Seorang wanita meletakkan secangkir kopi di meja tepat di samping seorang pria tua duduk. Pria itu merekahkan bibir menunjukkan sebuah senyuman.
“Terima kasih, Liana. Repot-repot kamu membuatkan kopi untuk, Om. Padahal rumah ini sudah ada pembantunya.”
“Harusnya Liana yang berterima kasih kepada, Om. Om sudah berbesar hati mengizinkan Liana tinggal di sini.”
Arya menepuk meja, “Sini, Nak! Duduk dulu.”
Liana mengambil tempat pada kursi yang kosong. Ia duduk menghadap ke Arya.
“Kamu itu anak dari Kakak, Om. Yang artinya kamu juga anak Om. Jadi, kamu nggak perlu berterima kasih. Ini kewajiban Om untuk memberimu tempat tinggal.”
“Kalau Papa masih ada, Papa pasti bangga sama Om Arya yang nggak pernah berubah walau sudah sukses seperti ini.”
“Apa sih yang mau kita sombong ‘kan, Na? Harta yang berhasil Om dapat di dunia juga hanya bisa dimiliki sementara. Kalau sudah tiada, semua akan ditinggalkan. Hanya amal ibadah saja yang bisa ikut bersama, Om.”
“Om itu panutannya Liana banget.” Arya tertawa pelan mendengar pujian dari keponakannya, “oh iya, kamu sudah dapat kabar dari Poppy?”
Liana menggelengkan kepala, “Belum, Om. Handphone Kak Poppy sampai sekarang nggak bisa dihubungi. Apa dia ganti nomor ya?”
“Bisa jadi, benar-benar Kakakmu itu. Jauh sekali sifatnya dari kedua orang tua kalian.”
Sedang berbincang-bincang ringan tiba-tiba Liana menyentuh pelipisnya. Penglihatannya serasa berkunang-kunang dan kepala juga berat.
“Kamu kenapa, Na?” tanya Arya khawatir.
Ketika merasakan mual, Liana dengan cepat menutup mulut. Dia tidak boleh seperti ini di depan Arya.
Liana mencoba mengendalikan dirinya, “Akhir-akhir ini Liana merasa kurang sehat, Om. Liana izin masuk duluan ya.”
“Iya-iya.” Arya mengangguk, “lebih baik kamu istirahat di dalam. Angin diluar nggak bagus untuk kesehatan. Kalau besok masih kurang sehat libur dulu saja ke kantor.”
Wanita itu berdiri. Rasanya keringat dingin menyelimuti tubuhnya.
“Liana nggak apa-apa kok, Om. Nggak perlu libur kerja. Besok juga mendingan.”
Arya memperhatikan wajah keponakannya, “Tapi kelihatannya kamu pucat, Na. Kalau besok masih begini, Om akan antarkan kamu periksa ke dokter.”
Mata Iliana membulat. Dengan cepat dia menggelengkan kepala, “Nggak perlu, Om! Liana cuma butuh tidur saja.” Mati dia kalau sampai dokter menyebutkan kalau dirinya hamil.
“Oke, kalau begitu kamu silakan masuk atau mau Om antarkan?”
Liana menggeleng untuk kesekian kalinya, “Liana bisa sendiri, Om.”
Wanita itu berjalan gontai dari halaman belakang masuk ke dalam rumah. Ia lekas pergi ke kamarnya.
Sampai di dalam kamar Liana mengunci pintu dan berlari masuk ke kamar mandi. Untung saja kamar yang dirinya tempati tersedia kamar mandi.
Liana memuntahkan isi perutnya. Setelah selesai ia mematikan keran. Ditatapnya pantulan dirinya di cermin. Tidak tahu harus berapa lama lagi dia bisa menyembunyikan kehamilannya. Sedangkan perutnya ini perlahan akan membesar juga.
“Apa aku keluar negeri saja? Tapi aku harus beralasan apa sama Om Arya?”
...***...
“Menurutmu Kak Dimas cocok sama anak teman Mama yang mana, Ra?” tanya Winda menggeser-geser layar ponselnya.
Adira yang dibawa bicara itu sibuk memasukan botol susu pada kedua anaknya yang ada di dalam stroller.
“Kak Kinanti, bagaimana Ma?” Dira menoleh pada sang ibu, “cocok tuh sama Kak Dimas yang petakilan. Kak Kinanti itu berhijab, lemah-lembut, pinter masak, dan cantik pula.”
“Mama berpikir juga sama denganmu. Semoga saja Kinantinya mau sama Dimas.”
Adira mengambil cangkir yang ada di atas meja. Ia meneguk cappuccino latte yang tinggal setengah itu.
“Memang Kak Dimas mau dijodohkan, Ma?” tanya Dira yang tampak ragu dengan keputusan sang mama.
Winda meletakkan telunjuk di depan bibir, “Sttt! Kamu diam-diam saja. Kita nggak perlu minta pendapat Dimas. Kalau nggak Mama yang maju duluan Kakakmu itu bisa jadi perjaka tua.”
Ibu muda yang mempunyai anak kembar ini tertawa mendengar ucapan ibunya.
“Mama ini, bagaimana pun Kak Dimas ‘kan harus tahu juga colon istrinya. Pendekatan dulu gitu Ma sebelum akad.”
“Entar kita atur.”
“Bu Bos, Maaf!” Winda dan Adira bersamaan menoleh pada staff kasir yang berdiri di belakang meja konter, “redvelvet cake stoknya habis ya?”
“Waduh.” Winda segera berdiri, “sebentar Mama lupa bikin kue lagi. Mama atasi ini dulu.” Wanita berumur kepala empat ini, lantas berlari kecil mendekati pelanggan yang berdiri di depan kasir.
“Maaf sekali, Mbak. Redvelvet cake sedang habis. Mbak bisa pesan kue yang lain. Nggak kalah enak kok sama redvalvet cake.”
“Saya nggak mau cake yang lain, Ibu. Saya ingin redvelvet. Anda berniat buka toko atau nggak sih?” terdengar nada ketus dari ucapan si pelanggan, “saya ambil Americano-nya saja dua.”
Winda tidak banyak bicara. Kalau custemer complain dia hanya bisa meminta maaf. Salah dia juga tidak membuat stok untuk cake itu. Si pelanggan wanita ini pergi meninggalkan toko dengan wajah masam.
“Kenapa, Ma? Kelihatannya Mbak itu marah-marah.”
Winda kembali duduk bersama Dira, “Pesanan yang dia mau sudah habis. Mama lupa membuatnya lagi.”
“Memang Andi kemana?” tanya Dira melihat-lihat ke arah dapur. Andi adalah chef yang membantu Winda untuk membuat kue-kue.
“Andi sakit sudah dua hari. Jadi, yang masak cuma Mama.” Winda berdiri kembali, “Mama tinggal dulu deh ya, Mama mau masak. Sayang, kalau ada yang pesan tapi pesanannya nggak ada.”
Adira menganggukkan kepala, “Iya, semangat, Ma. Jangan terlalu diporsir! Dira nggak mau Mama yang malah jatuh sakit.”
Ketika melintasi sebuah jalan, tidak sengaja Iliana melihat Poppy baru keluar dari Toko kue tangan-tangan Winda.
“Berhenti di sini, Pak!” Liana menepuk sopir yang menyetirkan mobil.
Mobil milik Arya itu perlahan menepi, “Ada apa Non Liana?”
“Saya meihat Kak Poppy. Bapak tunggu sebentar ya. Saya harus menemui Kakak saya.”
Sopir pribadi Arya ini mengangguk, mematuhi permintaan keponakan majikannya.
Iliana bergegas keluar dari mobil sedan hitam itu, kemudian berlari kecil ke pinggir jalan. Tatapan Liana coba fokuskan pada wanita di seberang jalan.
“Kak Poppy!”
Sang empunya nama itu menoleh. Bukannya berhenti, Poppy mempercepat laju langkah kakinya.
“Kak Poppy tunggu dulu!”
Liana mengambil langkah seribu untuk menyeberang jalan yang ramai di siang itu. Sampai hampir tertabrakpun dia alami.
“Lihat-lihat dong Mbak kalau nyeberang!” teriak si pengendara motor.
“Maaf-maaf, saya buru-buru, Mas.” Liana mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada sembari menunduk-nundukkan kepala.
Setelah menyelesaikan urusannya, wanita berblazer itu kembali pada tujuan awal. Mengejar sang Kakak yang sudah melangkah jauh.
“Kak Poppy berhenti! Liana mau berbicara, Kak!”
Sesekali Liana berlari agar berhasil menyusul saudara kandungannya itu. Namun, usaha Liana tidak sia-sia. Dia berhasil meraih pergelangan sang Kakak.
“Lepas!” Poppy menarik tangan yang adiknya digenggam.
“Kenapa Kakak menggadaikan rumah kita? Kenapa Kakak ninggalin Liana sendirian?”
...***...
A/N
Terima kasih sudah membaca sayang-sayangku💕
...Jangan lupa like, komen, vote, favoritkan dan rate bintang 5....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
🌼🌈𝔇𝔢𝔰𝔦𝔦 𝔏𝔲𝔱𝔳𝔦🌈🌼
Semangat terus ya, kak upnya 😙
2021-01-15
1