liana membalas dengan sebuah senyuman. Jam terus berputar hingga berganti pagi. Ketika meraba kasur sebelahnya Dimas tidak menemukan sosok Liana. Ia memutuskan untuk membuka mata.
Pria ini menyusuri sekitar kamar dengan kedua matanya. Ia lega saat menemukan Liana sedang duduk menghadap ke komputer milik Dimas.
“Kamu nggak tidur, Na?”
Liana menoleh dan memutar kursi, “Kamu sudah bangun rupanya. Saya tidur, tapi jam tiga tadi sudah bangun dan mata saya nggak mau tidur lagi. Saya pinjam komputermu untuk membuat sesuatu.”
“Membuat apa?” Belum sempat Liana menjawab terdengar suara adzan berkumandang, “nanti kita bahas. Sekarang salat subuh dulu.”
Wanita itu mengangguki. Dimas keluar lebih dulu dari kamar menuju kamar mandi.
Liana memandangi selembar kertas yang telah dia cetak. Ini nantinya akan ditanda tangani Dimas.
“Kamu nggak mau ikut salat lagi?” tanya Dimas saat sedang memasang peci ke kepala, “ayo, saya imami!”
Liana menggeleng, “Saya jarang solat dan satu tahun ini nggak pernah mengerjakan salat. Apa tuhan akan menerima salat saya?”
“Allah itu maha pengampun. Barang siapa yang mau bertobat dengan sungguh-sungguh insyaallah pasti dimaafkan segala kesalahannya. Jadi, nggak ada kata terlambat untuk kamu bertobat. Yang salah itu jika kamu nggak mau sama sekali bertobat dan mengubah sikap. Ayo, ambil wudhu dulu. Masih ingat tata caranya ‘kan?”
Wanita yang duduk di sofa ini menganggukkan kepala. Ia bangkit dan melangkah keluar dari kamar.
“Aku tunggu! Kita solat berjamaah. Pahalanya lebih besar.”
...***...
Matahari sudah mulai tinggi. Iliana belum sempat membahas tentang surat yang dia buat tadi subuh. Apa lagi sekarang malah sibuk membantu mertua untuk membuat sarapan.
“Kamu sudah biasa memasak ya, Na?” tanya Winda agar suasana dapur tidak terlalu sepi.
“Iya, Ma. Kalau di rumah selalu Liana yang masak.”
Winda yang memasukan bahan-bahan perlengkapan kue yang akan dia bawa ke toko itu, mengangguk saja.
“Sejak orang tuamu nggak ada kamu tinggal sama Ommu itu?”
Liana menggelengkan kepala, “Nggak juga sih, Ma. Liana tinggal bersama Kak Poppy. Om Arya hanya menjenguk kami tiga kali seminggu. Almarhum istrinya hampir tiap hari ke rumah kami.”
Sembari menyusun darapan di meja makan Liana terus bercerita.
“Maaf nih, di acara kemarin Mama nggak lihat Kakakmu. Dia ke mana?”
Pergerakan Liana terhenti. Ia menatap Winda dengan sendu, “Kak Poppy pergi bersama suaminya setelah menggadaikan rumah orang tua kami.”
“Astaga.” Winda terkejut dan tak habis pikir, “tega sekali dia dengan kamu.”
“Mau bagaimana lagi, Ma? Liana hanya bisa merelakan peninggalan Ayah.”
Winda mengulum bibir, kemudian mengusap-usap punggu menatantunya.
“Kamu yang sabar! Sekarang kamu punya suami, adik ipar, dan mertua. Anggap saja Mama ini Mama kandungmu. Kita sekarang keluarga, Nak. Kamu nggak hanya punya Om, tapi juga kami.”
Hati Iliana sangat tersentuh saat mendengar perkataan sang mertua. Ia tidak percaya ternyata Winda sangat menerimanya sebagai anggota baru di keluarga mereka. Namun, di sini lain, kebaikan Winda jadi membuat Liana merasa bersalah karena sudah menarik anaknya ke dalam masalah yang sebenarnya bukan perbuatan Dimas.
“Wah, sarapan enak pagi ini.”
Suara Dimas yang nyaring membuat Liana terkejut dan sadar dari lamunan.
“Itu istri kamu loh yang masak,” ucap Winda melirik Liana.
“Yang benar?” Dimas memiringkan kepala untuk menatap Liana.
“Hah, Mama ‘kan juga bantu?”
“Mama bantu sedikit saja.”
“Kalau gitu aku mau coba.” Dimas menarik kursi, lalu duduk di depan meja makan. Ia mengulurkan piring ke arah istrinya, “ambilkan untukku!”
Liana dengan ragu menerima piring itu, kemudian mengisi dengan nasi goreng serta lauk-pauk yang lain. Setelahnya, ia meletakkan piring ke depan Dimas.
“Terima kasih, sayang.”
Berbeda dengan Liana yang canggung saat dipanggil dengan romantis oleh Dimas, sedangkan Winda malah senyum-senyum melihat kemesraan itu.
...***...
A/N
...Terima kasih sudah membaca 💕 jangan lupa like, komen, vote, favorit dan rate bintang 5 kalau belum. ^^...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments