Selesai acara Dimas tidak memboyong Iliana ke rumahnya. Namun, atas permintaan Arya mereka bermalam di rumah Om dari istrinya ini.
Bagi Dimas rumah Arya sebanding sama rumah Sam. Jadi, walau dari keluarga sederhana Dimas tidak menunjukan ekspresi yang berlebihan ketika memasuki rumah.
“Anggap saja rumah sendiri ya, Dim.” Arya menepuk bahu Dimas, “besok kalian boleh kalau mau pindah ke rumah Dimas. Om titip Liana sama kamu. Jagain ponakanan satu-satunya, Om.”
Dimas tersenyum, “Iya, Om. Terima kasih. Saya pasti akan jagain Liana. Sekarang ‘kan dia istri saya."
“Kalian masih lama?” tiba-tiba Liana yang berdiri di sebelah Dimas bertanya, “saya mau ke kamar duluan, capek!”
“Ya sudah kamu ke kamar duluan saja, Na.” Dimas mempersilakan sang istri untuk masuk ke kamar mereka lebih dulu.
“Liana permisi, Om.” Setelah itu wanita bergaun putih ini melangkah pergi sembari menenteng gaunnya yang kepanjangan.
“Ya sudah kami juga bersih-bersih sama, Dim. Siapa tahu sebenarnya Liana itu kodein kamu karena sudah nggak sabar,” ujar Arya sembari tertawa pelan.
Dimas yang mengerti maksud dari Arya ikut tertawa, kemudian meminta izin untuk menyusul Iliana.
Ketika Dimas sedang melepaskan satu-persatu pakaiannya, Liana keluar dari kamar mandi dengan buju mandi membukus tubuh dan handuk yang melilit rambut. Mereka saling pandang untuk beberapa detik.
Liana membuang muka karena tidak ingin menatap Dimas yang kancing kemejanya sudah terlepas semua hingga menampakkan perut yang cukup sixpack.
Mereka seketika merasa canggung satu sama lain. Dimas berdeham sampai membuat Liana menoleh padanya.
“Aku mandi dulu ya.”
Liana mengangguk saja, kemudian mengalihkan pandangan kembali. Namun, saat lelaki yang membawa salinan pakaian ini berjalan menuju kamar mandi yang masih ada di dalam kamar itu juga, langkahnya terhenti. Liana memanggilnya.
“Ada apa?” tanya Dimas menolehkan kepala.
“Maaf, saya nggak bisa jadi istri yang sempurna untuk kamu.”
Ucapan wanita itu membuat Dimas bingung, “maksudnya?”
“Aku nggak bisa ngejalanin kewajibanku sebagai istri.”
Dimas tersenyum, “Nggak apa-apa kalau kamu belum siap. Masih banyak waktu. Aku akan tunggu sampai kamu siap.”
Bagaimanapun Dimas harus mengerti situasi perasaan istrinya sekarang. Pasti Liana masih canggung saat bersama dirinya. Sebenarnya, Dimas juga merasakan hal yang sama. Jadi, tidak melakukan hubungan suami-istri di malam ini tidak masalah bagi pria itu.
“Saya nggak bisa memberinya kapanpun itu. Kamu nggak usaha menunggu karena akan sia-sia.”
Mendengar ucapan Iliana yang menohok membuat hati Dimas seketika retak.
“Saya tahu itu dosa, tapi biarlah saya akan menanggungnya. Kalau kamu nggak bisa menahan, saya ikhlas untuk kamu mencari kesenangan diluar.”
Dimas tidak habis pikir dengan jalan pikiran Liana. Lelaki ini menjatuhkan bokong untuk duduk di kasur yang sama dengan sang istri.
“Aku tahu kamu juga terpaksa melakukan ini, tapi nggak bisakah cinta kamu untuk aku tumbuh lagi? Dulu kita saling mencintai Liana.”
“Kamu sadar nggak Dimas kalau saya pernah selingkuh dan artinya saya sudah nggak cinta lagi. Apa lagi sekarang, saya nggak sama sekali cinta sama kamu. Hati ini masih milik Alan.”
Dimas menggepalkan tangan kanan dan meremas seprei. Pengorbanannya terasa tidak dihargai perempuan di depannya itu.
“Maaf Dimas, saya banyak merepotkanmu. Saya juga nggak ada pilihan. Bagaimana kalau kita membuat sebuah perjanjian? Ini akan sama-sama meringankan kita.”
Tangan yang menggepal itu kini perlahan terbuka, “Perjanjian apa?”
“Kita bersama sampai anak ini lahir saja. Setelah itu kita bercerai. Kamu yang menggugat saya. Jadi, kesalahan perceraian kita karena saya. Bukankah ini adil?”
Sebenarnya, semua ini tidak adil bagi Dimas. Dia sudah melewati hal-hal sulit, tetapi Iliana tidak bisa membalas perasaannya.
“Kalau kita sudah bercerai kamu bisa menikah dengan gadis yang kamu suka. Hanya menunggu 9 bulan itu nggak terlalu lama.”
“Saya sukanya sama kamu.”
Mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Dimas membuat Iliana salah tingkah. Apa lagi kedua iris mata pria ini mengarah padanya.
Liana mengibaskan tangan, “Sudahlah, jangan mengharapkan hal yang mustahil. Kisah kita sudah lama berakhir.”
Dimas tidak membalas lagi perkataan wanita itu. Ia melangkah lunglai masuk ke dalam kamar mandi. Meneruskan niatnya yang tadi ingin membersihkan tubuh.
...***...
Keluar dari kamar mandi Dimas melihat sang istri sudah memakai piama dan duduk di atas kasur sedang menata tempat tidur mereka.
Wanita itu tersenyum padanya, “Sebelah kanan milik saya dan sebelah kiri milikmu. Jangan sampai melewati batas guling ini ya! Saya nggak mungkin menyuruhmu tidur di sofa. Jadi cara satu-satunya kita berbagi ranjang.
Dimas berhenti menggosok kepala menggunakan handuk saat mendengar ucapan Iliana.
“Aku tidur di sofa saja,” jawab Dimas dengan nada dingin.
Ia benar-benar marah setelah mendengar perkataan Liana beberapa menit lalu. Lelaki ini mengambil satu bantal, kemudian meletakkan di atas sofa. Dia menyimpan sembarangan handuknya. Setelah itu merebahkan tubuh untuk segera tidur karena pasalnya sekarang sudah tengah malam.
Baru memejamkan mata Dimas kembali membuka matanya. Wanita yang sekarang menjadi istrinya ini ada di dekatnya sedang menyelimuti tubuh Dimas.
“Pakai selimut. Nanti kamu masuk angin,” Liana tersenyum. Ia mengambil handuk yang ada di meja, lalu melangkah pergi.
Iliana kembali berbaring di ranjangnya sesudah meletakkan handuk di kamar mandi. Dimas hanya bisa menatap punggung wanita itu dari tempatnya berbaring.
...***...
“Kami pamit, Om.” Dimas mencium punggung tangan Arya.
Hari ini Dimas dan Iliana akan pindah ke rumah Winda. Sesuai permintaan sang ibu, kalau sudah mempunyai istri, Dimas dan istri harus tinggal bersamanya.
“Iya.” Arya memeluk Dimas dan menggosokkan telapak tangannya di punggung lelaki itu, “hati-hati. Semoga rumah tangga kalian selalu harmonis. Kalau Liana nakal marahi saja, Dim. Om nggak akan marah balik ke padamu.”
Dimas tertawa kecil, sedangkan Liana merengek dengan bibir sedikit di majukan.
“Liana nggak nakal, Om.”
“Ouh, Om tahu itu sayang.” Arya memeluk keponakannya. Menyalurkan rasa sayang pada Liana. Mereka terlihat seperti ayah dan anak kandung, “kamu harus mematuhi ajaran baik suamimu. Layani dia dengan penuh cinta.”
Liana melirik sekilas Dimas sebelum menjawab perkataan Arya, “Baik, Om. Liana mengerti.”
“Ya sudah, kalian boleh pergi. Pasti Mama mertuamu sudah menunggu,” tambah Arya pada Liana.
Liana menganggukkan kepala, "Om jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa hubungi Liana."
"Siap, kapten!" Arya tertawa geli.
“Assalammualikum,” ujar Dimas dan Liana mulai melangkah pergi dari kediaman Arya.
“Waalaikumsalam. Hati-hati!”
Mereka berjalan beriringan dengan menarik koper masing-masing. Ketika sampai di depan taksi yang sudah di pesan. Dimas memasukan semua koper di bantu sang sopir.
Mobil berwarna biru langit itu melaju meninggalkan perkarangan rumah Arya. Rumah yang baru beberapa minggu Liana tempati sudah harus dia tinggalkan.
Sekarang jalan hidupnya sudah berubah. Walau tidak akan sampai tua bersama Dimas, tetapi dia harus menyesuaikan diri menjadi istri dari lelaki itu.
Apa lagi selama ini Liana tidak mengenal Winda. Akankah Winda menerimanya sebegai menantu?
...***...
A/N
...Terima kasih sudah terus membaca 🙏🏻 jangan lupa like, komen, vote, favoritkan dan rate bintang 5....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
[🐧²⁴]FHI♛⃟⃝𓆊🐝𝕾𝕳🐝
nggak tahu diuntung yha liana
2021-01-31
1