Ketiganya melompat keluar dari mobil hampir bersamaan. Gendis terlebih dahulu disusul Sasa dan terakhir Kaneka. Mereka berjalan perlahan ke depan mobil dan berkumpul di sana. Trio menyapu sekeliling mereka dengan mata tajam bak radar pesawat tempur.
Taman indah dengan ragam rimbunan bunga tersebar di kiri dan kanan. Bangunan megah yang disebut rumah berdiri persis di depan mereka. Arsitektur bergaya modern campur tradisional bercampur di sana. Mewah, indah, rumit, artistik, semuanya menyatu. Gendis begitu terpesona dengan rancang bangun bangunan itu. Sementara Sasa dan Kaneka sama sekali tidak memperhatikannya.
" Luar biasa." Tersihir, tanpa sadar dua kata itu meluncur dari mulut Gendis.
Sasa mengerjapkan mata, " Menakjubkan."
Hening. Dua remaja itu menunggu sambungan dari Kaneka, tapi sepertinya otak remaja laki- laki itu belum berada di frekuensi yang sama dengan mereka.
" Ken," Gendis menyodok pinggangnya dengan siku, " Sinonim"
" Oh." Otak Kaneka langsung berpikir, " Hebat?"
Senyum Gendis melebar, " Itu baru teman gw."
Ketiganya berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda di mana status sosial berperang penting di sana. Sayangnya, pertemanan mereka tumbuh bukan karena status sosial. Waktu akan membuktikan bahwa persahabatan menembus batas status sosial.
Mereka adalah generasi berpikiran besar yang menganggap kesetian dan karakter lebih penting dari status sosial. Itulah cara Gendis memilih Sasa dan Kaneka sebagai teman dekatnya.
" Sungguh mengejutkan." Sasa bersiul pelan, melirik Gendis di sampingnya, " Siapa sangka kenalan baru lu super kaya.
" Eits, bukankah kita udah janji ngga ngomongin materi dalam pertemanan?" Kata Gendis mengingatkan," Pertemanan itu sederhana dan tidak memiliki batas. Materi hanya membuatnya menjadi rumit."
" Seandainya semua orang berpikiran seperti itu." Kaneka menanggapi, " Dunia tentu akan jauh lebih damai."
" Karena tidak semua orang berpikiran sama, kita harus waspada." Ujar Sasa." Berpikiran sederhana dan naif perbedaannya begitu tipis."
" Apakah gue seperti itu?"
Sasa tersenyum sedikit dan menganggukan kepalanya, " Kenyataannya dunia ini rumit, Gen, ngga sesederhana seperti yang lu pikirkan. Tapi di dunia carut marut seperti inilah orang- orang berpikiran sederhana seperti lu sangat diperlukan. Untuk apa? Untuk Keseimbangan."
Itu adalah obrolan ringan antar teman karena membahas sesuatu yang ngga penting pada awalnya. Sasa yang terkenal barbar memiliki pemikiran tajam seperti itu. Pemikirannya mengejutkan Kaneka.
Sasa tidak menyadari jika pendapat Kaneka tentangnya sedikit berubah karena itu.
" Gendis! Sasa!" Seseorang meneriakkan nama dua dari tiga remaja itu, sangat nyaring di udara terbuka. Obrolan mereka terhenti begitu saja, dan kedua gadis pemilik nama serta Kaneka otomatis menggerakkan dagu mereka ke sumber suara.
Kurang dari dua puluh langkah di depan mereka, sosok cantik berdiri tepat di tengah- tengah pintu masuk utama. Rambut panjangnya tergerai menyapu punggung. Wajahnya mungil laksana boneka Barbie.
" Hei, Franda!" Gendis melambaikan tangannya. Sepertinya Franda telah menantikan kedatangan mereka. Ketiganya bergerak bersama ke arah Franda.
" Bagaimana perjalanannya?" Begitu mereka tiba di depannya, Franda mengulurkan kedua tangannya untuk meraih lengan Gendis dan Sasa secara bersamaan. Ekspresi wajahnya ceria dan nampak bersemangat." Halo, Sasa. Wah, kau mengendarai mobil ke sini. Hebat sekali. Aku sangat iri padamu, kau tau."
Keramahan Franda mendapat reaksi yang berbeda dari kedua gadis itu. Terbiasa dengan kedekatan fisik, Gendis tidak mempersoalkan tangan Franda yang memegang tangannya seolah- olah mereka adalah teman akrab. Sementara Sasa, ia tidak terbiasa dengan kedekatan fisik. Ia sulit dekat dengan orang lain. Hanya sedikit sekali orang yang dapat dan bisa akrab dengannya. Hanya Gendis satu- satunya yang ia izinkan dekat dengannya. Tidak dengan yang lainnya.
Itu sebabnya, ia segera melepas paksa tangan Franda yang memegangi tangannya, dan mundur selangkah." Kau iri karena aku bisa mengemudi?"
" He eh." Franda mengangguk dan sedikit heran dengan tubuh Sasa yang menjaga jarak darinya." Kau bisa mengemudi, Sasa. Kau bahkan diperbolehkan membawa mobil oleh orangtuamu. Sementara aku, jangankan membawa mobil sendiri, naik sepeda pun mereka melarangku. Walaupun aku meraung- raung, menangis darah sekalipn, mereka tetap tak akan mengizinkanku. Sangat menyebalkan."
Gendis dan Sasa saling bertukar pandang sekilas. Mereka sebenarnya sedikit heran. Apakah Franda adalah tipe anak yang mudah akrab dengan orang lain, atau dia tidak sadar dengan sikap ' terlalu akrab' nya. Ini adalah pertemuan kedua mereka. Baik Gendis maupun Sasa belum memiliki kesan sedikit pun mengenai Franda.
Terdengar Sasa menghela napas," Gue pikir orangtua lu hanya kuatir lu terluka." Katanya, " Bukan hanya orangtua lu saja yang seperti itu. Semua orangtua di dunia akan selalu merasa cemas dan kuatir akan anak- anak mereka."
" Benar." Gendis menimpali, " Jangan memiliki kebencian terhadap mereka hanya karena pelarangan semacam itu. Lu hanya harus meyakinkan orangtua lu terus menerus untuk sesuatu yang lu inginkan. Gue percaya pada akhirnya mereka akan luluh dan memberikan izin."
Franda mendesah, " Seandainya orangtua gue dapat berpikir seperti itu gue pasti seneng banget." lalu tanpa sengaja mata Franda menangkap sosok remaja laki- laki di belakang Gendis. Ia sama sekali tidak menyadari kehadirannya, karena asyik ngobrol dengan Gendis dan Sasa." Dia siapa?"
Akhirnya sadar juga jika mereka tidak hanya bertiga,...
Gendis berpaling ke arah Kaneka, " Ah,.. dia Kaneka, panggil dia Ken." Gendis memperkenalkan Kaneka kepada Franda," Dia,... sahabat kami."
Mata tajam Franda menyelidiki Kaneka dengan cepat. Menandai keseluruhan tubuh remaja laki- laki itu dari kepala hingga sepatunya. Kerutan halus muncul di dahinya. Ada sedikit keganjilan pada diri bocah itu, tapi ia tidak tahu apa itu.
" Halo, Ken!" Franda tetap menyunggingkan senyum di wajahnya.
" Hai juga." Balas Kaneka tanpa senyum di wajahnya.
Franda tertegun sejenak." Kenapa dengan Ken?" Tanyanya.
" Kenapa apanya?" Kaneka balik bertanya, tetap tanpa senyuman.
" Mukamu menakutkan." Kata Franda." Apakah kau tidak suka tersenyum?"
Terdengar Dengusan Sasa. Sepertinya ia memiliki sekutu yang sama- sama tidak menyukai Kaneka.
" Apakah masalah buat lu jika gue ngga senyum?" Nada dingin Kaneka membuat bulu kuduk Franda berdiri." Gue ngga suka basa basi dan bersikap ramah. Itu juga masalah buat lu?"
Franda melonggo.
Suasana jatuh ke dalam keheningan. Para gadis terlihat shock. bagaimana bisa kalimat sinis seperti itu keluar dari remaja laki- laki sependiam Kaneka?
" Ken sedikit kelelahan tadi di sekolah, jadi mood nya buruk." Gendis memecah suasana canggung di antara mereka, tersenyum lebar sembari mengaitkan lengannya pada lengan Franda, " Jangan terlalu serius dengan kata- katanya. Dia suka menyebalkan kalo kecapean."
" Oh, " Franda mengangguk- anggukan kepala langsung percaya. Ia melirik Kaneka sekali lagi, dan mendapati bocah itu masih bersikap dingin menatapnya. Franda bergidik ngeri, dan segera memalingkan wajahnya ke Gendis.
" Apakah Ken selalu sinis seperti itu?Gue sedikit takut dengannya, Gen. " Franda berbisik di telinga Gendis, " Apakah kalian benar- benar cocok berteman satu sama lain?"
" Ken biasanya ngga banyak bicara." Kata Gendis balas berbisik, " Dia baik dan menyenangkan kalo moodnya sedang bagus."
Franda menghela napas, lalu berkata, " Yah, karena lu mengatakan dia baik, gue pikir, gue akan membiasakan diri dengannya. Walau bagaimana pun kita akan menjadi teman, bukan."
Menjadi teman? Sasa mendengar perkataan Franda dan mengerutkan keningnya. Dia melihat bagaimana Franda melingkari lengan Gendis dan menyeret temannya itu bersamanya. Ia dan Kaneka terlupakan di belakang.
Sasa mendengus, apakah Franda bermaksud mencuri temannya?
Sementara itu Kaneka yang berada selangkah di belakangnya melirik saat mendengar Dengusan itu. Seakan memiliki mata di belakang punggungnya, dan melihat lirikan sinis Kanek, Sasa langsung menoleh ke arahnya. Sinar setajam pisau terbang melalui kedua matanya,
" Lu mau ngomong apa, Hah?!" Suaranya setajam lirikan matanya.
Kaneka hanya memberi tanda menutup resleting pada mulutnya lalu melewati Sasa. Kaneka tahu jika Sasa menahan kesal karena emosinya tak tersalurkan melalui dirinya. Sudut mulut Kaneka naik sedikit.
Sementara Kaneka dan Sasa berjalan dalam diam, dua gadis cantik lainnya telah mencapai pintu masuk. Gendis tidak tahu jika seseorang telah menunggunya di sana.
" Halo, Gendis!" Sapa Narayan ramah, begitu Gendis dan Sasa telah sampai di depannya.
Memutus percakapannya dengan Franda, Gendis akhirnya melihat sosok tinggi tengah bersandar di daun pintu dengan senyum di wajahnya. Seakan menular, senyum Gendis muncul tipis," Hai, Aran!"
🔆🔆🔆
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments