Pelaku

Dengan mimik muka yang kurang bersahabat Vita kembali ke meja kerjanya. Dia sedikit membanting dokumen yang dari tadi dirinya pegang. Satria yang melihat gebetannya itu badmood, lekas menghampiri.

“Kenapa, Vit? Proyeknya gagal? Client nggak mau bekerja sama dengan kita?”

“Nggak, perusahan kita berhasil kerjasama dangan PT. Anugerah.” Gadis itu menarik kursi, lalu duduk menatap komputer di depan, “lebih baik lo kembali kerja deh. Gue lagi nggak mau diganggu.”

Satria pindah ke samping, “Ada apa? Ada masalah saat diperjalanan? Dimas ngapa-ngapain kamu ya? Hm, mana orangnya? Biar aku kasih pelajaran.”

Pria berkemeja dengan lengan digulung sampai ke siku ini menatap ambang pintu. Namun, Dimas tidak muncul juga.

“Kalian pergi bersama ‘kan? Kenapa Dimas sampai sekarang belum datang?” tanya Satria melihat kembali ke gadis yang menyibukkan dirinya itu.

Vita mengedikan kedua bahu, “Lagi pacaran mungkin.”

“Pacaran?” Dahi Satria mengerut mendengar ucapan Vita, “setahu gue Dimas itu jomblo. Dia pernah sih bilang punya pacar, tapi itu waktu SMA.”

Tidak sengaja Vita melihat ke ambang pintu dan kebetulan Dimas masuk, “Tanya saja ke orangnya langsung.”

Satria menoleh ke arah meja sahabatnya. Dimas baru saja menjatuhkan bokongnya di sana. Satria meninggalkan Vita dan beralih ke meja Dimas.

Vita menatap ke arah Dimas cukup lama sebelum pandangan mereka bertemu dan gadis itu cepat-cepat memalingkan pandangan ke layar komputernya.

“Dim, lo punya pacar?” mendapat pertanyaan seperti itu jelas Dimas terkejut.

Ia melirik Vita dan berpikir apa Vita melihat dirinya memeluk Liana? Dimas menggeleng saja.

“Lo ‘kan tahu selama ini gue jomblo. Bercanda lo nggak lucu. Nyindir bener kalau gue nggak laku,” jawab Dimas berusaha bersikap santai.

“Kata Vita begitu. Gue juga nggak percaya sih sebenarnya. Kalau lo punya pacar pasti gue orang pertama yang tahu.”

“Nah, itu.” Dimas memberikan tonjokan pelan pada lengan Satria, “sana kembali ke meja lo!”

...***...

“Dimas nggak mau, Ma!”

Pria yang memakai kaos kebesaran ini membuka pintu kulkas, lalu mengambil botol berisi air dingin.

“Coba dilihat dulu foto-fotonya, Dim!” Winda sedari tadi menyodorkan ponsel pada sang anak, “Kinanti ini cantik terus soleha lagi. Istri idaman.”

Dimas menuangkan air ke dalam gelas, “Dimas belum mau menikah, Ma.”

“Kapan lagi kamu mau punya istri?” Winda menghela napas, “seumuran kamu, Papa dulu sudah menikah loh sama Mama."

Lelaki itu meneguk dulu air minumnya sembari duduk di depan meja makan.

“Dimas menikah umur 30 tahun saja.” Dimas menyimpan botol air ke dalam kulkas kembali, “dan Dimas nggak mau dijodohkan, Ma.”

“Kamu ini dikasih yang bagus nggak mau. Kalian bisa berkenalan dulu. Adira juga setuju.”

Dimas terus saja berjalan keluar dari dapur sembari mendengarkan celotehan-celotehan dari mulut sang ibu.

“Nggak tahu umur Mama ini bakal sampai atau nggak saat kamu menginjak usia 30 tahun, Dim. Mama cuma mau anak-anak Mama sudah punya pasangannya masing-masing. Jadi, Mama bisa pergi dengan tenang.”

Namun, saat ingin membuka pintu kamarnya lelaki itu terdiam. Ucapan Winda menusuk hatinya. Dimas memutar tumbuh menghadap Winda.

“Mama nggak boleh ngomong begitu. Umur Mama masih pajang. Mama bisa nanti sampai melihat cucu Mama dari Dimas. Dimas nggak suka kalau Mama bicara seperti tadi. Jangan diulang lagi!”

“Maka itu kamu mau ya bertemu Kinanti? Bertemu dan berkenalan saja dulu. Nanti kalau cocok baru memutuskan untuk menikah. Bagaimana?”

Dimas memandangi Winda, kemudian menganggukan kepalanya. Ia tidak tega melihat ibunya memohon.

Winda tersenyum senang mendengar jawaban Dimas.

...***...

Masih pagi, tetapi Iliana sudah tampak uring-uringan. Berkali-kali dia menekan kontak bernama Alan di ponselnya. Namun, nomor itu tidak terhubung. Suara operator pun tak ada. Tidak seperti biasanya. Dua hari yang lalu Liana mengirim pesan kalau dia sedang mengandung. Berharap Alan bisa pulang kembali ke Indonesia.

Semua itu hanya harapan kosong untuk Iliana. Mungkin, dia harus menghadapi masalah ini sendiri. Kalau mengingat ketika dirinya dipaksa oleh Alan dan malah hanyut dalam rayuan pria itu ingin sekali Liana menghabisi dirinya sendiri.

“Alan angkat teleponnya!” tidak menyerah Liana terus berusaha menelepon sang kekasih, “kamu harus tanggung jawab.”

Akh! Liana menjatuhkan benda persegi itu ke atas meja kerjanya. Kepalanya tertunduk dan air mata berjatuhan. Ia merasa frustasi.

Iliana menyentuh perut yang masih datar, “Maafin Mama ya, Nak. Mama nggak bisa membesarkanmu sendirian. Sebenarnya Mama ingin membesarkanmu, tapi keadaan nggak mendukung kita. Mungkin, dengan mengeluarkanmu dari perut Mama kita bisa melewati semua ini. Mama juga nggak mau kamu tumbuh tanpa Ayah.”

“Maksud kamu apa, Liana?”

Mendengar suara yang familiar di telinganya, Liana yang sedang menangis meratapi nasib seketika mendongak.

“Om.” Begitu terkejut saat Arya berdiri di ruangan yang sama, “sejak kapan Om ada di situ?” Liana bergegas menghapus bekas air mata di pipinya.

Arya melangkah sampai jaraknya dan Iliana kurang lebih semeter, “Mama nggak mau kamu tumbu tanpa ayah maksudnya apa?”

Liana meneguk saliva dengan susah payah. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Arya.

“Kamu hamil?” Liana masih terdiam, “siapa yang menghamili kamu?” bentak Arya sampai Liana tersentak.

Wanita ini menundukkan kepala dan malah meneteskan air mata.

“Liana, Om nggak minta kamu menangis. Jawab pertanyaan, Om! Siapa laki-laki bejat yang berani melakukan itu padamu?”

Tiba-tiba Arya merintih sembari memegangi dadanya. Hal ini membuat Liana panik dan memegangi lengan pria tua itu.

“Lebih baik kita duduk dulu, Om.”

“Lepaskan saya!” Arya mengibaskan tangan keponakannya, “kamu harus kasih tahu Om siapa yang melakukan itu.”

“Permisi!” Dimas yang tidak tahu kalau ada keributan di dalam terdiam menatap Om dan keponakan itu, “oh maaf, saya nggak tahu kalau ada Pak Arya. saya hanya ingin meminta tanda tangan, Bu Liana.”

“Dia, Om. Orangnya.”

Lelaki yang datang hanya untuk meminta tanda tangan dari atasannya ini lebih terkejut lagi saat Liana menunjuk Dimas yang tidak tahu mengapa jari wanita itu mengarah padanya.

“Ada apa?” tanya Dimas.

Arya berjalan mendekati Dimas. Ia meremas kerah kemeja karyawannya itu. Beliau menarik Dimas dengan kasar ke depan Liana.

“Berani-beraninya kamu menghamili keponakan saya!”

Sebagai orang yang tidak tahu sama sekali masalahnya, Dimas menunjukkan ekspresi bingung dengan mulut sedikit terbuka.

“Jangan pura-pura bodoh kamu. Kamu mau lepas tanggung jawab begitu saja? Kamu tega ya nggak mau tanggung jawab dan membiarkan keponakan saya mau menggugurkan kandungannya. Lelaki macam apa kamu?”

Iliana hanya diam berdiri membelakangi meja. Dia tidak punya cara lain. Beribu maaf dia lontarkan di dalam hati.

“Saya benar-benar nggak mengerti maksud Bapak apa?”

Karena pintu ruangan yang tidak ditutup mengakibatkan suara pertengkaran itu sampai keluar dan membuat karyawan lain berkerumun menyasikkan keributan di dalam.

Satu tamparan mendarat di pipi Dimas. Sekarang dia memegangi sebelah pipi yang terasa panas.

Arya menarik kembali kerah baju Dimas hingga mata mereka sekarang saling tatap.

“Kamu harus menikahi keponokan saya!”

...***...

...Terima kasih sudah membaca 💕 jangan lupa tinggalkan like, vote, komen, favorit dan rate....

Terpopuler

Comments

Istia Dwi Noviyanti

Istia Dwi Noviyanti

liana km jahat bgt

2021-12-10

0

Natha

Natha

wkwkwkwk...
sabar Dim.. Rencana Tuhan maha sempurna..
jika kita ikhlas dan bersyukur..
Kebahagiaan menanti dengan pasti🌹💖🌹

2021-06-05

1

Yulia

Yulia

ksian dimas 🥺😢😭

2021-01-18

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!