Positif

“Kalau menurut lo bagusnya gua nembak Vita dengan cara bagaimana?” tanya Satria saat dirinya dan Dimas berjalan keluar dari kantin.

Dimas menoleh pada teman yang merangkul pundaknya itu.

“Lo seyakin itu buat nembak. Sudah siap kalau ditolak Vita?”

“Gue yakin seratus persen. Dia pasti mau nerima gue.”

Dimas mendengus, “Kalau ditolak jangan mewek lo ya. Soalnya, dari dulu nggak kelihatan kalau Vita punya tanda-tanda juga suka sama lo.”

“Lo gitu amat!” Satria memukul lengan Dimas. Hingga lelaki ini menjauh, “sohib macam apa lo nggak pernah dukung gue.”

Dimas tidak marah. Ia malah tertawa setelah menjaili sahabatnya ini.

“Aduh!” seseorang merintih ketika Satria tidak sengaja menabraknya.

Kedua pria itu menghentikan langkah mereka. Satria menunduk-nundukan kepala dan meminta maaf saat mengetahui siapa yang ditabraknya.

“Maaf, Bu. Saya nggak sengaja.”

“Lain kali jalan itu yang benar. Untung saya nggak jatuh. Jangan terlalu banyak main-main! Kalian itu sudah dewasa,” ucap Iliana.

“Iya, Bu. Maaf,” tambah Dimas dengan tersenyum.

Tidak sengaja Dimas melihat sebuah benda jatuh di dekat kaki Liana. Ternyata wanita itu menyadari kalau Dimas melihat testpack yang dia beli tadi di apotek. Dengan cepat Liana mengambil benda itu, lalu melangkah pergi.

“Man, lo lihat nggak apa yang barusan gue lihat?”

Dimas menoleh ke Satria ketika bahunya ditepuk pria itu.

“Bu Liana bawa-bawa testpack.”

“Sttt!” Dimas meletakkan telunjuk di depan bibir. Memberi isyarat pada Satria agar tidak berbicara keras, “mungkin dia lagi hamil. Kita ‘kan nggak tahu kalau dia sudah punya suami.”

“Suami dari mana? Bos kita ini masih single.” Dimas yang tadi masih berpikiran positif kini mulai memikirkan dugaan yang jelek terhadap mantannya, “gue kemarin habis cek data karyawan dan atasan di kantor ini. Gue lihat jelas status Bu Liana belum menikah. Untuk apa coba testpack itu?”

“Aku punya satu kakak perempuan.” Liana tersenyum ke arah Dimas.

Dimas teringat percakapannya dengan Liana saat SMA. Sekarang pikiran Dimas tertuju pada kakak perempuan wanita itu. Mungkin, saja itu untuk Kakaknya. Melihat Satria mana mungkin Dimas memberitahu pria di sampingnya ini. Pasti dia akan lebih banyak bertanya.

“Lebih baik kita jangan ngurusin urusan orang.”

“Memang lo nggak penasaran gitu Dim sama bos baru kita ini? Kayak-kayaknya perempuan nggak benar.”

“Nggak baik lo langsung men-judge orang seperti itu. Kita ‘kan nggak tahu apa-apa di belakangnya.” Dimas merasa emosinya naik saat Satria menuduh Liana begitu, “lebih baik gue balik kerja.”

Dimas berjalan lebih dulu meninggalkan Satria. Sahabatnya itu merasa aneh dengan sikap Dimas.

“Woi, Dim! Kok jadi lo yang ngambek?” teriak Satria sembari menyusulnya.

...***...

Liana tersandar di dinding toilet ketika melihat hasil dari testpack yang tadi pagi dia beli. Bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipinya.

Garis dua yang muncul di alat pendeteksi kehamilan itu menunjukkan hasil yang positif. Iliana mulai bingung memikirkan nasib bayi yang ada di kandungannya. Kalau kabar ini sampai ke telinga Om Arya maka matilah dia.

Liana membungkus testpack dengan beberapa lembar tisu, kemudian menyimpan ke dalam tas. Nanti diperjalanan dia akan membuang testpack itu. Dia harus menghilangkan bukti terlebih dulu.

Wanita ini keluar dari bilik kamar mandi. Mengidupkan keran di wastafel dan membasuh tangannya. Ia tidak lupa menghapus jejak air mata, lalu memoles kembali wajah dengan make up.

Ketika keluar dari kamar mandi. Kedua karyawati yang kebetulan baru ingin masuk ke dalam toilet itu melihat ke arah atasan mereka dengan aneh. Namun, Liana tetap seperti biasa. Bersikap cuek dan jutek.

“Eh!” Hampir saja Dimas menabrak wanita yang melintas di depannya, “Maaf, Bu. Tadi saya buru-buru.”

“Nggak apa.” Terbesit perkataan Satria tadi pagi di kepala Dimas, “kamu kenapa menatap saya seperti itu?”

Dimas tersentak dan menggelengkan kepala, “Maaf sebelumnya, Bu. Apa Kakak Ibu sedang hamil?”

Mata Liana membulat saat Dimas berani menanyakan masalah pribadi. Wanita ini memperhatikan sekitarnya terlebih dulu.

“Saya sudah bilang ‘kan ke kamu. Kalau kita ini nggak kenal sama sekali. Jadi, kamu jangan bertanya hal sensitif. Kalau ada orang lain yang mendengar bagaimana?” Liana menekan setiap katanya. Ia terlihat marah pada Dimas.

Dimas menundukkan kepala, “Maaf, Bu. Kalau saya lancang. Kalau begitu saya permisi. Mau fotokopi. Nggak ada OB yang bisa saya suruh.”

Liana mengibaskan sebelah tangan, tanda menyuruh Dimas cepat pergi dari hadapannya.

Wanita itu menoleh ke belakang, melihat Dimas yang melangkah semaki jauh. Liana menghela napas. Dia tahu kalau Dimas sebenarnya ingin bertanya soal testpack yang terjatuh tadi pagi. Namun, Liana tidak mungkin menceritakan aibnya.

...***...

Aku hamil, Ma.

Apa? Siapa yang melakukan itu padamu?

Winda bergidik menyasikkan acara yang ada di layar televisi, “Ngeri banget SMP mainnya hamil-hamilan.”

Dimas yang kebetulan melintasi ruang tengah sehabis dari dapur ikut duduk di sebelah sang ibu.

“Siapa yang hamil, Ma?”

“Itu loh, Dim. Sinetron.” Winda menunjuk televisi yang ada di deoan mereka, “masa masih piyik sudah main begituan. Kalau itu terjadi sama anak Mama sudah Mama usir dari rumah. Maka itu Mama lebih dukung Dira menikah dari pada pacaran terus sama Sam.”

“Itu cuma sinetron, Ma. Jangan terlalu dibawa serius,” ujar Dimas, kemudian meneguk jus yang tadi dia buat sebelumnya.

“Walau ini cuma sinetron, tapi bisa jadi pelajaran untuk orang tua seperti Mama. Pergaulan anak sekarang ‘kan memang lebih seram dari zaman dulu. Kalau dulu gadis-gadis lebih suka di rumah membantu ibunya. Sekarang banyak mama temui di toko kue kita. Mereka datang sama pacarnya.”

“Sekarang sama dulu nggak bisa Mama samakan. Zamannya saja sudah berbeda, Ma.”

Winda menepuk paha Dimas, “Maka itu Mama lebih ketat mengawasi adikmu dan kamu. Kamu juga harus Mama awasi walau laki-laki. Awas kamu sampai melakukan hal nggak baik itu. Kalau sudah punya pacar langsung saja nikahi.”

“Dimas nggak akan begitu, Ma. Dimas ‘kan anak soleh.” Pria ini tersenyum pada Winda.

Winda mencebikkan bibir, kemudian mengusap rambut anak sulungnya itu.

“Iya yang soleh, tapi sampai sekarang masih sendirian saja. Mau Mama jodohkan?”

Dimas yang sedang meneguk jus tiba-tiba terbatuk-batuk. Winda tertawa sembari mengusap punggung putranya.

“hati-hati dong, Kak.”

...***...

A/N

...Aku mau sedikit menjelaskan buat yang protes kenapa Dimas akan dapat wanita seperti Liana?...

...jawabannya, konsep ceritanya memang seperti ini. Aku menggambarkan sosok-sosok yang gak sempurna. Memang di dunia nyata semua orang juga gak sempurna. Semua orang punya masa lalunya. Kisah hidup Liana memang sedikit seram ya kawan, tapi di balik itu banyak pelajarannya yg bisa kita ambil. Seperti, menjaga diri sendiri sampai dapat yang halal....

...Sekarang nikmati saja dulu kisahnya. kalian akan mengerti seiring berjalannya waktu. Orang yang terlihat buruk juga punya sisi baiknya....

Terima kasih sudah membaca dan memberi tanggapan untuk cerita ini 💕 semua kritik dan saran aku tampung. Apa lagi yg menujang kepenulisanku makin baik. Terima kasih semua. Tetap baca sampai tamat ya. love you ❤

Terpopuler

Comments

Ⴝɑᷟɑᷤ͠ɑ

Ⴝɑᷟɑᷤ͠ɑ

Waduhhh

2021-03-21

1

🌼🌈𝔇𝔢𝔰𝔦𝔦 𝔏𝔲𝔱𝔳𝔦🌈🌼

🌼🌈𝔇𝔢𝔰𝔦𝔦 𝔏𝔲𝔱𝔳𝔦🌈🌼

semangat terus kak

2021-01-14

1

Inces

Inces

Huhuhu keren, up terus yaa thor 🙏😻

2021-01-13

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!