Narayan teringat di satu masa di mana ia kebinggungan menghabiskan kotak susu bekalnya. Ada tiga kotak susu di dalam tas tanselnya. Dua putih dan satu coklat.
Mamalah yang selalu menyediakan bekal makan untuk ia bawa ke sekolah. Satu kotak makanan, satu atau dua kotak susu, dan sebotol air mineral.
" Ma, susunya satu saja. Aku tidak suka minum susu." Sebenarnya Narayan tidak terlalu suka minum susu, baik susu putih ataupun susu coklat. Dia lebih suka air mineral saja. Tapi sepertinya mama tidak mengerti, atau mengabaikan protesnya, karena setiap hari susu kotak selalu ada bersama bekal makannya.
" Ma, cukup satu saja susu kotaknya." Untuk kesekian kali Narayan protes dengan susu kotak yang ada di dalam tas ranselnya. Ketika ia melihat, Mama Malah menambahkan jumlahnya dari dua menjadi tiga kotak.
" Aran sedang dalam masa pertumbuhan. Susu sangat baik untuk tubuh." Mama selalu memberikan alasan yang sama.
" Tapi satu saja sudah cukup, Ma." Dengan segala daya upaya, Narayan selalu berjuang demi pengurangan susu kotaknya." Tiga kotak terlalu banyak, Ma. Setiap hari aku hanya sanggup menghabiskan satu. Bukankah dua lainnya menjadi sia- sia jika aku bawa."
Mama Selalu tertawa mendengar argumentasi bocah berusia 5 tahun kesayangannya itu. Narayan kecil terkenal keras kepala dan suka melawan. Tapi jika menyangkut mamanya, dia selalu menyerah. Narayan bukan tandingan sang mama dalam hal memaksakan kehendak.
Jadi, meskipun ia protes keras mengenai jumlah susu kotaknya ia selalu tak berdaya dan menyerah.
" Jika kau tidak bisa menghabiskan semua kotak susu yang kau bawa, kau bisa memberikan itu kepada temanmu. Kalian bisa menghabiskan susu kotak bersama- sama. Bukankah itu lebih menyenangkan."
Dan seperti biasa, jika menyangkut masalah teman, Narayan langsung cemberut dan memasang tampang sedih, " Aku tidak punya teman, mama,..."
Mama bukannya prihatin mendengar keluhan puteranya melainkan tertawa, " Wah,...Anak mama yang ganteng tidak punya teman? Aduh, kasihan sekali."
" Mama!" Narayan meraung marah kala sang mama mengejeknya.
" Aran mama begitu menyenangkan, baik hati dan juga lucu. Bukankah sangat aneh jika tidak ada seorang pun yang ingin berteman dengannya?"
" Aku hanya baik hati dan menyenangkan jika bersama dengan mama." Narayan berkata, " Tapi, aku tidak lucu, sama sekali."
Mama terdiam sejenak, tidak lama setelah mendengarnya.
Wanita itu diam- diam mengakui sedikit kebenaran dalam kalimat puteranya. Keadaan lingkungan mereka membatasi ruang gerak Narayan dalam berinteraksi dengan orang lain. Status keluarga dan nama besar sang papa menjadikan mereka berhati- hati dalam menjaga Narayan.
Masa kecil Narayan banyak dihabiskan di rumah. Ia hanya memiliki mama dan beberapa pelayan sebagai teman dekatnya. Dalam hal pendidikan, semua dilakukan di rumah.
Karena desakan mama kepada papa akhirnya Narayan mendapat izin untuk bersekolah di umum. Pemilihan tempat, riwayat guru pengajar dan sejumlah karyawan yang bekerja di sana sudah melewati pemeriksaan teliti oleh sang papa.
Seraya menghela napas, mama mengelus-elus rambut Narayan dan mencium keningnya. " Aran mau tau caranya agar memiliki teman? Paling tidak satu saja?"
Narayan menyeringai lebar, " Mau, ma, mau!"
" Berikan susu kotak yang paling Aran suka kepada anak yang pertama kali Aran lihat di sekolah. Setelah itu, mama jamin, Aran akan secepatnya memiliki banyak teman."
" Benarkah, ma?" Narayan menatap sang mama tak percaya.
Mama mengangguk. " Iya, benar."
Paginya, begitu Narayan menginjakkan kaki di sekolah, kepalanya celinggak celinggak melihat sekeliling sekolah barunya. Tidak satu pun anak yang tertangkap matanya. Narayan tidak tahu jika ia datang lebih cepat ke sekolah.
Dengan kecewa, bocah tampan itu menundukkan kepalanya. Ia tiba- tiba saja sedih. Andai mamanya ada di sini untuk menemaninya. Ia tidak mungkin sendirian.
BRUUUKKK!
Suara benda jatuh mengejutkan Narayan, berasal dari tempat yang tak jauh darinya. Narayan mengangkat kepala, dan melihat ke arah datangnya suara,...
Area pejalan kaki sebelumnya kosong melompong, namun bocah kecil tiba- tiba muncul entah dari mana. Bocah *kecil itu menggunakan gaun selutut berwarna kuning cerah dengan sulaman bunga tersebar di seluruh gaunnya. Rambutnya sebahu tertutup topi lebar juga berwarna kuning.
Suara benda jatuh itu sepertinya berasal darinya. Bocah kecil itu meringgis kesakitan karena lututnya lecet- lecet tergesek batu. Tapi walau begitu ia tidak menangis. Sambil menahan nyeri, ia berusaha bangun*.
Sungguh bocah kecil yang pemberani.
Sosok bocah kecil bergaun kuning itu menarik perhatian Narayan. Jika aku yang terjatuh dan terdarah, kemungkinan besar aku akan menangis dengan keras. Sungguh, keberanian bocah kecil itu lebih besar dari penampilannya.
Apakah aku harus memberinya susu kotak, seperti kata mama?
" Berikan susu kotak ini pada anak yang pertama kali kau lihat di sekolah. Setelah itu, mama jamin, kau akan segera memiliki teman yang banyak."
*Kata- kata mama kembali terngiang- ngiang di telinga Narayan. ' Anak yang pertama kali kau lihat', bukankah itu sangat jelas? Bocah kecil itu adalah yang dimaksud mama. Narayan melihatnya pertama kali hari ini.
Dengan bertekad, Narayan akhirnya memutuskan untuk bocah kecil itu.
Bocah kecil itu sibuk menepuk- nepuk gaun kuningnya yang sedikit kotor oleh debu. Menatap lama ke arah dua lututnya yang lecet dan memerah. Matanya berkaca- kaca karena rasa nyeri yang menyakitkan. Dengan lengan kurusnya ia menyeka kedua matanya, menyingkirkan air mata yang hampir keluar.
Ia harus menahannya. Jika sampai ia menangis, mereka akan membawanya kembali ke rumah. ia tidak mau*.
" *Lututmu lecet. Kau harus segera memberinya obat merah." Sebuah suara mengejutkan bocah kecil itu. Perhatiannya segera teralihkan dari lutut leceknya ke pemilik suara yang berdiri di depannya.
Anak laki- laki tampan menatapnya dengan ekspresi prihatin. Bocah kecil itu benggong melihatnya.
" Kau melihatku jatuh?" Ada sedikit kecemasan di dalam suaranya.
Narayan mengangguk, " Ya, aku melihatnya. Kenapa kau tidak hati- hati. Pasti jatuhnya sakit sekali, bukan? Lihat, lututmu sampai lecet."
" Tidak sakit sama sekali!" Dengan cepat bocah kecil itu membantah pernyataan Narayan. lebih baik ia menahan nyeri, daripada dia harus kembali ke rumah.
Narayan menatapnya takjub, " Benarkah? Kau jatuh dan lecet. Itu tidak terasa sakit? Tapi, bagaimana bisa? Kalau aku jadi kau, aku pasti sudah menangis,..."
" Aku berani, tentu saja aku tidak menangis."
" Kau sangat hebat!" Puji Narayan, dengan tulus. Memang benar. Dia merasa kalah berani dari bocah perempuan kecil itu. Lalu Narayan mengeluarkan susu kotak yang ia sembunyikan di balik punggungnya," Kau mau susu kotak?"
Bocah perempuan itu tingginya hanya sedada Narayan. Ia harus mendonggakkan kepalanya agar dapat melihat wajah anak laki- laki itu. Saat ini matanya tertuju pada kotak kecil berwarna coklat yang terulur kepadanya.
" Benarkah, susu coklat ini untukku?" Katanya, tidak percaya. Bergantian melirik Narayan dan ke kotak susu, berkali- kali.
Narayan mengangguk, " Iya, ini untukmu. Rasa coklat. Apakah kau suka rasa coklat?"
Kotak susu itu berpindah tangan, " Aku suka susu coklat."
" Aku juga suka susu coklat." Narayan mengangguk senang. " Karena kau sudah menerima susu kotak ku, sekarang kita adalah teman. Oke?!"
Senyum lebar menghiasi wajah bocah perempuan itu. Sepasang manik abu- abu miliknya bersinar- sinar gembira. Mata bocah itu mengajak Narayan untuk bergembira bersama. Tanpa sadar Narayan tersenyum lebar.
" Matamu indah. Siapa namamu?"
Sembari menyedot susu coklat bocah itu menjawab, " Aya. Aku,... Aya."
Note Author:
Garis miring mengartikan jika itu kejadian flasback Narayan.
🐉🐉🐉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments