Terkunci dan Bebas

Kenapa sepi banget?” Liana memperhatikan sekitar, “apa Kak Poppy dan Kak Rendi sudah tidur?”

Gadis ber-blouse biru ini melangkah lebih masuk ke dalam rumah. Ketika melintasi pintu masuk ke arah kolam. Liana menggelengkan kepala.

“Ini pintu belum dikunci. Kalau ada maling bagaimana?” Dengan inisiatifnya sendiri Liana menutup pintu, lalu mengunci rapat.

Dia kembali melangkah menuju kamarnya. Ketika sampai di dalam wanita ini memperhatikan sekeliling kamar. Merasa ada yang aneh, tetapi tidak ada satu orang pun di sana kecuali dirinya.

Iliana meletakkan tas terlebih dulu, kemudian berjalan ke kamar mandi.

“Cepat keluar. Kita harus pergi dari sini!” Poppy mendorong Rendi keluar dari dalam lemari.

“Sabar!” ujar pria itu dengan suara dikecilkan. Ketika keluar lebih dulu Rendi mencoba tetap mencari sertifikat itu, “Ini dia, aku ketemu sayang.”

“Bagus!” Poppy tersenyum.

“Ternyata dia menyembunyikannya dibawah pakaian dalam. Dia kira aku nggak berani mengacak lemarinya.” Rendi merasa bangga dengan apa yang dierbuatnya.

“Kalian sedang apa di sini?”

Poppy dan Rendi yang merasa bahagia itu sampai lupa keluar dari kamar sebelum tertangkap basah.

Iliana melihat sebuah map yang Rendi pegang, “Mau Kakak apakan sertifikat itu?”

“Suka-suka gue mau ngapain sama sertifikat ini.”

“Kembalikan! Itu punya Liana, Kak.” Liana mencoba merebutnya dari tangan Rendi, “rumah ini satu-satunya peninggalan Papa. Tolong jangan dijual!”

“Ah berisik!” Poppy mendorong adiknya sampai terjatuh ke kasur, “ayo sayang kita pergi!”

Poppy menarik suaminya untuk segera keluar. Iliana lekas bangun dan mengejar mereka. Namun, Poppy menguncinya dari luar.

“Kak Poppy buka pintunya! Kembalikan sertifikatnya! Jangan kunciin Liana, Kak!” teriak wanita ini yang diacuhkan Poppy.

“Kamu kunciin dia?” tanya Rendi yang diangguki sang istri, “bagus, jangan dibuka sampai kita berhasil menjual rumah ini.”

“Aku berpikir juga begitu. Kalau dia terkurung di sana. Dia nggak akan menggagalkan rencana kita untuk menjual rumah.”

...***...

Dimas mengetuk pintu ruangan Iliana, “Permisi, Bu. Boleh saya masuk?”

Beberapa detik berdiri tidak ada jawaban dari dalam. Dimas mencoba mengintip ruangan itu.

Kosong, Iliana tidak ada di dalam.

“Bu Iliana nggak masuk, Dim.”

Dimas tersentak saat seseorang memergokinya. Ternyata itu Vita. Lelaki ini kembali menutup pintu.

“Kenapa?”

Vita mengedikkan kedua bahu, “Nggak tahu juga, tapi tadi ketemu sama Pak Supto. Dia bilang mau ke rumah Bu Liana.”

“Oh, begitu.” Dimas masih terpikir mengapa bosnya itu tiba-tiba saja meliburkan diri. Apa terjadi sesuatu?

“Sudah, ayo kembali bekerja. Terlalu lama berdiri di sini bisa dikira mau maling kita.” Vita berjalan pergi lebih dulu.

Akhirnya, Dimas memilih mengikuti ucapan Vita. Ia membawa balik surat-menyurat yang harusnya Iliana tanda tangani hari ini.

Sesampai di meja kerjanya kembali, Satria mendesis-desis memberi kode pada Dimas. Dimas yang memang mendengar suara temannya ini menoleh ke sebelah.

“Ada apa? Nggak bisa apa panggil gue dengan benar?”

“Lo ngapain jalan berdua sama Vita? Mau nikung gue?” tanya Satria dengan suara berbisik.

“Siapa juga yang mau nikung.” Suara keras Dimas membuat Vita menoleh pada kedua lelaki itu. Satria meminta Dimas mengecilkan suaranya, “gue mau minta tanda tangan Bu Liana, tapi kata Vita, Bu Liana nggak ke kantor.”

“Kenapa?” tanya Satria yang juga ingin tahu alasan dibalik Liana tidak datang bekerja hari ini.

Dimas menarik kursi dan duduk, “Mana gue tahu.”

...***...

Rumah kediaman Liana ini tampak sepi. Tempat tinggal besar ini seperti tidak terurus. Taman dengan rumput yang sudah panjang dibiarkan saja. Liana juga tidak mempunyai tukang kebun atau pembantu untuk mengurus rumah sejak kedua orang tuanya sudah tiada.

“Assalammualikum, Bu Liana!” Pria tua kira-kira berusia 50 tahunan ini bergegas berjalan ke arah kamar. Sesuai informasi yang Liana beritahu padanya di ponsel.

“Waaalikumsalam, saya di sini, Pak! Kamarnya terkunci dari luar.”

Supto mendengarkan terlebih dulu ucapan Iliana, “Apa Ibu punya kunci cadangan?”

Iliana teringat kunci yang disimpan di laci ruang tengah.

“Ada, Pak. Cari dilaci televisi. Biasanya semua kunci cadangan ada di situ.”

“Tunggu sebentar, Bu.” Supto berlari mencari kunci sesuai intruksi atasannya.

Untungnya, Supto datang. Iliana bisa bebas dari kamarnya sendiri. Namun, saat itu kedua Kakaknya tidak ada di rumah.

“Pasti rumah ini akan disita, Pak. Saya nggak tahu harus tinggal di mana.”

Supto turut sedih mendengarkan cerita Iliana mengapa dia bisa terkunci di kamarnya sendiri. Sekarang kedua kakaknya itu tidak tahu di mana. Mereka akan kembali atau tidak. Dia juga tak tahu.

“Saya rasa Ibu bisa tinggal bersama Pak Arya. Beliau ‘kan adik dari orang tua Ibu. Pak Arya juga hidup sendirian. Beliau pasti senang.”

Dari dulu Arya sudah mengajak Poppy dan Iliana untuk tinggal bersama, tetapi mereka menolak bantuan itu.

Liana menggeleng, “Saya nggak enak sama Om Arya. Lebih baik setelah ini saya cari kontrakan saja, Pak.”

“Ibu yakin?”

Wanita itu mengangguk tegas. Ia melirik kopi yang tersedia di tas meja.

“Diminum, Pak. Maaf cuma ada itu.” Liana tersenyum, “terima kasih sudah menolong saya.”

Supto mengangguk dan meraih gelas berisi kopi itu.

“Tidak apa-apa, Bu. Sama-sama, ini juga memang tugas saya. Untuk membantu Ibu.”

...***...

A/N

Terima kasih telah membaca💕

...Tolong votenya untuk semangatku😭...

Terpopuler

Comments

🌼🌈𝔇𝔢𝔰𝔦𝔦 𝔏𝔲𝔱𝔳𝔦🌈🌼

🌼🌈𝔇𝔢𝔰𝔦𝔦 𝔏𝔲𝔱𝔳𝔦🌈🌼

Semangat terus kak

2021-01-10

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!