Abah Haji Kasturi terlihat sangat khusuk di atas tikar kecil miliknya di dalam gubuk sederhana buah tangannya sendiri yang ia bangun beberapa tahun yang lalu di pinggiran Dam Rejosari desa Grenggeng.
Mulutnya terus berkomat-kamit melafazkan sholawat serta zikir kepada Allah dan Rasulullah. Tangannya terus memutar-mutar tasbih Cendana yang ia beli setahun lalu saat berziarah ke makam Sunan Ampel bersama warga desa sekitar.
Tubuhnya tiada bergerak begitu lama dengan posisi duduk bersila begitu tenang, Karena pikiran hati dan Qolbu hanya tertuju pada satu zat yang Maha Esa.
Sesekali kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri saat mulutnya melantunkan zikir
laillahaillah... laillahaillah... laillahaillah...
Entah karena saking nikmatnya atau sudah begitu rindu pada Allah sehingga kepalanya selalu bergoyang ke kanan dan ke kiri saat melafazkan ayat-ayat tersebut.
Tetapi malam ini matanya yang semula terpejam saat menikmati kerinduan dengan begitu syahdu kembali terbuka ada suatu hal yang sedang mengusiknya.
Tangan yang biasanya tak ingin berhenti terus memutar butir demi butir tasbih tiba-tiba saja terhenti. Rupanya ada suatu peristiwa dalam penglihatan kasat mata.
Yang ia lihat saat sedang khusuk berzikir sebuah gambaran peristiwa nun jauh di Pondok As-Salam terlintas dihadapnya sehingga mengganggu ketenangan sang kiai gila.
Tubuhnya memang di dalam gubuk, tubuhnya memang masih di atas tikar, matanya memang terpejam beberapa saat lalu namun jiwa dan pandangannya seakan berada jauh di tempat lain.
Ya sang mata tertuju pada Ponpes As-Salam dimana salah satu murid kesayangannya sedang bertaruh antara hidup dan mati berkelahi melawan kebatilan melawan seorang dukun jahat pembawa setan..
“Aku harus segera membantu anak murid ku,” ucap Kiai Kasturi lirih namun suaranya seakan membelah kesunyian sekitar Dam.
“Hem, rupanya anak murid ku yang satu ini telah berpegang teguh pada janjinya, bahwa tidak akan mengungkap siapa jati diri iya sesungguhnya, kalau tidak Si Dukun itu pasti sudah binasa ditangannya, karena aku tahu betul siapa murid ku itu,” kata Abah kasturi Si Haji gila namun masih tetap tenang dalam bersila.
Memang sebelumnya ia telah meminta kepada seluruh murid dan kawannya sesama kiai yang tergabung ke dalam organisasi T O H yang ia pimpin untuk membuat janji tidak akan mengungkap jati diri mereka sebenarnya.
Karena bila itu terjadi bahaya bisa mengintai mereka dari golongan hitam seperti para dukun, setan, dan tentunya para kiai yang membela golongan hitam yang di beri pengetahuan oleh Yang Kuasa namun menggunakannya di jalan sesat.
Karena Ia paham benar apa yang terjadi saat jati diri T O H terungkap bahaya bisa saja mengintai kapanpun dan dimanapun seperti 20 tahun silam saat ia masih menjadi bagian dari organisasi T O H generasi pertama.
Beberapa temannya satu organisasi tewas terbunuh oleh para dukun dari golongan hitam. Begitu pula istri dan anaknya yang dibakar hidup-hidup di depan mata kepalanya sendiri oleh masyarakat karena di jadikan kambing hitam dan dituduh menganut ajaran sesat.
Iya tak mau hal ini terulang kedua kali pada T O H generasi ke dua.
Abah Kasturi berpikir sejenak siapakah yang harus ia temui agar mau membantu Jaka yang sedang kesusahan, “Hem rupanya Nak Lukman pun tengah berzikir, baiklah aku akan ketempatannya saja,” kata Abah Kasturi.
Dengan seketika seakan secepat cahaya tubuhnya lenyap seakan ditelan alam hilang dalam kegelapan.
. . . . . . . .
Rumah Gus Lukman
Wonosalam adalah sebuah tempat dimana terhampar sebuah hutan lebat di area kaki gunung Anjasmoro. Pas di sebelah atas kecamatan Bareng namun masih termasuk dalam kabupaten Jombang.
Di samping keindahan panorama wisata alam yang sangat menakjubkan dan memukau mata. Wonosalam menyimpan berjuta cerita mistis dan keangkeran Hutan yang begitu mengerikan.
Rumah Gus Lukman salah satu punggawa
T O H terletak disana di salah satu desa yang bernama desa Ngerimbi.
letak rumah Gus Lukman tidak jauh beberapa meter dari sebuah candi megah yang berdiri sejak jaman Majapahit saat Kerajaan terbesar sang Adi Daya pada masanya tersebut masih diperintah seorang Ratu Tribuana Tunggadewi.
Gus Lukman nampak sedang asyik bermeditasi dengan alam Malaikat, mengutarakan rindu, menitip pesan pada sang Pinarinyungan Jagat yaitu Allah Taala. Dengan terus duduk bersila memutar perbutir tasbih Melafazkan puja dan puji sholawat kehadirad Baginda Nabiyalah Muhammad Saw .
“Assallamualaikum Gus Lukman,” sebuah ucapan salam menghentikan jari-jemarinya untuk memutar tasbih, menghentikan komat-kamit mulutnya untuk melafazkan zikir dan sholawat.
Nampak bibirnya mulai merekah menampakkan senyum bahagia, karena sang Guru Abah Kasturi berkunjung menemuinya.
“Waalaikumsalam, ya Guru,” jawab Gus Lukman namun tetap dalam posisi awal bersila menghadap kedepan sedangkan sang guru datang begitu cepat tiba-tiba hadir bersila di samping kanan tempat Gus Lukman duduk bersila.
“Lukman kau pun sudah mengetahui maksud dan tujuanku datang kemari bukan?,” kata Abah Kasturi sang guru.
Gus Lukman mengangguk perlahan seraya berucap, “Baik Guru saya akan pergi menolong Adiku Jaka,”
“Ya lekaslah pergi menuju pondok As-Salam, Adimu Jaka sudah sangat membutuhkan bantuanmu,” kata Abah Kasturi.
“Enggeh Guru (ia guru),” kata Gus Lukman.
Seperti biasanya Sang Guru datang dan pergi bagai cahaya hilang begitu cepat hanya terdengar salam yang terucap namun tubuhnya hilang tak berbekas.
Gus Lukman lantas berdiri dari duduk bersilanya berjalan menuju kamar utama hendak mengecek anak dan istrinya, nampak mereka tengah tertidur pulas benar,
Karena memang hari masih begitu larut menjelang pagi tepatnya di waktu menjelang seperempat malam pukul 01.30.
Gus Lukman menghampiri sang istri yang tengah tertidur pulas bersama perempuan kecil buah hati mereka seraya mengecup kening sang istri dan berkata, “Kakang pergi dulu Adindaku, ada tugas penting dari Bapa Guru. Jaga rumah baik-baik ya, Assalamualaikum,” kata Gus Lukman
Lalu dengan cepat bagai angin menghilang melalui celah-celah jendela terus melesat turun menuju Pondok Pesantren As-Salam.
............
Jaka tengah berada di cengkeraman Pak Wiro terus berusaha melepaskan diri. Tusukan pertama dari keris Pak Wiro mengenai pinggang kiri Jaka menyobek kulitnya agak dalam sehingga membuat Jaka nampak begitu kesakitan.
“Rupanya kau sudah teramat tua Pak Wiro, kenapa tusukanmu meleset bukankah tadi kau bilang hendak menusuk jantungku?,” kata Jaka sedikit menyindir Pak Wira.
“Memang benar kau adalah anak dari Wachid, tabiatmu sama dengan Abahmu rupanya. Ajal sudah didepan matamu kau masih bisa bercanda?,” kata Pak Wira.
“Hehehe, uhuk.. uhuk.., maaf Pak Wira kali ini kau akan kalah sama seperti 20 tahun yang lalu saat kau dikalahkan oleh Abahku Abah Wachid,” kata Jaka menahan sakit dengan terbatuk-batuk.
“Sudah jangan banyak bicara, terima ini....!!,” kata Pak Wira seraya menghunuskan keris ditangannya namun kali ini pun luput tidak mengenai uluh hati Jaka, kali ini keris mendarat di perut Jaka.
Jep......
Keris sakti berjuluk keris setan Kober milik Pak Wira menancap pas ditengah perut Jaka. Darah pun mengalir di sela-sela lekuk keris meluncur jatuh ketanah berwarna merah kehitam-hitaman.
Huaaark.. uhuk... Uhuk...
Jaka mulai muntah darah sedangkan wajahnya mulai pucat pasi. Tubuhnya yang tengah berada di cengkeraman Pak Wira mulai lemas tak berdaya.
Matanya mulai nampak kabur, tetapi mulutnya masih tetap tersungging. Seakan ingin menunjukkan pada Ustazah Ratih dan para santri yang tengah menangis di pinggiran pagar pembatas asrama pondok bahwa ia baik-baik saja.
“Mas Jaka.... Tidak...!!,” dari kejauhan Ustazah Ratih berteriak sekencang-kencangnya sambil terus menangis.
Karena tak kuasa melihat kebrutalan Pak Wira yang terus menancapkan keris ke tubuh Jaka berulang-ulang kali.
_
_
_
_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
Jono 8989
mantap ada kerisnya
2021-05-12
0
👑
👍🏻👍🏻
2021-03-27
0
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
jejak
2021-02-19
0