Ada Apa Dengan Iliana?

Derungan suara dari vespa biru milik Dimas memelan saat kendaraan dihentikan di halaman rumah berpagar rainbow itu. Lelaki ini melepas helm dan memeriksa kembali motor yang sudah di servis itu.

“Kenapa Kak? Motornya rusak lagi? Beli baru makanya. Vespa butut masih saja dipakai. Punya uang itu janganlah terlalu pelit.”

Mendengar penuturan panjang dari seseorang wanita yang ada di teras sembari menggendong bayi itu membuat perhatian Dimas tertuju padanya.

Pria ini berdiri tegak dan melangkah mendekati wanita itu, “tadi pagi sempat mogok, tapi itu sudah gue servis ke bengkel. Cuma iseng memeriksa lagi.”

“Mending lo beli yang baru, Kak. Memang gaji lo selama ini nggak cukup untuk beli motor?”

“Cukup.” Dimas menatap vespa yang terparkir, “bukan masalah uang. Ini soal kenangan yang ada di vespa itu.”

Wanita yang menimang-nimang anaknya ini, tertegun. Dia juga tahu cerita dibalik kendaraan tua itu.

Dimas menoleh ke adiknya, “lo juga tahu, itu vespa bekas Papa. Kalau gue mengendarinya rasanya Papa lagi sama gue. Nggak tega buat ngeganti sama yang baru.”

“Iya gue tahu. Cuma gue kasihan sama lo, Kak. Harus selalu kesusahan ketika si Blue ngambek. Vespa ini ‘kan masih bisa kita simpan saja. Biar Papa selalu serasa dekat bersama kita.”

“Gue pikir-pikir dulu deh. Sampai sekarang si Blue masih lancar dipakai.” Dimas menegok ponakan perempuannya. Bayi berselimut merah jambu ini tertawa setelah sang paman mengodanya, “Atala mana?”

“Ada sama Mama di dalam. Tadi gue mampir ke toko. Malah diajak mama pulang ke sini dulu. Nanti baliknya bakal dijemput Sam sepulang dia kerja.”

Pria berkemeja itu hanya mendengarkan ucapan sang adik sembari menciumi pipi keponakannya.

“Ih, Kak!” Adira mendorong dada Dimas, “Kakak itu bau keringat banyak kuman. Nanti pindah ke Ataya. Mandi dulu sana!”

“Iya bawel.” Dimas mencolek dagu adik sematawayangnya, kemudian berkata pada si bayi, “mamamu dari dulu bawel plus jutek banget.”

Baru saja Adira akan melayangkan sebuah pukulan pada lengan Kakaknya. Namun, Dimas lebih dulu menghindar dan masuk ke dalam rumah sembari tertawa.

...***...

Memakai sebuah kaos putih dan joger hitam, Dimas duduk menatap laptop di hadapannya. Dia tidak sedang mengerjakan pekerjaan kantor, tetapi otaknya melayang memikirkan Iliana. Bos baru sekaligus mantan kekasihnya.

“Masa iya dia lupa sama gue?” Dimas menggosok-gosok dagu, “memang sudah lama nggak bertemu, tapi ya nggak mungkin lupa juga.”

Pria ini menatap ikan ****** yang berenang di dalam botol. Ia menopang pipi di atas meja.

“Menurut lu, cup. Dia pura-pura lupa atau memang lupa? Kalau itu pura-pura tujuannya apa? Lagi pula hubungan itu sudah lama berakhir.” Dimas menumpahkan keluh kesahnya pada ikan ****** berwarna hitam dengan kombinasi merah di siripnya.

Lelaki itu juga tidak sadar saat Adira membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk terlebih dulu.

“Kak, gue pulang ya!” Dimas sedikit tersentak, lalu menoleh ke belakang, “Sam sudah datang. Bye, sampai bertemu lagi Kakakku sayang.”

Ketika Adira menutup pintu kembali, lelaki ini lekas bangkit dan berlari keluar. Dia ikut mengantarkan adik dan juga kedua keponakannya sampai di depan pintu.

“Hati-hati Sam bawa mobilnya!” Dimas menyerahkan stroller bayi yang sudah di lipat, “apa lagi habis hujan gini. Jalanan suka licin.”

Abrisam menerima stroller milik anaknya. Satu tangannya menggendong Atala.

“Baik, Kak. Sam pasti hati-hati. Sekali-kali main ke rumah Kak kalau libur kerja.”

“Oh, pasti itu, tapi jadwal libur belum kelihatan.” Sam tertawa kecil ketika Dimas tertawa lebih dulu.

Adira berpamitan pada Winda dengan mencium punggung tangan, “Ma, Dira, Sam sama anak-anak pamit pulang ya. Mama jaga kesehatan terus! Dira bakal main lagi ke sini atau ke toko kue.”

“Iya cantik.” Winda mengelus pipi anak perempuannya, “kamu yang benar ngurus cucu Mama. Sekarang Mama sudah jarang bantuin kamu.”

“Nggak apa-apa, Ma. Dira sudah bisa mengurus si kembar. Ya sudah, Dira pulang dulu.” Adira menoleh pada Dimas, “gue pulang, Kak.”

Abrisam lebih dulu berjalan menuju mobil berwarna putih yang terparkir di luar pagar. Sedangkan Adira melambaikan sebelah tangan sembari terus melangkah. Tangan yang satu menggendong Ataya.

“Assalammualikum!” ucap wanita itu tersenyum saat melewati pagar.

“Waalaikumsalam, hati-hati!” Winda melambaikan tangan sambil tersenyum.

Melihat mobil sudah pergi meninggalkan rumah barulah Winda dan Dimas masuk ke rumah kembali.

Winda menghela napas sembari mengedarkan pandangan, “sepi lagi rumah ini. Tadi masih ada suara bayi.”

“Kan masih ada Dimas, Ma.”

Perkataan Dimas membuat sang ibu menoleh padanya, “kamu mah suka ngerem di kamar. Kamu kapan kasih mama cucu? Kamu kalau sudah nikah tinggal di sini saja! Biar ramai rumah ini.”

Dimas mengusap wajah dengan bibir yang mencebik. Lagi-lagi membahas cucu. Pembahasan yang lelaki itu kurang minati.

“Ditanya malah ngeledek gitu mukanya.” Winda mencubit gemas lengan anak sulungnya.

“Aw... sakit, Ma.” Dimas mengusap lengan yang terasa panas, “Dimas belum ada calon untuk kasih Mama cucu. Itu ‘kan sudah dapat cucu dari Dira. Masih kurang?”

“Ya kurang, cucu dari kamu ‘kan belum.” Winda mengubah posisi berdirinya kini menghadap Dimas, “kalau kamu belum punya calon, mau mama jodohkan saja?”

Pemuda ini menggerakkan kedua tangan ke kiri dan kanan, “nggak! Nggak ada yang namanya perjodohan. Dimas nggak suka dijodohin. Nanti Dimas cari sendiri.”

Setelah itu, lantas Dimas segera kembali melangkah masuk ke kamarnya.

“Apa kamu mau jadi perjaka tua?” teriak Wonda ketika pintu kamar Dimas tutup.

“Umur Dimas masih 27 tahun, Ma. Itu belum tua untuk laki-laki!” tidak mau kalah, Dimas juga menjawab dengan berteriak dari dalam.

...***...

“Pagi teman seperjuangan!” sapa Dimas pada Satria. Mereka saling menepuk tangan layaknya lelaki.

“Tumben pagian?” tanya Satria melirik jam tangannya.

“Semalam gue nggak bisa tidur. Jadi, siap-siap ke kantor lebih cepat. Kebetulan si Blue lagi nggak ngambek. Harusnya, lo bersyukur teman lo ada kemajuan.”

Satria mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya, “alhamdulillah, makasih ya allah teman saya ada kemajuan. Semoga dia terus istikomah.”

Dimas yang melihat kelakuan konyol rekan kerjanya ini hanya bisa tertawa.

“Permisi!” kedatangan Pak Supto membuat kedua lelaki yang sedang asyik bersenda gurau ini terdiam, “Mas Dimas dipanggil Bu Liana. Katanya, segera menemui beliau di ruangan.”

Sejalas Dimas bingung sampai dahinya berkerut, “ada apa ya, Pak?”

“Saya juga kurang tahu, Mas. Saya diperintahkan memanggil Mas saja.”

“Gue kira Bos belum datang.” Dimas menoleh seakan bertanya pada Satria.

“Belum lama dia datang lo juga sampai di sini.” Satria menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu, “sudah sana temui dulu! Siapa tahu ada proyek.”

Dengan ragu Dimas melangkah menuju ruangan Liana. Pria itu merasa dia tidak ada salah dalam pekerjaan. Apa benar mau diberi proyek seperti ucapan Satria?

Setelah tampak ragu-ragu Dimas meneguhkan hati membuka pintu ruangan Liana.

“Permisi, Bu. Kata Pak Supto, Ibu memanggil saya.”

...***...

note:

Jangan lupa kasih supportnya, like, vote, komen, rate kalau belum, favoritkan kalau belum.

Terima kasih sudah membaca 💕

Terpopuler

Comments

Natha

Natha

Blue nggak lagi ngambek
Berarti berita bahagia mulai mendekat pada dirimu Bro 🌹

2021-06-05

1

Bibit Iriati

Bibit Iriati

lanjut

2021-02-08

0

Nissa Mahbub Mazin

Nissa Mahbub Mazin

ouh ini lanjutan cerita abrisam...
semangat yah

2021-01-11

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!