Pergi, Akankah kembali?

Iliana melirik ke arah Kakak dan Kakak iparnya saat melintasi ruang tengah. Kedua kakaknya itu sedang asyik menonton acara di televisi.

“Mau ke mana kamu, Liana?” tanya seorang pria yang merangkul istrinya.

“Ke rumah sakit. Jenguk Om Arya lagi.”

“Untuk apa sih? Sebentar lagi juga tua bangka itu mati.” Dengan tega Poppy yang sedang mengunyah kacang dan mata mengarah ke televisi mengucapkan kalimat tidak pantas.

Liana melangkah maju ke depan Poppy, “Kok Kakak bisa-bisanya ngomong seperti itu? Om Arya itu yang bantu mengurus kita dari kecil. Dia Om kandung kita, adiknya Papa. Berdosa Kakak mendoakannya meninggal.”

Wanita yang mencepol asal rambutnya ini seperti tidak memperdulikan ucapan sang adik.

“Iya, sayang. Liana ada benarnya.” Poppy melirik suaminya, “Om Arya itu kaya. Biarkan Liana mengurus pria itu dimasa-masa terakhirnya. Siapa tahu dia mewariskan semua harta pada Liana. Yang artinya harta itu milik kita juga.”

Mendengar penuturan Kakak Iparnya yang sama-sama gila, Liana menggelengkan kepala. Entah di mana hati nurani mereka. Akhirnya, Liana pergi saja dari pada terus di situ mendengarkan ucapan Kakak-Kakaknya yang membuat hati sakit.

“Benar juga katamu, sayang.” Poppy mencubit gemas pipi suaminya, “pinter banget suamiku ini.”

Pria berkaos putih itu tersenyum lebar menatap istrinya. Mereka tidak peduli pada Liana yang sudah berjalan pergi.

Iliana yang sudah keluar dari halaman rumah menaiki ojek online yang menunggunya di depan pagar. Gadis ini memang punya rumah besar dan mewah. Dulu kehidupan Liana dan Poppy sangat berkecukupan. Namun, sejak beranjak dewasa Poppy menjual mobil-mobil milik Ayahnya dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Dulu Arya tidak sekaya sekarang. Padahal almarhum Papa Iliana dan Poppy ingin sekali menunjang usaha adiknya itu. Membantu memberikan modal. Namun, Arya kuat dalam pendiriannya, kalau dia bisa maju dengan usahanya sendiri. Benar, setelah bertahun-tahun dia bisa berkembang. Sudah 15 tahun ini usahanya maju pesat, tetapi sayang, sekarang Arya sering sakit-sakitan. Apa lagi sejak ditinggal pergi istri tercinta.

Sekitar 20 menit Iliana sampai di rumah sakit. Ia lekas menuju lantai tiga tepat pada ruangan Arya di rawat.

“Bagaimana kesehatan Om, sudah lebih baik?” Liana meletakkan tas pada sebuah nakas.

Ketika masuk ruangan dia melihat Arya yang sedang duduk dan memainkan ponsel di tangan.

“Alhamdulillah, Na. Sekarang Om merasa lebih baikan.” Arya menyimpan benda pipih itu, lalu tersenyum pada keponakannya, “bagaimana keadaan kantor? Sudah 3 hari kamu di sana. Apa betah?”

“Liana betah, Om. Karyawan di sana sangat baik. Mereka juga kerja dengan tekun dan bertanggung jawab. Jadi, Liana sangat terbantu. Om nggak usah memikirkan perusahaan dulu. Cukup fokus pada kesehatan, Om. Liana sama Kak Poppy itu cuma punya Om sekarang. Om itu sudah Liana anggap ayah.”

Arya tersenyum tipis. Matanya sedikit berkaca-kaca, “Om jadi teringat Papamu.” Lelaki tua ini mengusap sudut matanya.

“Terima kasih ya, Om sudah memberi Liana kepercayaan penuh terhadap perusahaan itu. Kalau nggak karena Om, Liana pasti masih jadi karyawan biasa,” ujar Iliana mengalihkan pembicaraannya.

“Sama-sama, Nak. Itu juga punyamu. Kelak kalau Om tidak ada lagi di dunia ini. Semua akan jadi milikmu.”

“Om ngomong apa sih? Om umurnya masih panjang.”

“Tapi semua manusia ‘kan pasti meninggal dan kembali ke alam yang kekal.”

Liana mengusap mata yang berair. Kini dia yang dibuat sedih. Gadis 27 tahun ini benar-benar takut kalau kehilangan Arya.

“Jangan menangis.” Arya menoleh ke samping, “itu ada buah tolong kupaskan untuk, Om!”

“Baik, Om.”

...***...

Sudah ada sepuluh kali Winda mengetuk kamar anak sulungnya. Namun, sang empunya tetap terlelap. Belum lagi pintu kamar ikut dikunci. Ini membuat Winda harus mengeluarkan suara kerasnya.

“Dimas! Kamu kerja nggak hari ini?” lagi, Winda mengetuk pintu.

Dimas yang terusik kini sudah membuka kelopak mata. Ia meraba nakas untuk mengambil jam weker. Jarum pada jam menunjukkan pukul setengah lima pagi.

Masih jam lima mengapa Mama sudah berteriak? Ia berbicara dalam hati.

“Masih subuh, Ma!” balas Dimas sembari meletakkan jamnya lagi.

“Subuh dari mana? Ini sudah setengah tujuh! Coba kamu tengok jendela itu! Matahari sudah tinggi Dimas. Cepat bersiap-siap kalau nggak mau terlambat!” setelah memerintahkan sang anak, wanita yang hampir kehabisan suara ini pergi dari depan pintu kamar.

Ketika Dimas melihat ke arah jendela. Benar saja cahaya matahari tampak terang dari balik gorden yang masih tertutup. Pria ini memastikan lagi jam weker miliknya.

“Sialan! Jamnya mati,” umpatnya penuh kekesalan.

Dengan terbirit-birit Dimas mengambil handuk, lalu berlari ke kamar mandi.

Sudah bangun serta salat subuh kesiangan, tidak sempat sarapan dan sekarang Dimas terjebak oleh kemacetan jalan.

Dari tadi dia terus gelisah sembari mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ketika ada kesempatan untuk jalan kembali. Dimas tidak menyia-nyiakannya. Dia langsung tancap gas.

Tepat pukul tujuh lewat dua puluh menit pria ini sampai di depan meja kerjanya. Seperti ikut lomba lari, dahi Dimas dibanjiri keringat dan napasnya tak beraturan.

“Habis lari dari kenangan mantan ya, Bro?” Satria terkikik setelah menggoda sahabatnya.

“Sialan, lo! Teman sengsara masih saja sempat meledek.”

Bukannya menyesal, Satria malah tertawa lebih keras membuat Vita yang ada di meja seberang menggelengkan kepala.

Omong-omong mantan, Dimas jadi teringat Iliana. Pria itu menatap pintu ruangan Iliana yang tertutup. Namun, saat pintu itu tiba-tiba saja terbuka lelaki ini gelagapan dan langsung pura-pura sibuk sampai lupa melepas tas yang masih melilit tubuh.

Satria juga ikut pura-pura sibuk membereskan pekerjaannya sejak melihat sahabatnya kelimpungan.

“Dimas jam segini kamu baru datang?”

Pertanyaan Iliana membuat Dimas terkejut. Ia, lantas segera berdiri dengan mengatupkan tangan di depan.

Walau sudah tertangkap basah Dimas masih saja menggelengkan kepala.

“Saya sudah datang dari jam tujuh kok, Bu.”

“Jangan bohong!” Iliana menunjuk tas yang masih lelaki itu sandang, “tas saja masih kamu pakai dan Pak Supto juga melihatmu yang baru datang.”

Dimas tertegun, lalu melepaskan tali tas kerjanya.

“Maafkan saya, Bu. Saya tadi kesiangan karena alarm mati.”

“Selama bekerja sudah berapa kali kamu terlambat? Saya mau jawaban jujur kamu!”

Pria berkemeja abu-abu ini mengangkat kepalanya lagi dan berani menatap atasannya itu.

“Baru dua kali sama ini. Maaf Bu, lain kali saja nggak akan terlambat.”

“Saya nggak suka sama orang yang tidak disiplin!” Iliana melihat sumua karyawan yang ada di ruangan itu, “ini berlaku untuk semuanya. Tiga kali terlambat sama beri surat peringatan. Tiga kali surat peringatan. Saya pecat! Masih banyak orang yang mau ada di posisi kalian.”

Semua karyawan menunduk takut, sedangkan Dimas malah memperhatikan gadis itu. Dimas tidak menyangka tidak ada yang terlalu berubah dari wanita di hadapannya.

“Apa kamu lihat-lihat saya?” Dimas menggeleng, kemudian menundukkan kepala, “ingat, jangan kamu ulang lagi ini! Saya—“

Tiba-tiba handphone yang Iliana genggam di tangan kiri berbunyi. Wanita ini membaca nama yang tertera di layar benda persegi itu, My Boyfriend.

Ia meninggalkan Dimas tanpa pamit, demi mengangkat telepon yang masuk. Dimas jadi bertanya-tanya mengapa Liana mengangkat telepon saja harus menjauh?

“Halo, Sayang!”

[Sayang, Maaf...]

“Ada apa?”

[Hari ini aku harus pergi ke luar negeri. Aku diterima kerja di London. Aku sangat senang, nggak mungkin aku membatalkan ini semua.]

“Lalu bagaimana dengan aku dan hubungan kita?”

[Sementara kita LDR dulu. Aku akan segera kembali untuk kamu. Kamu tenang saja. Aku sangat mencintai kamu.]

Iliana memperhatikan keadaan sekitarnya. Memastikan kalau pembicaraannya dengan sang kekasih tidak ada yang menguping.

“Kalau ternyata aku hamil? Bagaimana dengan aku dan bayi itu? Aku takut Alan...” terdengar nada cemas dari Iliana, “kamu pasti akan bertanggung jawab bukan?”

[Tenang Baby, aku pasti akan bertanggung jawab. Kalau kamu hamil itu anakku bukan? Jadi, aku pasti pulang. Aku akan menjemputmu setelah urusanku selesai, kita tinggal di London saja atau nanti aku menetap lagi di Indonesia.]

“Aku menyesal melakukan ini Alan.” Liana mengangis.

Iliana merasa terlalu bodoh hingga seminggu yang lalu terhasut oleh perkataan laki-laki yang sudah 1 tahun setengah menjadi kekasihnya ini.

[Hei, tenang saja. Tenang! Aku akan kembali ubtuk kamu. Jangan menangis maka aku akan sedih juga. Pesawatku sebentar lagi akan cek in. Aku tutup dulu teleponnya. Jaga dirimu baby!]

Liana mengangguk, walau Alan tidak dapat melihatnya.

“Hati-hati sayang. Semoga kamu sukses di sana. Cepat kembali! Aku merindukanmu.”

[I miss you too.]

Setelah itu sambugan telepon pun putus. Iliana menghapus jejak air mata di pipinya, kemudian berjalan kembali ke arah ruangan pribadinya.

...***...

A/N

...Terima kasih sudah membaca 💕 jangan lupa like, komen, vote yg banyak, rate bintang 5 dan favoritkan....

Terpopuler

Comments

Akira Pratiwie

Akira Pratiwie

Dimas org baik..dpt bekas lah...huhuhu

2022-10-01

0

Natha

Natha

Kasihan Dimas..
orang yg dapat getah dia cuma dapat nangkanya

2021-06-05

1

SA 86

SA 86

ya.......bang dimas dapet kaleng bekas dhong

2021-01-30

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!