Dering pergantian jam pelajaran terdengar. Beberapa anak terlihat menarik napas lega. Buru- buru membersihkan meja, menyingkirkan buku- buku dan peralatan belajar lainnya.
Pria paruh baya yang tiga jam lebih berdiri di depan kelas, Pak Albert, mengawasi perilaku murid-muridnya yang sebagian besar elergi mata pelajarannya, matematika.
" Kumpulkan tugas kalian lusa." Setengah berteriak Pak Albert, mengingatkan mereka kembali akan tugas yang ia berikan. Sambil mendekap buku matematika di dada, matanya berhenti pada sosok remaja perempuan kalem dan tenang yang duduk di kursi nomor tiga dari belakang. Murid kesayangannya, Gendis.
" Gendis, ke mari sebentar."
Si pemilik nama yang sedang asyik merapikan meja tulisnya, mendongak saat namanya dipanggil ." Iya, Pak Albert." Lalu ia bangkit dari duduk, dan melangkah mendekati gurunya itu
" Iya, Pak Albert. Ada apa?"
" Ujian Nasional tinggal tiga bulan lagi. Sebagai ketua kelas, saya minta kamu membantu beberapa temanmu yang masih tertinggal pelajarannya. Buatlah kelompok kecil, kalian bisa membahas mata pelajaran apa saja yang tertinggal. Saya hanya ingin semua siswa di kelas ini dapat lulus dengan nilai yang baik, sama sepertimu."
Sebelum ujian Nasional, pihak sekolah sudah membuat program kelas tambahan untuk anak didiknya. Waktu belajarnya biasanya selepas jam sekolah, hingga tiga jam ke depan. Hampir setiap hari kelas tambahan berlangsung, dan biasanya kelas selalu penuh.
Kelas tambahan tidak diwajibkan untuk anak-anak berprestasi. Biasanya peringkat 5 ke atas diizinkan untuk tidak ikut serta.
Gendis dan Sasa salah satu di antaranya.
Meskipun tidak ikut kelas tambahan, sebagai ketua kelas Gendis mendapat tugas untuk mengawasi perkembangan belajar teman- temannya. Ia wajib mencatat absen dan perkembangan belajar seisi kelas. Membantu mereka jika ada kendala yang menghambat belajar.
Sejauh ini, semua teman satu kelas yang nilainya kurang rajin ikut kelas tambahan. Absen mereka selalu penuh tiap harinya. Dan saat ulangan, nilai mereka ada kemajuan.
Kecuali satu temannya yang bernama Kaneka.
" Hampir semua teman-teman yang ikut kelas tambahan ada kemajuan saat ulangan, Pak Albert. Kami selalu menjaga situasi belajar dengan baik, agar kelas tambahan ini berhasil."
" Sekolah ini sangat beruntung memiliki murid seperti kamu, Gendis. Kamu bukan hanya cerdas, tapi kamu juga berbakat menggerakan orang-orang, mampu memotivasi mereka. Tidak salah saya memilihmu untuk menjadi dewan pengawas siswa. kamu memang dapat diandalkan, Gendis."Setelah menepuk bahu Gendis pelan dan memberikan seulas senyum penuh kebanggaan, Pak Albert melenggang pergi.
Sepeninggal guru matematika dan wali kelasnya, senyum Gendis memudar. Sial. Gara- gara satu orang ia harus berbohong.
Dengan bibir sedikit cemberut, Gendis berjalan menuju kursinya.
Sasa yang sedari tadi mengawasi Gendis berbicara empat mata dengan wali kelas mereka, Pak Albert, segera menyerangnya dengan pertanyaan, " Apa yang kalian bicarakan tadi? Apa pak Albert memberikan tugas tambahan untuk kita lagi? Atau memberikan hukuman pada salah satu dari teman kita,...?"
" Di mana Ken?" Bahkan Gendis tidak berniat membahas apa- apa dengan Sasa sekarang. Perhatiannya sedang terpusat pada pemilik kursi di deretan paling belakang sebelah kiri yang saat ini kosong tak berpenghuni.
" Ken? Kaneka? Sepertinya gue melihat bocah itu keluar kelas..."
Gendis menatapnya lekat- lekat, " Ke mana tepatnya dia pergi?"
" YAK! MANA GUE TAHU KEMANA DIA PERGI. EMANG GUE EMAKNYA!"
Sasa kesal dengan cara Gendis bicara dan memandangnya, terkesan menyalahkannya karena ia tidak tahu ke mana Kaneka pergi.
Seperti biasa, Gendis tidak mengubris kekesalannya. Ia membalikkan badan, bersiap mencari Kaneka.
" MAU KE MANA LU, TUAN PUTRI GEN?" Meskipun nadanya cukup sinis, tapi Sasa penasaran, " sebentar lagi Ibu Agnes datang, Gendis. Jangan pergi!"
" Gue harus menemukan Ken." Sahut Gendis tanpa menghentikan langkahnya," Kalo Bu Agnes tanya, bilang saja gue lagi ke toilet."
" Baiklah. Terserah lu saja."
Kedua kaki Agnes melewati pintu kelas, setengah berlari menyusuri lorong yang lenggang. Terdengar keriuhan di salah satu kelas yang ia lewati. Kemungkinan besar tidak ada guru di dalamnya.
Sambil berpikir keras, ke mana kiranya Kaneka berada, tanpa ia sadari, kedua kakinya membawanya menuju toilet. Satu alisnya terangkat....
Pada saat yang bersamaan seorang anak laki- laki, Yogi, dari kelas sebelah keluar dari toilet. Mereka berpapasan di jalan.
" Hai, Gendis!" Yogi menyapanya, dengan ramah.
" Hei juga." Sahut Gendis, " Apakah Ken ada di dalam?" Ia bertanya
" Barusan ke atas." Yogi berkata sembari menunjuk pintu besi yang berada di samping toilet. Itu adalah pintu tangga darurat menuju lantai atas." Kemungkinan ke atap. Dia biasa nongkrong di sana."
" Oke, thanks!" Mereka saling melewati. Gendis menuju pintu kecil di samping toilet, menyentak daun pintu, dan melihat deretan anak tangga yang tiada habisnya menuju lantai atas. Ia menghela napas panjang, dan mulai menapaki anak tangga, satu demi satu.
Akhirnya, Gendis tiba di ujung tangga lantai lima. Kaki Gendis sedikit tertarik, nyaris keram saat tiba di lantai lima, lantai terakhir dari gedung sekolahnya. Napasnya memburu, seperti sedang lari keliling lapangan di pelajaran olahraga. Titik- titik keringat mulai bermunculan di pelipisnya.
Kalo bukan karena statusnya sebagai ketua kelas, dan rasa pedulinya pada orang yang bernama Kaneka, mustahil ia rela keluar keringet seperti itu.
Pintu besi menuju atap sudah di depan mata. Ia berhenti sejenak, mengatur napasnya. Setelah dirasa cukup beristirahat, ia memajukan bahunya, mendorong pintu besi itu dengan sekuat tenaga hingga terbuka.
Gerimis kecil menyambutnya kehadiran Gendis, begitu dirinya tiba di atap gedung sekolah. Angin bertiup kencang, membuat tubuhnya menggigil. Ia memeluk tubuhnya menahan dingin.
Gendis menyapu sekitarnya. Tidak ada tanda-tanda satu orang pun di sana. Keadaannya sepi.
Bre*k!! Apakah anak laki- laki itu telah berbohong kepadanya?
Sambil memaki dalam hati, Gendis berbalik dan berjalan kembali menuju pintu. Tangannya sudah menarik gagang pintu hingga terbuka, bersiap kembali, namun sebuah suara menghentikan langkahnya.
BUKKK!!!
" Aawwwww!!"
Suara pukulan dan pekik kesakitan sampai ke telinganya. Gendis menutup kembali pintu besi, bergerak cepat dan tanpa suara mendekati sumber suara tadi.
Di belakang tangga terdapat tembok setinggi dada, dengan pipa pipa besi berukuran raksasa di sepanjang pinggiran tembok. Di sana, di dekat tembok, empat orang anak laki- laki tengah menendak sesuatu di tengah-tengah mereka.
GENG PEMBUAT ONAR SEKOLAH dengan ketua geng bernama Rexi.
" Hei! Apa yang kalian lakukan di sana? Rexi?!"
Seseorang telah memanggil namanya, membuat si pemilik nama dan ketiga ekornya menghentikan acar 'bermain' mereka. Tubuh mereka berputar bersamaan ke arah Gendis. Mereka mengenal gadis itu, terutama ketua geng mereka, Rexi.
" Si cantik Gendis." Rexi melebarkan senyumnya, " Senang sekali bisa melihat lu di sini..."
Kaki Gendis mendekat," Lu belum menjawab pertanyaan gue. Apa yang kalian lakukan di sini? Apa Kalian tidak ada jam pelajaran?
" Kami sedang menghirup udara di sini." Jawab Rexi asal," Lu tahu kan, otak kami hampir hancur berantakan karena rumus- rumus fisika."
Kini jarak mereka hanya tinggal dua langkah saja. Gendis dan Rexi sedang berkelahi lewat tatapan mata keduanya.
Mereka mengenal baik satu sama lain. Rexi tahu di balik sikap tenang dan kalem yang terlihat, Gendis adalah gadis yang impulsif, keras dan penuh tekad. Dalam beberapa waktu bimbingan, ia berhasil mengatasi sebagian besar masalah manajemen emosi nya.
Sebaliknya, Rexi, tidak ada yang bisa disembuhkan dari dirinya. Dia masih urakan, semaunya sendiri, suka main kekerasan, dan jahat.
Tetap mengunci tatapannya pada Rexi, tangan Gendis terulur, dan mengeser bahu Rexi ke samping. Sedikit berat, karena postur remaja itu lebih besar dan lebih tinggi darinya. Dan Rexi, dia tidak berusaha bergerak sedikit pun.
" Menyingkir." Katanya dengan nada datar, tapi tidak dengan sinar matanya yang berkilat tajam.
Rexi bersiul melihat sinar superior di mata Gendis. Gadis itu masih dapat bersikap kasar jika dia mau. Rexi tidak ingin memprovokasi Gendis lebih jauh. Akhirnya, Dengan enggan, Rexi menyingkir ke samping.
Lewat celah kecil itu, Gendis melihat Kaneka terduduk di bawah. Seragam sekolahnya sedikit kusut di bagian depan, sedikit kotor, dan bibirnya. Gendis melihat sudut bibirnya berdarah. Kaneka sedikit meringis ketika pandangan mata mereka bertemu. Kaneka terkejut.
" Ken,...."
" Gendis,...jangan ikut campur. Lebih baik lu pergi dari sini. " Rexi berseru kepada-nya.
Gendis kembali menatap Rexi." Ken teman sekelas gue, Rexi. Boleh gue tahu apa masalahnya sehingga kalian harus memukulnya ramai-ramai? Main keroyokam. Bikin malu."
" Si brengsek ini meminjam uang dan belum membayarnya. Dia harus diberi pelajaran. "
" Pinjam uang?" Gendis melirik Ken yang menunduk, tidak mengangkat mukanya. Gendis menarik napas panjang, dan menoleh ke arah Rexi.
" Berapa?"
Alis tebal Rexi bergerak naik, sedikit terkejut dengan pertanyaan si cantik di depannya. Bahkan, saat Gendis bersikap tenang, ia tahu jika remaja itu tengah mengendalikan emosinya. "Berapa apanya, Gen?"
" Lu jelas- jelas dengar suara gue, Rexi." Kata Gendis ,"Berapa hutangnya?"
Rexi tertawa singkat," Jangan bilang lu akan membayarnya,..."
" Masalah buat u kalo gue yang bayar?" Balas Gendis sedikit meninggi. Matanya tak sedikit pun lepas dari Rexi. " Sebutkan berapa hutang Ken, Rexi?!"
Cowok urakan itu langsung tercekat, " ... "
🐉🐉🐉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments