CINTA

CINTA

Prolog

Waaaooo,...!!!

Lusinan burung gereja yang sedang menikmati suasana pagi nan indah kabur tunggang langgang, kala serbuan Bocah- bocah mengejutkan mereka. Suara kaki- kaki berlarian penuh semangat, teriakan demi teriakan menulikan gendang telinga, tumpah ruah penuh keceriaan.

Bus pariwisata terparkir tidak jauh dari gerbang sekolah. Herman, Pria paruh baya, supir bis pariwisata itu, reflek melebarkan senyumnya, melihat pasukan cilik bergerak cepat ke arahnya. Bersama Ibu Helen, wali kelas Taman Kanak- Kanak, Ali, asistennya, mereka berdiri di dekat pintu bus, siap menyambut mereka.

" Ayo, anak-anak, berbaris yang rapi." Angga, guru olahraga yang juga panitia acara hari itu, meredakan keriuhan murid-murid ciliknya. Tangannya mengacung ke atas, memberi intruksi. " Anak perempuan, berbaris bersama Ibu Helen. Dan, yang laki-laki berbaris bersama Bapak Ali ." Katanya melanjutkan.

Tanpa menghilangkan keceriaan di wajah mereka, Dua puluh lima bocah, laki-laki dan perempuan, mengikuti komando. Satu demi satu Bocah- bocah menggemaskan itu berdiri rapi di belakang Ibu Helen dan Bapak Ali.

Terdengar suara tangis seorang bocah di bagian belakang,

" Kakak,... Aya mau sama kakak, tidak mau di sana."

Bocah perempuan cantik berusia 5 tahun, Mona, merangkul adik sepupunya yang berusia 4 tahun, Naraya, yang wajahnya penuh dengan air mata.

" Aya, jangan cenggeng." Katanya lembut, menenangkan," Bapak Ali hanya akan mengabsen kita. Nanti di dalam bus, kita akan duduk sama- sama."

" Tidak mau,..."

" Aya,..."

Angga menangkap suara tangisan di sana, dan mengangkat wajahnya. Terdengar helaan napas singkat, sebelum akhirnya tersenyum.

Di luar barisan paling belakang, dua bersaudara, Mona dan Naraya, saling berangkulan erat. Lebih tepatnya, bocah perempuan itu mengunci kedua tangannya di pinggang sang kakak dengan sangat kencang.

Naraya atau biasa dipanggil Aya, murid termuda di sekolah mereka, memang terkenal manja dan mudah menangis. Wajar untuk anak seusianya yang baru pertama kali berbaur dengan dunia luar, selain keluarganya. Aya sudah menarik begitu banyak perhatian sejak awal ia menginjakkan kakinya di sekolah enam bulan yang lalu. Bukan karena ia anak tunggal salah satu orang terkaya di negeri itu, tapi karena sosoknya yang bak malaikat.

Fisiknya begitu mungil, dengan wajah rupawan.

Masih kecil saja sudah bisa membuat orang-orang berdecak kagum, bagaimana jika ia besar nanti...

Angga melangkah mendekati dua bersaudara itu, berjongkok di depan Naraya.

" Ada apa, Aya? Kenapa kamu menangis?" Ia bertanya lembut.

" Aya tidak mau ikut berbaris bersama anak-anak , Pak Angga." Jawab Mona, mewakili adik sepupunya itu. Wajah Mona campuran antara sedih dan kebinggungan." Aku sudah mengatakan kepadanya, bahwa kita akan satu kursi di bus nanti. Tapi dia tidak percaya."

Kepala Angga mengangguk. " Mona benar, Aya." Katanya," Pak Ali hanya mengabsen sebentar, hanya memastikan kalian semuanya ada. Tidak akan lama, kok. Nanti bisa duduk sama Mona lagi di bus."

Naraya masih membisu. Bibir mungilnya sedikit bergetar menahan tangis. " Aran tadi bilang akan menurunkan Aya di jalan nanti, kalau tidak ada kakak. Aya takut,..."

Kedua alis tebal Angga bergerak naik, " Aran? Narayan, maksud Aya?"

Dengan polos, Naraya mengangguk," Iya,.. dia bilang begitu."

Dengan sekali tarikan napas, Angga bangkit dari posisi jongkoknya. Ia membalikkan badan. Matanya tertuju pada bocah tampan yang berada di depan barisan bersama teman-temannya. Saat kedua mata mereka bertemu, bocah itu terlihat terkejut, seakan tertangkap basah.

" Aran,...kemari kau!"

🐢🐢🐢

Bus pariwisata yang membawa rombongan anak- anak itu perlahan- lahan keluar dari gerbang sekolah. Suara anak- anak bernyanyi terdengar dari dalam bus, begitu penuh semangat dan penuh kegembiraan.

Bagaimana tidak, hari itu mereka akan pergi mengunjungi banyak hewan di kebun binatang, dan belajar mengenal hewan-hewan di sana. Siapa yang tidak suka binatang? Semua pasti menyukainya, bukan?

Herman menggoyangkan kepalanya, mulutnya ikut berdendang bersama anak-anak di belakang kemudi. Ia sudah puluhan tahun menjadi supir bus pariwisata. Sudah tak terhitung jumlahnya mengantarkan rombongan untuk bertamasya. Dan salah satu yang paling disukainya adalah mengantarkan rombongan anak- anak kecil, seperti sekarang ini, ke obyek wisata.

Bahagia bisa melihat anak- anak tertawa, menjerit-jerit kegirangan, dan bernyanyi bersama dengan suara lucu mereka. Beban hidupnya terasa sedikit teralihkan, dan ikut bergembira bersama mereka.

Muncul kerutan di pelipis Herman saat melirik kaca spion sebelah kiri. Ekor matanya mengawasi sebuah van berwarna hitam yang sedari tadi menempel di sisi kiri kendaraannya. Ia merasa ada yang aneh, ada yang janggal.

Awalnya ia tidak menghiraukan keberadaan van hitam itu. Ia berpikir jika van hitam itu hanya satu dari sekian kendaraan yang melaju bersamanya di jalur lalu lintas.

Namun, setelah dipikir-pikir , van hitam itu sudah menempel di sisi kiri busnya begitu lama, mengingat keberadaannya di sana hanya beberapa menit setelah mereka meninggalkan sekolah. Muncul

pemikiran aneh di kepalanya.

Apakah Van itu mengikuti mereka?

Hanya satu cara untuk membuktikan mengenai itu.

Dengan terlebih dahulu melihat kondisi lalu lintas di depannya, lalu di sebelah kanan, Herman mengarahkan kemudi untuk berpindah jalur.

Melihat kembali ke kaca spion kiri, dan mendapati Van itu mengikutinya berpindah lajur dan kembali menempel dekat, Herman yakin sekali kalo Van hitam itu mengikutinya.

" Pak Herman? Apakah telinga saya tidak salah mendengar? Anda baru saja mendengus?" Ali yang asyik berkirim catt kepada salah seorang temannya lewat ponsel terusik saat mendengar dengusan kasar Herman.

Hampir dua tahun ia menjadi asisten pria paruh baya itu, menemani setiap tugas mengemudinya. Bagaimana Herman selalu menjaga ketenangannya, hampir tidak pernah mengeluh ataupun emosi sekali pun. Baru kali ini Ali mendengar pria itu mendengus. Itu suatu hal yang mengejutkan untuknya.

" Kau lihat Van hitam di sebelah kiri?" Kata Herman pelan, menjawab rasa heran pria muda di sebelahnya. ia menggerakkan kepalanya ke arah kiri, ke arah Van hitam yang menarik perhatiannya.

Ali buru- buru menyimpan ponsel di saku jaket merahnya, lalu kedua matanya beralih mengikuti arah pandangan Herman. Sebuah Van hitam melaju begitu dekat di badan kendaraan mereka di sebelah kiri.

" Van yang itu?" Ia kembali bertanya tanpa mengalihkan tatapan matanya dari van hitam itu, " Apakah terlalu dekat dengan kendaraan kita, Pak Herman? Klakson saja Pak Herman, agar mereka menjaga jarak aman dari bus kita."

" Bukan karena itu, Ali." Herman mendesah," Sepertinya van itu sedang mengikuti kita. Aku sudah melihatnya menempel bus kita tidak lama setelah kita keluar dari sekolah. Aku perhatikan van itu tetap berada di jalur dan tempat yang sama dengan kita."

" Mengikuti dari sekolah?" Kernyit Ali, sedikit terkejut," Apakah anda yakin, Pak Herman?

" Aku memang sudah tua, Ali. Tapi mataku masih berfungsi dengan cukup baik."

" Bukan begitu, Pak Herman," Ali merasa tidak enak hati karena sepertinya pria tua itu tersinggung." Aku tidak pernah meragukan firasatmu, sungguh. Hanya saja, aku tidak melihat hal yang aneh dengan Van hitam itu."

" Baiklah, akan aku buktikan kalau van itu mengikuti kita. Kau lihatlah baik- baik, Ali."

Lalu, hal yang sama dilakukan Herman. Setelah terlebih dahulu melihat keadaan aman di depannya, ia berpindah jalur ke sebelah kanan. Tak lupa matanya yang tajam mengawasi kaca spion kiri bersama Ali.

Tidak lama setelah kendaraan yang dibawanya berpindah jalur, van hitam itu segera mengikuti, ambil lajur kanan, dan menempel di sisi kirinya, seperti tadi.

Ali dan Herman saling melempar pandangan mereka melihat itu. Pembuktian bahwa perkataan Herman benar adanya.

" Lapor Pak Angga. Cepat!"

" Baik." Ali segera bangkit dari duduk, dan menghampiri Angga yang duduk di deretan kursi ketiga bersama anak-anak muridnya. Sepertinya ia tidak tahu apa yang terjadi.

Sementara Ali melapor, Herman masih fokus mengemudi. Beberapa meter di depan terlihat perempatan lampu merah, dan lampu lalu lintas sudah berwarna merah.

Entah mengapa jantung Herman berdeguk kencang. Sesuatu akan terjadi. Dengan pengendalian yang tinggi, pria paruh baya itu mengurangi kecepatan kendaraan, dan bersiap memasuki jalur lampu merah.

Kejadiannya begitu cepat. Belum ada lima menit kendaraan berhenti di lampu merah, terlihat empat orang pria berpakaian serba hitam melompat turun dari van hitam yang ada di sisi kirinya, dan bergerak ke arah bus.

Braaaakkk!!!!

Suara keras mengejutkan penghuni bus, menghentikan semua aktivitas yang terjadi di dalamnya. Empat manusia dewasa dan dua puluh lima anak- anak seakan berubah menjadi patung secara tiba-tiba.

Pintu bus terhempas rusak dengan dua kali tendangan dari luar. Herman yang berada paling dekat dengan pintu, masih dengan keterkejutan di wajahnya, bergerak bangkit dari duduknya. Ia melihat dengan jelas empat sosok berpakaian serba hitam memaksa masuk ke dalam bus.

" Siapa kalian?" Mau apa,..."

Pria pertama segera mengeluarkan senjata berupa pistol, mencium langsung ke kening Herman.

" Jangan bertindak macam-macam, tua Bangka, atau isi pistol ini akan menghancurkan kepalamu!" Suara berat si pemiliknya, tertuju kepada Herman.

Ancaman pria bertubuh besar itu menciutkan nyali Herman. Bukannya dia enggan untuk melawan, hanya saja ia merasa percuma saja ia melakukannya. Tubuh Herman bergetar hebat. Sembari menelan ludah dengan sulit, ia mengangkat kedua tangannya.

" Nah, sekarang duduk!" Melihat pria tua itu gemetar ketakutan, pria berpakaian hitam itu tersenyum di balik topengnya. Sembari mengawasi Herman yang perlahan- lahan duduk kembali di kursinya, pria itu memberi intruksi kepada ketiga pria berpakaian hitam lainnya, " Cari anak itu. Jangan buang waktu!"

Anggukan terlihat dari ketiganya. Melewati pria pertama, mereka bergerak masuk ke dalam bus, siap melaksanakan tugas.

Anak- anak yang masih mematung karena shock melihat tiga sosok berbadan besar berpakaian serba hitam berjalan cepat ke arah mereka. Ketiganya melewati kursi satu demi satu, seperti tengah mencari sesuatu di antara anak-anak yang duduk di sana. Mata di balik penutup wajah hitam itu dengan tajam mendeteksi keberadaan satu anak yang fotonya ada di saku jaket hitamnya.

Gerakannya terbilang cepat. Kursi pertama, kiri dan kanan, diisi dua bocah laki- laki dan dua bocah perempuan yang duduk mematung memandangi mereka. Kursi kedua, ketiga dan seterusnya pun berisi sepasang bocah laki- laki dan perempuan. Ia tidak menemukan bocah yang persis sama di foto di antara mereka, hingga mereka berhenti di kursi paling belakang.

Bocah mungil berjaket merah tengah tertidur pulas, diapit wanita dewasa dan bocah perempuan di kiri dan kanannya. Akhirnya, ia mendapatkan apa yang dicarinya.

" Hei,..jangan! Kalian mau apa?!" Helen berteriak kencang saat pria bersarung wajah di hadapannya mengulurkan kedua tangannya, dan menyambar bocah bertubuh kecil yang terlelap di sampingnya

Helen panik, mencoba mempertahankan bocah itu dengan sekuat tenaganya, yang mengawali keributan di dalam bus. Sontak semua anak menjerit-jerit histeris di kursi mereka, menangis dengan kerasnya. Hal itu membuat bocah kecil yang menjadi rebutan terbangun dari tidurnya, dan kebinggungan.

Sebuah pukulan menghantam kepala Helen, berasal dari salah satu pria itu, membuatnya memekik kesakitan, dan melepaskan tangan dari tubuh penculik muridnya. Tubuhnya jatuh kembali ke kursi dengan sisi kepala mengeluarkan darah.

Bocah perempuan yang sedari tadi duduk ketakutan menjerit sekeras-kerasnya. Ia melihat ke arah pria bertubuh besar yang mengendong sepupunya, perlahan menjauh.

Mona melompat dari kursi, berlari mengejar penculik sepupunya.

" Kembalikan Aya!" Teriak Mona keras, memukuli punggung pria yang berjalan paling belakang." Jangan bawa Aya! Jangan bawa dia!"

" Kakak,..." Tangis Naraya pecah, penuh ketakutan.

Teriakan ketakutan Naraya saat dirinya dibawa pergi orang tak dikenal memancing reaksi anak-anak yang lain. Bocah- bocah yang lebih besar melompat keluar dari kursi mereka dan menyerbu sang penculik. mengerumuninya bak tawon.

" Lepaskan Aya!" Teriak mereka bersama-sama, sembari memberikan pukulan dan tendangan sekuat tenaga mereka." Lepaskan dia!"

Terbiasa menghadapi lawan dewasa, serbuan anak-anak membuat ketiga pria berpakaian hitam itu kebinggungan. Mereka tidak mungkin memukuli anak-anak. Sangat tidak profesional.

Satu anak laki-laki bahkan menghujamkan gigi tajamnya ke tangan si penculik, membuatnya mengeram kesakitan. Hampir saja bocah yang dibawanya terlepas.

" Aran,... tolong,..." Penuh air mata, Aya menatap bocah laki-laki yang saat ini berdiri di depan dirinya dan si penculik. Pandangan Aya dan Aran bertemu, penuh rasa yang sulit terartikan. Yang satu, keinginan untuk diselamatkan. Dan yang satu lagi, keinginan untuk menyelamatkan.

" Lepaskan dia!" Kali ini kaki kecil Aran menendang tulang kering Si Penculik, berkali- kali, penuh tenaga.

Belum hilang rasa sakit di pergelangan tangannya akibat Gigi bocah laki-laki itu, kali ini kakinya menjadi sasaran tendangan. Meskipun rasanya tak sesakit gigitan di tangannya, namun ulah bocah itu sangat menganggu.

Pria yang masih menempelkan senjatanya di pelipis Herman melihat aksi Aran begitu menganggu. Ia bergerak cepat, menarik kerah belakang bocah itu, dan melemparnya ke kursi tempatnya berasal.

Tanpa membuang kesempatan, Herman segera bergerak dari duduknya, menghantamkan tangan yang sedang memegang senjata itu dengan keras. Terdengar geram kesakitan dari si pemilik senjata. Pukulan itu nyaris membuatnya melepaskan senjata di tangannya. Kemudian, aksi rebut- rebutan Senjata pun terjadi.

Dorrr!

Dan, peluru itu pun terlepas dari sarangnya.

🐢🐢🐢

Terpopuler

Comments

Mari ani

Mari ani

nangkring ah....seru di awal bab

2021-09-25

1

Candu_21

Candu_21

next...

2021-03-12

0

🌻Ruby Kejora

🌻Ruby Kejora

like mendarat...mari qt slg dukung.

like blk novel q ya thor
cinta rasa covid-19

2021-02-14

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 Chapter 01~ Salah Sasaran
3 Chapter 02~ Dendam si Paruh Tajam
4 Chapter 03~ Makan Malam Terakhir
5 Chapter 04~ Ulang Tahun si Kembar
6 Chapter 05~ Perjumpaan yang Menyakitkan (1)
7 Chapter 06~ Perjumpaan yang Menyakitkan (2)
8 Chapter 07~ Menawarkan Diri Menjadi Teman
9 Chapter 08~ Ini Adalah Takdir
10 Chapter 09~ Hukuman untuk Gendis
11 Chapter 10~Tugas Sang Ketua Kelas
12 Chapter 11~ Menyelidiki Kehidupan...
13 Chapter 12~ Menyambangi rumah Franda
14 Chapter 13~ Menerima Perbedaan, Itulah Teman
15 Chapter 14~ Sama- sama menyukai susu coklat (1)
16 Chapter 15~ Sama- sama menyukai susu coklat (2)
17 Chapter 16~ Bos mencarimu, Ken!
18 Chapter 17~ Tanpa Alas Kaki
19 Chapter 18~ Tim Pamela vc Tim Gendis
20 Chapter 19~ Pertumpahan Darah (1)
21 Chapter 20: Pertumpahan Darah (2)
22 Chapter 21~ Hujan air mata
23 Chapter 22~ Membawa Gendis ke rumah sakit
24 Chapter 23~ Sepuluh menit yang berharga
25 Chapter 24~ Kebersamaan yang membuat iri
26 Chapter 25~ Mengupas kulit bawang, selapis demi selapis
27 Chapter 26~ Nemenin mama reuni
28 Chapter 27~ Dua orang yang menyebalkan
29 Chapter 28~ Keputusan Bastian
30 Chapter 29 Warna yang identik
31 Chapter 30 Dunia,... begitu sempit
32 Chapter 31 Bahkan kami tidak saling mengenal, sampai,...
33 Chapter 32 Kami tidak pacaran!
34 Chapter 33 Bara yang kian menyala
35 Chapter 34 Berita terpanas!
36 Chapter 35 Membungkam mulut semua anak
37 Chapter 36 Karena kau sahabatku,...
38 Chapter 37 Menyelamatkan Morin
39 Chapter 38 Rival (1)
40 Chapter 39 Rival (2)
41 Chapter 40 Merah, Kuning, Hijau,...
42 Chapter 41 Menyelesaikan Masalah
43 Chapter 42 Satu di Antara Dua
44 Chapter 43 Dukungan untuk Morin
45 Chapter 44 Pemikiran Sederhana Gendis
46 Chapter 45 Sisi Paranoid Sasa
47 Chapter 46 Morin dan Kisah Hidupnya
48 Chapter 47 Meringkusnya
49 Chapter 48 Aku Menolongmu Karena,...
50 Chapter 49 Dia yang Bernama Gendis
51 Chapter 50 Penyelidikan Identitas Diri (1)
52 Chapter 51 Penyelidikan Identitas Diri (2)
53 Chapter 52 Penyelidikan Identitas Diri (3)
54 Chapter 53 Awal Persahabatan
55 Chapter 54 Berbagi Kebahagiaan Kecil
56 Chapter 55 Gigitan Terakhir
57 Chapter 56 Satu Rahasia Banyak Kisah (1)
58 Chapter 57 Satu Rahasia Banyak Kisah (2)
59 Chapter 58 Berjumpa Narayan
60 Chapter 59 Menangislah, bahu ini tersedia untukmu
61 Chapter 60 Pertengkaran Pertama Mereka
62 Chapter 61 Mimpi versus Realita
63 Chapter 62 Cuka di Wajah Gema
64 Chapter 63 Kesimpulan yang Keliru
65 Chapter 64 Meluruskan Simpul (1)
66 Chapter 65 Meluruskan Simpul (2)
67 Chapter 66 Mengambil Sikap
68 Chapter 67 Kegelisahan Gendis
69 Chapter 68 Si Kembar yang Menjengkelkan
70 Chapter 69 Mengumpulkan Sampel (1)
71 Chapter 70 Mengumpulkan Sampel (2)
Episodes

Updated 71 Episodes

1
Prolog
2
Chapter 01~ Salah Sasaran
3
Chapter 02~ Dendam si Paruh Tajam
4
Chapter 03~ Makan Malam Terakhir
5
Chapter 04~ Ulang Tahun si Kembar
6
Chapter 05~ Perjumpaan yang Menyakitkan (1)
7
Chapter 06~ Perjumpaan yang Menyakitkan (2)
8
Chapter 07~ Menawarkan Diri Menjadi Teman
9
Chapter 08~ Ini Adalah Takdir
10
Chapter 09~ Hukuman untuk Gendis
11
Chapter 10~Tugas Sang Ketua Kelas
12
Chapter 11~ Menyelidiki Kehidupan...
13
Chapter 12~ Menyambangi rumah Franda
14
Chapter 13~ Menerima Perbedaan, Itulah Teman
15
Chapter 14~ Sama- sama menyukai susu coklat (1)
16
Chapter 15~ Sama- sama menyukai susu coklat (2)
17
Chapter 16~ Bos mencarimu, Ken!
18
Chapter 17~ Tanpa Alas Kaki
19
Chapter 18~ Tim Pamela vc Tim Gendis
20
Chapter 19~ Pertumpahan Darah (1)
21
Chapter 20: Pertumpahan Darah (2)
22
Chapter 21~ Hujan air mata
23
Chapter 22~ Membawa Gendis ke rumah sakit
24
Chapter 23~ Sepuluh menit yang berharga
25
Chapter 24~ Kebersamaan yang membuat iri
26
Chapter 25~ Mengupas kulit bawang, selapis demi selapis
27
Chapter 26~ Nemenin mama reuni
28
Chapter 27~ Dua orang yang menyebalkan
29
Chapter 28~ Keputusan Bastian
30
Chapter 29 Warna yang identik
31
Chapter 30 Dunia,... begitu sempit
32
Chapter 31 Bahkan kami tidak saling mengenal, sampai,...
33
Chapter 32 Kami tidak pacaran!
34
Chapter 33 Bara yang kian menyala
35
Chapter 34 Berita terpanas!
36
Chapter 35 Membungkam mulut semua anak
37
Chapter 36 Karena kau sahabatku,...
38
Chapter 37 Menyelamatkan Morin
39
Chapter 38 Rival (1)
40
Chapter 39 Rival (2)
41
Chapter 40 Merah, Kuning, Hijau,...
42
Chapter 41 Menyelesaikan Masalah
43
Chapter 42 Satu di Antara Dua
44
Chapter 43 Dukungan untuk Morin
45
Chapter 44 Pemikiran Sederhana Gendis
46
Chapter 45 Sisi Paranoid Sasa
47
Chapter 46 Morin dan Kisah Hidupnya
48
Chapter 47 Meringkusnya
49
Chapter 48 Aku Menolongmu Karena,...
50
Chapter 49 Dia yang Bernama Gendis
51
Chapter 50 Penyelidikan Identitas Diri (1)
52
Chapter 51 Penyelidikan Identitas Diri (2)
53
Chapter 52 Penyelidikan Identitas Diri (3)
54
Chapter 53 Awal Persahabatan
55
Chapter 54 Berbagi Kebahagiaan Kecil
56
Chapter 55 Gigitan Terakhir
57
Chapter 56 Satu Rahasia Banyak Kisah (1)
58
Chapter 57 Satu Rahasia Banyak Kisah (2)
59
Chapter 58 Berjumpa Narayan
60
Chapter 59 Menangislah, bahu ini tersedia untukmu
61
Chapter 60 Pertengkaran Pertama Mereka
62
Chapter 61 Mimpi versus Realita
63
Chapter 62 Cuka di Wajah Gema
64
Chapter 63 Kesimpulan yang Keliru
65
Chapter 64 Meluruskan Simpul (1)
66
Chapter 65 Meluruskan Simpul (2)
67
Chapter 66 Mengambil Sikap
68
Chapter 67 Kegelisahan Gendis
69
Chapter 68 Si Kembar yang Menjengkelkan
70
Chapter 69 Mengumpulkan Sampel (1)
71
Chapter 70 Mengumpulkan Sampel (2)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!