Part ini sudah di Revisi, jadi mungkin pembaca lama akan mendapati sedikit perubahan namun tidak mengubah alur dalam skala besar. Terimakasih🙏
'Tidak, aku tak akan sempat mengelak.' batin Vania berteriak sambil menutup matanya.
DOR
"ARGHH.." Vania membuka matanya cepat saat mendengar teriakan keras dari mulut Boby dan suara tembakan yang memekakkan telinga.
Vania menatap Boby yang terbujur di tanah dengan darah yang merembes dari bahu kanannya. Boby berteriak kesakitan sampai-sampai Vania bergidik ngeri mendengar erangannya. Vania juga melihat para bawahan Boby telah berlari menghilang entah ke mana karena melihat bosnya ditembak.
Vania tersadar dengan cepat, lalu matanya memencar mencari sosok yang membuang logam panas itu ke tubuh Boby. Dari arah belakangnya, Vania melihat beberapa pria tinggi dengan baju serba hitam membelah kerumunan rombongan sekolahnya. Vania mengernyit bingung menatap para pria berbaju hitam itu menuju ke arahnya.
Sam yang tau sesuatu yang buruk akan terjadi, ia berlari dengan cepat menghampiri Vania.
"Zee, menjauh dari mereka!" Sam yang akan berlari ke arah Vania dengan cepat dicegat oleh para pria berbaju hitam itu. Tetapi bukan Sam namanya jika ia tak melakukan perlawan. Kedua pria yang menahannya langsung menerima pukulan telak dari Sam yang berhasil membuat mereka tumbang ke tanah.
"LEPAS SIALAN!"
Vania menatap Sam yang sekarang sudah ditahan oleh enam pria bertubuh kekar sekaligus dan itu berhasil membuat Sam tak dapat melakukan perlawan kembali. Tak sampai di sana, para pria berbaju hitam tersebut juga mengelilingi gerombolan teman sekolah Vania agar mereka tidak melakukan perlawanan juga.
"Lepaskan Sammy! Lepaskan teman-temanku!" ucap Vania marah pada pria-pria berbaju hitam itu.
"Jangan harap!" Vania menatap ke arah sosok pria yang tiba-tiba muncul dengan santai sambil memasang senyum menyeringainya yang mengerikan, membuat Vania bergidik saat melihat senyuman tersebut.
Pria itu—Davin Anthonic Raveno, pria yang ia temui di acara semalam.
"Mr. Raveno, apa yang anda lakukan? Jangan bilang kalau anda yang menembak Boby?" tanya Vania menatap Davin tajam serta ekspresi tak habis pikir.
"Kalau iya kenapa? Seharusnya kau bersyukur aku tidak menembak tepat di kepalanya dan hanya menebak bahunya." ujar Davin menatap Boby yang masih mengerang kesakitan di tanah.
"Kenapa kau melakukannya?" tanya Vania tak habis pikir.
"Apa kurang jelas? Aku menembaknya karena tangannya mencoba untuk menyentuh milikku." ujar Davin dengan senyumnya yang memudar, namun matanya memancarkan segala emosinya.
"Kau gila. Siapa yang kau sebut dengan MILIKMU?" geram Vania.
"Siapa lagi jika bukan kau Vania." jawab Davin dengan senyum miringnya. Senyum itu menggambarkan, betapa senangnya sang macan sudah mempermainkan mangsanya.
"DASAR GILA, LEPASKAN SAMMY DAN TEMAN-TEMANKU SEKARANG JUGA!"
"Kau masih menyebut nama kekasihmu setelah ia tak berbuat apapun saat kau meregang nyawa?" tanya Davin menatap Samuel dengan tatapan mencemooh.
"DIAM! KAU TIDAK TAU APAPUN!"
"CUKUP! JANGAN BERTERIAK LAGI PADAKU atau aku akan benar-benar membunuh pria sekarat ini di depan matamu." teriak Davin di awal, lalu berbicara pelan agar hanya Vania yang dapat mendengar ucapan selanjutnya.
Vania tergelak tak tau harus melakukan apa. Vania menatap Sam, lalu menatap ke arah Boby. Dia tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan mereka semua, kecuali menuruti perkataan pria di depannya ini.
"Bawa pria ini ke rumah sakit dan bayar biayanya, lalu tinggalkan dia! Dan kau gadis kecil, ikut aku!" Davin tanpa aba-aba langsung menggendong tubuh Vania ke pundaknya, seperti memanggul sekarung beras dengan begitu mudah.
"Turunkan aku bere*gsek!" Vania memberontak dengan mengayunkan kakinya, namun segera ditangkap oleh kedua tangan Davin dan menahan agar kedua kaki Vania tak dapat bergerak.
"Berhenti memberontak dan melakukan hal yang sia-sia." ujar Davin sambil tersenyum kemenangan karena kaki Vania tak dapat lagi memberontak.
"ZEE.. LEPAS! ZEE."
Kenzo yang melihat Davin semakin mendekat, langsung membuka pintu penumpang mobil.
"Ke kantor!" ujar Davin, lalu masuk dan menutup pintunya.
Dari dalam mobil Vania menatap Sam dan teman-temannya dengan raut cemas. Setelah itu ia merasakan mobil bergerak menjauh entah ke mana hingga akhirnya teman-temannya tak terlihat lagi olehnya.
"Lepaskan teman-temanku!" ujar Vania menatap Davin yang duduk tenang di sampingnya.
"Mereka pasti sudah dilepaskan sekarang." jawab Davin.
"Apa maumu?" tanya Vania dengan raut kesal.
"Apa masih kurang jelas? Aku menginginkanmu." ujar Davin, lalu menoleh ke arah Vania yang menatapnya tajam.
"Kau gila? Kita bahkan baru bertemu kemarin." Vania membuang nafasnya kasar tak habis pikir.
"Memangnya kenapa jika kita baru bertemu?" tanya Davin, lalu kembali menatap ke arah depan.
"Aku harus pulang, Papa pasti mencariku." ucap Vania sambil mengalihkan topik pembicaraan secara tiba-tiba.
"Kau yakin dia mencarimu?" tanya Davin telak, tepat mengenai ulu hatinya yang tiba-tiba terasa nyeri seperti sedang ditusuk. Vania menggigit bibirnya kecil sambil menundukkan kepalanya.
"Kalau tidak ada kabar dia pasti mencariku." ujar Vania dengan nada lemah. Davin menolehkan kepalanya menatap gadis di sebelahnya yang sedang menunduk dengan wajah sedih.
Pria itu menghela nafas pelan setelah melihat ekspresi sedih gadis itu. "Kau menangis?" tanya Davin sambil mengusap puncak kepala Vania.
"Aku tidak menangis." bantah Vania kesal sambil mengangkat kepalanya dan menatap Davin, lalu menghempaskan tangan pria itu yang sedang mengelus kepalanya.
"Lalu kau bersedih?" tanya Davin.
"Tidak juga. A.. Aku hanya mengantuk, itu saja." ujar Vania sambil memasang wajah lelahnya sambil menunduk lesu.
"Yasudah tidurlah! Kalau kita sampai aku akan membangunkanmu." ucap Davin santai seakan tak berbeban hidup.
"Tidak perlu, kau pasti akan melakukan hal buruk saat aku tidur nanti." kata Vania sambil memasang wajah curiga.
"Dasar anak kecil." cibir Davin tanpa menatap Vania.
"Hei, aku gadis dewasa, apa kau buta?" tanya Vania tak terima dengan cibiran pria di sampingnya itu.
"Kita ke Mansion saja!" ucap Davin menghiraukan gadis di sampingnya.
"JANGAN! untuk apa kau membawaku ke mansionmu?" tanya Vania kesal. Davin menoleh menatap Vania, lalu memajukan wajahnya ke arah telinga gadis itu yang berhasil membuat Vania berkeringat dingin dalam sekejab.
"Membuktikan jika kau adalah seorang gadis dewasa." bisik Davin dengan nada seksi menggoda, yang berhasil membuat Vania bergidik di tempat.
"DASAR MESUM!" teriak Vania kesal.
"Berhenti berteriak tepat di telingaku! Bisa-bisa aku tuli jika terus berada di dekatmu." ucap Davin sambil menjauhkan tubuhnya saat mendengar teriakan melengking Vania tepat di samping telinganya.
"Mainkan ponselku dan diamlah sampai kita tiba di Mansion!" ucap Davin menyerahkan ponsel pribadinya.
Vania mengambil ponsel tersebut dengan kasar, lalu mencebikkan bibirnya kesal.
"Password?" tanya Vania kesal.
"Tanggal lahirmu." jawab Davin datar.
Vania melempar wajah curiga, lalu mengetikkan angka 0331 pada keyboard dan terbuka.
"Wah.. Wah.. Apa kau pengagum rahasiaku?" tanya Vania dengan wajah tak menyangka.
"Diam!" ucap Davin dingin yang hanya dibalas cebikkan bibir oleh Vania.
Vania mengotak atik ponsel di tangannya itu dan mendownload sosial media seperti Instagram, lalu beberapa game untuk mengisi kejenuhannya. Setelah berhasil login dengan akun sosial medianya dan memainkannya, matanya lama kelamaan mulai terasa lelah.
Vania mengucek matanya yang berair, sambil mematikan ponsel milik Davin. Masih dengan gerakan mengucek matanya, Vania menatap ke arah Davin dengan wajah ngantuknya.
"Apa masih lama? "Tanya Vania dengan suara paraunya. Davin menoleh dan mendapati Vania yang mengucek matanya yang mulai redup.
"Oh Tuhan, kenapa gadis ini menggemaskan sekali?" batin Davin berteriak.
"Kau mengantuk?" tanya Davin lembut, bahkan Kenzo terkejut mendengar nada lembut tersebut keluar dari bibir Tuannya.
"Hmm." dehem Vania mengiyakan.
"Tidurlah! Aku akan membangunkanmu jika kita sampai." ucap Davin sambil menarik tangan Vania yang sedari tadi mengucek matanya.
"jangan dikucek nanti memerah, Tidurlah!" ujar Davin lembut, lalu menarik kepala Vania untuk bersender di bahunya.
"Ingat jangan macam-macam!" ancam Vania dengan mata setengah tertutup dan mencari kenyamanan di bahu kekar Davin.
"Hm.." balas Davin dengan deheman singkatnya. Davin menatap ponselnya yang berada di genggaman Vania, lalu mengambilnya dengan gerakan perlahan.
Setelah mengetikkan beberapa digit nomor, Davin meneliti apa saja yang terjadi pada ponselnya dan ia menemukan beberapa game dan instagram yang baru saja terpasang di ponselnya.
"Ck.. Dasar anak kecil." cibir Davin dengan suara sekecil mungkin. Mirip seperti mendesis, sambil melirik gadis yang tertidur tenang di bahunya.
***
Vania mengerjabkan matanya pelan saat merasakan tenggorokannya begitu kering karena ia membutuhkan minum. Vania beranjak dari ranjangnya dan ia baru menyadari jika ia terbangun di tempat yang tidak ia kenal.
"Pria itu benar-benar." geram Vania kesal.
Vania melangkah ke luar dari kamar tersebut, memencarkan pandangannya, lalu menuruni anak tangga menuju dapur. Vania berusaha mencari di mana letak dapur dan akhirnya perjuangannya tak sia-sia saat melihat meja makan.
Dengan langkah cepat, Vania berjalan ke dalam dapur dan mengambil minuman dingin dari kulkas, lalu meneguknya dengan rakus.
"Huhh, nikmatnya."
"Pukul berapa ini? Kenapa sepi sekali?" tanya Vania bermonolog. Vania melirik jam tangannya dan melihat pukul 11.00 Pm yang tertera di sana.
"Pantas saja, sudah malam ternyata. Aku sudah tertidur cukup lama dan pria itu tidak membangunkanku dan memberiku makan." Vania duduk di kursi meja makan sambil meminum kembali airnya dengan wajah kesal.
"Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" suara itu membuat Vania menoleh ke belakang dengan wajah terkejut dan mendapati Davin berdiri dengan baju casualnya.
"Kau mengejutkanku." kata Vania kesal.
"Aku minum dan sekarang aku lapar." ucap Vania sambil mengelus perutnya yang keroncongan.
"Aku akan menyuruh pelayan untuk membuatkanmu makanan."
"Tidak perlu, biar aku saja yang memasak." katanya, lalu beranjak kembali ke dalam dapur.
Vania membuka kulkas dan menatap bahan makanan yang begitu lengkap, sedangkan Davin hanya berdiri di samping lemari dan menatap setiap gerak gerik gadis itu.
"Aku ingin daging, tetapi ini sudah begitu larut. Hmm.... Sandwich atau spagetti?" tanya Vania bergumam pada dirinya sendiri.
"Hmm.. Yasudah dua-duanya saja." ucapnya lagi, lalu merogoh bahan yang ia butuhkan di dalam kulkas.
"Apa kau juga mau?" tanya Vania menatap Davin yang juga menatapnya lekat.
"Tidak." jawab Davin singkat.
"Baiklah."
Vania mengambil dua potong roti, lalu memasukkannya ke dalam alat pemanggang roti. Ia mencuci selada, acar, tomat serta bawang bombay, lalu memotongnya. Setelah itu ia menghidupkan dua sisi kompor, lalu memanaskan sebuah teflon yang telah ia beri butter.
Vania mengambil sebuah panci berukuran kecil, Mengisinya dengan air, lalu memasukkan mie spaghetti ke dalamnya. Dengan begitu cekatan ia menggoreng telur ke dalam teflon dengan api kecil. Alat pemanggang berdenting, lalu gadis itu mengambil kedua roti tersebut dan meletakkan ke atas piring.
Vania mematikan kompor yang berisi telur, agar tidak gosong. Vania berlari kecil ke arah kulkas dan mengambil botol saus tomat, saus pedas, dan mayonaise. Vania melumuri kedua roti dengan saus dan mayonaise lalu menyusun telur, selada, acar, tomat, dan bombay dengan rapi, lalu menutupnya kembali dengan roti. Sandwich selesai.
Vania menghidupkan kembali kompor teflon yang tadi ia pakai, lalu mengambil saus spaghetti dan memanaskannya di atas teflon. Dengan cekatan Vania mematikan kompor yang di atasnya panci, lalu mengambil mie dari dalam dengan menggunakan saringan. Ia memasukkan mie tersebut ke dalam saus spaghetti, lalu mengaduknya dengan ahli. Setelah selesai, ia mematikan kompornya dan meletakkan spaghetti ke atas piring dan memberi potongan daun bawang yang tadi ia iris di atasnya.
"Selesai. Wah, aku memasaknya hanya dengan waktu 30 menit." ucap Vania kembali bermonolog dengan raut gembira.
Vania melempar senyum ke arah Davin yang senantiasa menatapnya sambil membawa kedua masakannya ke meja makan.
"Kau ini kecil, namun porsi makanmu banyak juga." ujar Davin dengan nada mengejek.
Davin duduk tepat di sebelah Vania yang hanya menatapnya sekilas, lalu memakan sandwichnya dengan wajah berbinar.
"Ehm.... Nikmatnya." Vania menutup matanya merasakan kenikmatan makanan yang ia masak di mulutnya.
Davin hanya menatap Vania yang menyantap habis sandwichnya dengan wajah berbinar. Setelah selesai, Vania beralih meraih spaghetti dan memakannya dengan penuh binar seakan tak sabar lagi untuk menyantap makan tersebut
"Suapi aku! " titah Davin. Vania menatap Davin heran setelah mendengar kalimat bernada perintah itu.
"kau bilang tidak mau." ujar Vania dengan bibir merungut tak rela.
"Tiba-tiba aku lapar." ucap Davin dengan wajah tak berdosa.
Vania membuang nafas pasrah. "Aku malas harus mengambil garpu lagi di dapur, jadi pakai milikku saja." ucap Vania sambil menyodorkan mie tersebut kehadapan Davin. Dengan senang hati, Davin menerima suapan tersebut.
Vania kembali mengisi garpunya dengan mie, lalu memasukkan kembali ke dalam mulutnya. Kembali menyuapi Davin, bergantian dengan dirinya sampai spaghetti di atas piring tersebut habis dengan bersih.
"Ah.. Kenyangnya." ucap Vania setelah menegak minumnya sampai tandas.
"Masakanmu enak." puji Davin tulus.
"Tentu saja."
"Besok buatkan aku makan siang dan bawa ke kantor! Tidak ada penolakan." ucap Davin, lalu melangkah menjauh entah ke mana meninggalkan Vania yang mematung dengan mulut terbuka ingin protes.
"Huh... Pria arogan itu!" gerutu Vania kesal.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
🎼retha🎶🎵🎶🎵
Nice life *satire
2021-10-04
1
Bundha Ai Nuha
baru kli ini bca,,,bc crita gdis di culik,,tp santai dn mlh akrab,,,lain dri pd yg lain,,,
2021-06-04
0
Amrih Ledjaringtyas
lllaaaaa...why...why...
2021-05-02
0