Tok, Tok, Tok!
" Mbah uti,...buka pintunya."
Wanita tua, pemilik uban di kepala dan keriput di seluruh tubuhnya, tengah asyik menikmati buah semangka sembari menonton acara lawak di televisi saat pintu rumahnya digedor- gedor orang dengan begitu kerasnya. Ia melonjak dari duduknya, nyaris terkena serangan jantung saking kerasnya gedoran itu.
Tubuhnya memang sudah bungkuk, namun tenaganya masih cukup gesit. Ia menarik napas panjang terlebih dahulu, lalu mengerahkan tenaganya untuk mengangkat bokong tipisnya dari karpet.
Setelah berhasil berdiri, ia diam sejenak. Tangan kanannya memijat pinggangnya pelan, di mana rasa nyeri itu muncul Setiap ia menggerakan tubuh tentang.
Ah, fisik memang tak bisa menipu....
Setelah rasa nyeri di pinggangnya berkurang, kakinya mulai melangkah. Jarak dari ruang keluarga ke pintu sekitar tiga ratus meter, melewati ruangan tamu yang saat ini tampak kosong melompong, lalu lorong panjang dengan banyak tanaman kaktus berbaris di pinggirnya. Kakinya baru tiba di selasar, batas akhir rumah dan pekarangan saat suara di balik pintu itu kembali terdengar.
" Mbah uti..."
" Iya, tunggu sebentar." Murni menyahut dengan napas yang sedikit ngos- ngosan. Melintasi hampir separuh kediamannya dalam waktu kurang dari lima menit cukup menghabiskan energinya. Ingin rasanya memukul kepala siapa pun yang ada di balik pintu, karena tidak sabaran.
Masih dengan napas yang memburu, Murni mengangkat ke atas kaitan pintu yang terbuat besi tebal, Menyentak nya hingga keluar dari kuncian, lalu ia menarik pintu hingga membuka lebar.
Berdiri di hadapannya remaja laki-laki yang tengah mengendong seorang bocah perempuan penuh air mata di punggungnya. lalu seekor anjing berbulu hitam coklat berdiri di samping keduanya. Mereka adalah dua cucunya.
" Kenapa Gendis menangis dan kau gendong? Dia terjatuh dan terluka? Ada yang usil padanya di sekolah? Atau dia mengalami kecelakaan,...?" Panik menyerang Murni mendapati cucu kesayangannya yang berumur 7 tahun bersimbah air mata.
Meskipun Gendis sering menangis alias cenggeng, tapi setiap kali bocah itu menangis Murni tak kuasa melihatnya. Dadanya terasa sesak.
Tak satupun yang angkat bicara. Baik Gema remaja yang mengendong, yang tak lain adalah sang kakak, ataupun bocah yang masih sesenggukan di dalam gendongan. Gema melangkah melewati pintu, berderap masuk ke dalam. Pie dan sang nenek, juga salam diam mengikuti dari belakang.
" Bocah ini hampir tewas dikejar-kejar ayam, uti" Lapor Gema setelah menurunkan adiknya di sofa coklat di ruangan tengah. Ia meletakkan tas Gendis di samping bocah itu. Setelah jeda, ia melanjut, " Benar- benar memalukan. Kalau saja aku tidak ada di sana tepat waktu, mungkin cucu uti ini sudah tewas dibantai ayam."
Murni melonggo mendengar laporan itu, menatap kedua cucunya bergantian. Dari Gendis yang masih menangis meski tidak sesenggukan lagi, lalu ke Gema, sang kakak. Murni tidak tahu harus berkomentar apa.
Tampang Gema terlihat serius saat menceritakan hal konyol itu. Sudah hobinya mengoda sang adik dan melebih-lebihkan segala hal yang terjadi. Sedikit cengiran jahil tertarik di sudut bibir remaja itu, membuat Murni memukul kepalanya kesal.
Arggghhhh!!!
" Harusnya kau prihatin melihat adikmu menangis, Gema, bukannya malah mengodanya." Murni meledak, " Kau kan tahu Gendis itu takut ayam."
Bukan rahasia lagi jika cucu kesayangannya itu fobia dengan semua hewan berkaki dua, khususnya ayam. Entah, bagaimana awalnya, ia pun tidak habis pikir.
Gema mengisi gelas kosong di meja dengan air putih, lalu menandaskan isinya. Ia mengisi gelas itu kembali, kali ini ia memberikannya kepada Murni, yang langsung diterima tanpa menolak oleh sang nenek, " Andai Mbah uti ada di sana dan melihat bagaimana Gendis lari kocar-kacir, bahkan nyaris pingsan karena diburu ayam, Mbah uti pasti ikut- ikutan pingsan."
" Minum dulu biar tenang, Gendis." kata Murni, menempelkan gelas di tangannya ke bibir sang cucu yang masih shock. Gendis membuka mulutnya, meneguk air putih itu dengan cepat, hingga ia tersedak kemudian batuk- batuk dengan hebat.
" Hei,...pelan-pelan!" Seru Gema, sembari mengelus punggung adiknya. Ia menyesal karena mengejeknya. Wajah manis Gendis terlihat pias, seakan Tak ada darah di balik kulitnya. Dia benar-benar shock.
Begitu batuk Gendis mereda dan air di dalam gelas tandas tak tersisa, matanya mengerjap sekali, dan menatap sang nenek. Bibirnya mencebik, siap melanjutkan tangisnya.
" Uti,...aku takut sekali..." Kata Lie Gendis lirih, nyaris berbisik. Lalu, seperti yang sudah diperkirakan, bocah itu kembali meledak dalam tangis, sembari memeluk tubuh tulang berbalut kulit milik Murni, sang nenek.
Dengan lembut, tangan Murni mengusap-usap punggung Gendis, memberinya ketenangan. Sementara itu sepasang matanya bersirobok pandang dengan Gema yang tengah memasukan potongan semangka ke mulutnya. Kedua alis remaja nakal itu terangkat tinggi.
Dua jam berselang
" Makanan telah siap!" Gema memutar tombol off untuk mematikan kompor, lalu mencari sarung tangan untuk mengangkat panci berisi sop ayam dari atasnya. Uap panas bergulung- gulung dari dalam panci mengirimkan aroma kelezatan yang mengoda Indra penciuman.
Setelah menggunakan sarung tangannya, dengan hati- hati Gema mengangkat panci itu, lalu melangkah perlahan ke meja makan. Tepat di tengah meja yang sengaja dikosongkan, ia meletakan panci itu. Hidangan utama telah siap disantap bersama nasi, sepiring oseng- oseng udang pedas, semangkuk sambel, dan tidak lupa seteko air putih.
Dengan senyum lebar Gema menjatuhkan bokongnya di satu kursi tersisa dari empat kursi yang ada. Selain dirinya, neneknya dan adiknya, Gendis, duduk pula sang ayah tercinta di antara mereka, Gautama.
Gautama, pria berusia 42 tahun itu baru saja pulang dari bekerja satu jam yang lalu. Gautama adalah seorang mekanik salah satu bengkel besar di daerah mereka. Sosoknya besar, tegap, kokoh seperti raksasa. Siapa pun yang tidak mengenalnya akan takut ketika pertama kali melihatnya. Wajahnya dingin dan jarang tersenyum. Namun bagi Gendis dan Gema, ia adalah sosok ayah yang sangat baik dan penyayang. Jauh dari kesan sangar yang ditunjukkan wajahnya.
Selesai mandi, Gautama bergabung bersama ibu dan kedua anaknya di ruang makan. Itu adalah rutinitas keluarga kecil mereka Setiap akhir hari sebelum menjelang malam. Mereka selalu berkumpul di ruang makan, sembari menunggu sang koki menghidangkan makanan untuk mereka, di sini Gemalah kokinya, dan mereka akan membahas apa pun, dan bercanda sesudahnya.
" Ibu, bagaimana lututmu, apakah masih suka terasa sakit?" Gautama memegangi tangan keriput Murni, mengurutnya dengan lembut. Ia begitu sayang dengan wanita renta itu.
Terkadang Murni mengeluhkan sakit pada punggung dan lututnya, dan itu membuatnya sangat sedih. Penyakit orang-orang tua, itu yang selalu ibunya katakan kepadanya.
" Tubuh ini tidak muda lagi, toh." Murni menepuk lengan puteranya untuk mengusir kecemasannya," Rasanya ibu sudah terbiasa dengan nyeri pada seluruh badan ini. Asalkan ibu sudah mengkonsumsi obat, akan sedikit mengurangi rasa sakitnya."
Gautama menghela napas," Apakah kita perlu ke rumah sakit?"
Kepala Murni mengeleng sebagai jawaban, " Seperti yang ibu bilang, ini akan dialami oleh semua orang lanjut usia, semuanya. Berkurangnya fungsi sebagian vitamin dan mineral dalam tubuh karena faktor umur. Ibu pikir tidak akan berpengaruh besar jika ibu ke rumah sakit. Dokter akan mengatakan hal yang sama dan memberikan obat yang sama pula. Cukup beli obatnya dari apotik, itu saja."
" Apa uti takut disuntik, jadi tidak mau ke rumah sakit?"
" Tidak," Jawab Murni pelan, sembari menatap Gendis yang duduk di depannya. " Uti tidak takut jarum suntik, tidak seperti kamu, Nduk."
Bibir bocah itu mencibir, " Aku tidak takut jarum suntik, Mbah uti,..."
" Tapi kau takut, SANGAT TAKUT sama AYAM!" Gema tiba-tiba memotong kalimat adiknya, tertawa pelan. Langsung saja lengannya kena sasaran kepalan Gendis. " Aduh!"
" Gege, kau mengejekku terus!"
Gema memang suka sekali mengoda dan menjahili adiknya. Gendis terlalu imut dan menggemaskan, membuat siapa pun ingin mengganggunya.
" Sudah, sudah." Murni melerai keduanya, " Ayo kita makan. Keburu dingin, nanti tidak enak."
Kedua kakak beradik yang saling menyayangi itu mengakhiri pertikaian mereka, dan mulai mengambil sumpit masing-masing. Gema mengisi mangkuk kosong adiknya dengan paha ayam dan sedikit kuah, sementara Murni mengambil mangkuk Gautama, dan memindahkan dada ayam, sayuran dan kuah ke dalamnya.
Mereka makan dalam hening. Tiada satu pun yang bersuara. Hanya terdengar suara lucu Gendis yang kepanasan saat mengigit paha ayam, tidak menyadari jika dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya.
Tiga tahun sudah bocah yang menjadi pusat perhatian itu tinggal bersama mereka, menjadi bagian dari mereka. Dunia memang terlalu kejam dan tidak adil bagi bocah seusianya. Saat perasaan sayang telah tumbuh di antara mereka, berharap semuanya akan baik-baik saja.
Tapi ternyata,...tidak
🐧🐧🐧
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Candu_21
Mbah uti. Mbah itu sama dengan uti.
2021-03-13
1