Waaaooo,...!!!
Lusinan burung gereja yang sedang menikmati suasana pagi nan indah kabur tunggang langgang, kala serbuan Bocah- bocah mengejutkan mereka. Suara kaki- kaki berlarian penuh semangat, teriakan demi teriakan menulikan gendang telinga, tumpah ruah penuh keceriaan.
Bus pariwisata terparkir tidak jauh dari gerbang sekolah. Herman, Pria paruh baya, supir bis pariwisata itu, reflek melebarkan senyumnya, melihat pasukan cilik bergerak cepat ke arahnya. Bersama Ibu Helen, wali kelas Taman Kanak- Kanak, Ali, asistennya, mereka berdiri di dekat pintu bus, siap menyambut mereka.
" Ayo, anak-anak, berbaris yang rapi." Angga, guru olahraga yang juga panitia acara hari itu, meredakan keriuhan murid-murid ciliknya. Tangannya mengacung ke atas, memberi intruksi. " Anak perempuan, berbaris bersama Ibu Helen. Dan, yang laki-laki berbaris bersama Bapak Ali ." Katanya melanjutkan.
Tanpa menghilangkan keceriaan di wajah mereka, Dua puluh lima bocah, laki-laki dan perempuan, mengikuti komando. Satu demi satu Bocah- bocah menggemaskan itu berdiri rapi di belakang Ibu Helen dan Bapak Ali.
Terdengar suara tangis seorang bocah di bagian belakang,
" Kakak,... Aya mau sama kakak, tidak mau di sana."
Bocah perempuan cantik berusia 5 tahun, Mona, merangkul adik sepupunya yang berusia 4 tahun, Naraya, yang wajahnya penuh dengan air mata.
" Aya, jangan cenggeng." Katanya lembut, menenangkan," Bapak Ali hanya akan mengabsen kita. Nanti di dalam bus, kita akan duduk sama- sama."
" Tidak mau,..."
" Aya,..."
Angga menangkap suara tangisan di sana, dan mengangkat wajahnya. Terdengar helaan napas singkat, sebelum akhirnya tersenyum.
Di luar barisan paling belakang, dua bersaudara, Mona dan Naraya, saling berangkulan erat. Lebih tepatnya, bocah perempuan itu mengunci kedua tangannya di pinggang sang kakak dengan sangat kencang.
Naraya atau biasa dipanggil Aya, murid termuda di sekolah mereka, memang terkenal manja dan mudah menangis. Wajar untuk anak seusianya yang baru pertama kali berbaur dengan dunia luar, selain keluarganya. Aya sudah menarik begitu banyak perhatian sejak awal ia menginjakkan kakinya di sekolah enam bulan yang lalu. Bukan karena ia anak tunggal salah satu orang terkaya di negeri itu, tapi karena sosoknya yang bak malaikat.
Fisiknya begitu mungil, dengan wajah rupawan.
Masih kecil saja sudah bisa membuat orang-orang berdecak kagum, bagaimana jika ia besar nanti...
Angga melangkah mendekati dua bersaudara itu, berjongkok di depan Naraya.
" Ada apa, Aya? Kenapa kamu menangis?" Ia bertanya lembut.
" Aya tidak mau ikut berbaris bersama anak-anak , Pak Angga." Jawab Mona, mewakili adik sepupunya itu. Wajah Mona campuran antara sedih dan kebinggungan." Aku sudah mengatakan kepadanya, bahwa kita akan satu kursi di bus nanti. Tapi dia tidak percaya."
Kepala Angga mengangguk. " Mona benar, Aya." Katanya," Pak Ali hanya mengabsen sebentar, hanya memastikan kalian semuanya ada. Tidak akan lama, kok. Nanti bisa duduk sama Mona lagi di bus."
Naraya masih membisu. Bibir mungilnya sedikit bergetar menahan tangis. " Aran tadi bilang akan menurunkan Aya di jalan nanti, kalau tidak ada kakak. Aya takut,..."
Kedua alis tebal Angga bergerak naik, " Aran? Narayan, maksud Aya?"
Dengan polos, Naraya mengangguk," Iya,.. dia bilang begitu."
Dengan sekali tarikan napas, Angga bangkit dari posisi jongkoknya. Ia membalikkan badan. Matanya tertuju pada bocah tampan yang berada di depan barisan bersama teman-temannya. Saat kedua mata mereka bertemu, bocah itu terlihat terkejut, seakan tertangkap basah.
" Aran,...kemari kau!"
🐢🐢🐢
Bus pariwisata yang membawa rombongan anak- anak itu perlahan- lahan keluar dari gerbang sekolah. Suara anak- anak bernyanyi terdengar dari dalam bus, begitu penuh semangat dan penuh kegembiraan.
Bagaimana tidak, hari itu mereka akan pergi mengunjungi banyak hewan di kebun binatang, dan belajar mengenal hewan-hewan di sana. Siapa yang tidak suka binatang? Semua pasti menyukainya, bukan?
Herman menggoyangkan kepalanya, mulutnya ikut berdendang bersama anak-anak di belakang kemudi. Ia sudah puluhan tahun menjadi supir bus pariwisata. Sudah tak terhitung jumlahnya mengantarkan rombongan untuk bertamasya. Dan salah satu yang paling disukainya adalah mengantarkan rombongan anak- anak kecil, seperti sekarang ini, ke obyek wisata.
Bahagia bisa melihat anak- anak tertawa, menjerit-jerit kegirangan, dan bernyanyi bersama dengan suara lucu mereka. Beban hidupnya terasa sedikit teralihkan, dan ikut bergembira bersama mereka.
Muncul kerutan di pelipis Herman saat melirik kaca spion sebelah kiri. Ekor matanya mengawasi sebuah van berwarna hitam yang sedari tadi menempel di sisi kiri kendaraannya. Ia merasa ada yang aneh, ada yang janggal.
Awalnya ia tidak menghiraukan keberadaan van hitam itu. Ia berpikir jika van hitam itu hanya satu dari sekian kendaraan yang melaju bersamanya di jalur lalu lintas.
Namun, setelah dipikir-pikir , van hitam itu sudah menempel di sisi kiri busnya begitu lama, mengingat keberadaannya di sana hanya beberapa menit setelah mereka meninggalkan sekolah. Muncul
pemikiran aneh di kepalanya.
Apakah Van itu mengikuti mereka?
Hanya satu cara untuk membuktikan mengenai itu.
Dengan terlebih dahulu melihat kondisi lalu lintas di depannya, lalu di sebelah kanan, Herman mengarahkan kemudi untuk berpindah jalur.
Melihat kembali ke kaca spion kiri, dan mendapati Van itu mengikutinya berpindah lajur dan kembali menempel dekat, Herman yakin sekali kalo Van hitam itu mengikutinya.
" Pak Herman? Apakah telinga saya tidak salah mendengar? Anda baru saja mendengus?" Ali yang asyik berkirim catt kepada salah seorang temannya lewat ponsel terusik saat mendengar dengusan kasar Herman.
Hampir dua tahun ia menjadi asisten pria paruh baya itu, menemani setiap tugas mengemudinya. Bagaimana Herman selalu menjaga ketenangannya, hampir tidak pernah mengeluh ataupun emosi sekali pun. Baru kali ini Ali mendengar pria itu mendengus. Itu suatu hal yang mengejutkan untuknya.
" Kau lihat Van hitam di sebelah kiri?" Kata Herman pelan, menjawab rasa heran pria muda di sebelahnya. ia menggerakkan kepalanya ke arah kiri, ke arah Van hitam yang menarik perhatiannya.
Ali buru- buru menyimpan ponsel di saku jaket merahnya, lalu kedua matanya beralih mengikuti arah pandangan Herman. Sebuah Van hitam melaju begitu dekat di badan kendaraan mereka di sebelah kiri.
" Van yang itu?" Ia kembali bertanya tanpa mengalihkan tatapan matanya dari van hitam itu, " Apakah terlalu dekat dengan kendaraan kita, Pak Herman? Klakson saja Pak Herman, agar mereka menjaga jarak aman dari bus kita."
" Bukan karena itu, Ali." Herman mendesah," Sepertinya van itu sedang mengikuti kita. Aku sudah melihatnya menempel bus kita tidak lama setelah kita keluar dari sekolah. Aku perhatikan van itu tetap berada di jalur dan tempat yang sama dengan kita."
" Mengikuti dari sekolah?" Kernyit Ali, sedikit terkejut," Apakah anda yakin, Pak Herman?
" Aku memang sudah tua, Ali. Tapi mataku masih berfungsi dengan cukup baik."
" Bukan begitu, Pak Herman," Ali merasa tidak enak hati karena sepertinya pria tua itu tersinggung." Aku tidak pernah meragukan firasatmu, sungguh. Hanya saja, aku tidak melihat hal yang aneh dengan Van hitam itu."
" Baiklah, akan aku buktikan kalau van itu mengikuti kita. Kau lihatlah baik- baik, Ali."
Lalu, hal yang sama dilakukan Herman. Setelah terlebih dahulu melihat keadaan aman di depannya, ia berpindah jalur ke sebelah kanan. Tak lupa matanya yang tajam mengawasi kaca spion kiri bersama Ali.
Tidak lama setelah kendaraan yang dibawanya berpindah jalur, van hitam itu segera mengikuti, ambil lajur kanan, dan menempel di sisi kirinya, seperti tadi.
Ali dan Herman saling melempar pandangan mereka melihat itu. Pembuktian bahwa perkataan Herman benar adanya.
" Lapor Pak Angga. Cepat!"
" Baik." Ali segera bangkit dari duduk, dan menghampiri Angga yang duduk di deretan kursi ketiga bersama anak-anak muridnya. Sepertinya ia tidak tahu apa yang terjadi.
Sementara Ali melapor, Herman masih fokus mengemudi. Beberapa meter di depan terlihat perempatan lampu merah, dan lampu lalu lintas sudah berwarna merah.
Entah mengapa jantung Herman berdeguk kencang. Sesuatu akan terjadi. Dengan pengendalian yang tinggi, pria paruh baya itu mengurangi kecepatan kendaraan, dan bersiap memasuki jalur lampu merah.
Kejadiannya begitu cepat. Belum ada lima menit kendaraan berhenti di lampu merah, terlihat empat orang pria berpakaian serba hitam melompat turun dari van hitam yang ada di sisi kirinya, dan bergerak ke arah bus.
Braaaakkk!!!!
Suara keras mengejutkan penghuni bus, menghentikan semua aktivitas yang terjadi di dalamnya. Empat manusia dewasa dan dua puluh lima anak- anak seakan berubah menjadi patung secara tiba-tiba.
Pintu bus terhempas rusak dengan dua kali tendangan dari luar. Herman yang berada paling dekat dengan pintu, masih dengan keterkejutan di wajahnya, bergerak bangkit dari duduknya. Ia melihat dengan jelas empat sosok berpakaian serba hitam memaksa masuk ke dalam bus.
" Siapa kalian?" Mau apa,..."
Pria pertama segera mengeluarkan senjata berupa pistol, mencium langsung ke kening Herman.
" Jangan bertindak macam-macam, tua Bangka, atau isi pistol ini akan menghancurkan kepalamu!" Suara berat si pemiliknya, tertuju kepada Herman.
Ancaman pria bertubuh besar itu menciutkan nyali Herman. Bukannya dia enggan untuk melawan, hanya saja ia merasa percuma saja ia melakukannya. Tubuh Herman bergetar hebat. Sembari menelan ludah dengan sulit, ia mengangkat kedua tangannya.
" Nah, sekarang duduk!" Melihat pria tua itu gemetar ketakutan, pria berpakaian hitam itu tersenyum di balik topengnya. Sembari mengawasi Herman yang perlahan- lahan duduk kembali di kursinya, pria itu memberi intruksi kepada ketiga pria berpakaian hitam lainnya, " Cari anak itu. Jangan buang waktu!"
Anggukan terlihat dari ketiganya. Melewati pria pertama, mereka bergerak masuk ke dalam bus, siap melaksanakan tugas.
Anak- anak yang masih mematung karena shock melihat tiga sosok berbadan besar berpakaian serba hitam berjalan cepat ke arah mereka. Ketiganya melewati kursi satu demi satu, seperti tengah mencari sesuatu di antara anak-anak yang duduk di sana. Mata di balik penutup wajah hitam itu dengan tajam mendeteksi keberadaan satu anak yang fotonya ada di saku jaket hitamnya.
Gerakannya terbilang cepat. Kursi pertama, kiri dan kanan, diisi dua bocah laki- laki dan dua bocah perempuan yang duduk mematung memandangi mereka. Kursi kedua, ketiga dan seterusnya pun berisi sepasang bocah laki- laki dan perempuan. Ia tidak menemukan bocah yang persis sama di foto di antara mereka, hingga mereka berhenti di kursi paling belakang.
Bocah mungil berjaket merah tengah tertidur pulas, diapit wanita dewasa dan bocah perempuan di kiri dan kanannya. Akhirnya, ia mendapatkan apa yang dicarinya.
" Hei,..jangan! Kalian mau apa?!" Helen berteriak kencang saat pria bersarung wajah di hadapannya mengulurkan kedua tangannya, dan menyambar bocah bertubuh kecil yang terlelap di sampingnya
Helen panik, mencoba mempertahankan bocah itu dengan sekuat tenaganya, yang mengawali keributan di dalam bus. Sontak semua anak menjerit-jerit histeris di kursi mereka, menangis dengan kerasnya. Hal itu membuat bocah kecil yang menjadi rebutan terbangun dari tidurnya, dan kebinggungan.
Sebuah pukulan menghantam kepala Helen, berasal dari salah satu pria itu, membuatnya memekik kesakitan, dan melepaskan tangan dari tubuh penculik muridnya. Tubuhnya jatuh kembali ke kursi dengan sisi kepala mengeluarkan darah.
Bocah perempuan yang sedari tadi duduk ketakutan menjerit sekeras-kerasnya. Ia melihat ke arah pria bertubuh besar yang mengendong sepupunya, perlahan menjauh.
Mona melompat dari kursi, berlari mengejar penculik sepupunya.
" Kembalikan Aya!" Teriak Mona keras, memukuli punggung pria yang berjalan paling belakang." Jangan bawa Aya! Jangan bawa dia!"
" Kakak,..." Tangis Naraya pecah, penuh ketakutan.
Teriakan ketakutan Naraya saat dirinya dibawa pergi orang tak dikenal memancing reaksi anak-anak yang lain. Bocah- bocah yang lebih besar melompat keluar dari kursi mereka dan menyerbu sang penculik. mengerumuninya bak tawon.
" Lepaskan Aya!" Teriak mereka bersama-sama, sembari memberikan pukulan dan tendangan sekuat tenaga mereka." Lepaskan dia!"
Terbiasa menghadapi lawan dewasa, serbuan anak-anak membuat ketiga pria berpakaian hitam itu kebinggungan. Mereka tidak mungkin memukuli anak-anak. Sangat tidak profesional.
Satu anak laki-laki bahkan menghujamkan gigi tajamnya ke tangan si penculik, membuatnya mengeram kesakitan. Hampir saja bocah yang dibawanya terlepas.
" Aran,... tolong,..." Penuh air mata, Aya menatap bocah laki-laki yang saat ini berdiri di depan dirinya dan si penculik. Pandangan Aya dan Aran bertemu, penuh rasa yang sulit terartikan. Yang satu, keinginan untuk diselamatkan. Dan yang satu lagi, keinginan untuk menyelamatkan.
" Lepaskan dia!" Kali ini kaki kecil Aran menendang tulang kering Si Penculik, berkali- kali, penuh tenaga.
Belum hilang rasa sakit di pergelangan tangannya akibat Gigi bocah laki-laki itu, kali ini kakinya menjadi sasaran tendangan. Meskipun rasanya tak sesakit gigitan di tangannya, namun ulah bocah itu sangat menganggu.
Pria yang masih menempelkan senjatanya di pelipis Herman melihat aksi Aran begitu menganggu. Ia bergerak cepat, menarik kerah belakang bocah itu, dan melemparnya ke kursi tempatnya berasal.
Tanpa membuang kesempatan, Herman segera bergerak dari duduknya, menghantamkan tangan yang sedang memegang senjata itu dengan keras. Terdengar geram kesakitan dari si pemilik senjata. Pukulan itu nyaris membuatnya melepaskan senjata di tangannya. Kemudian, aksi rebut- rebutan Senjata pun terjadi.
Dorrr!
Dan, peluru itu pun terlepas dari sarangnya.
🐢🐢🐢
Matahari menyapa pagi melalui sinarnya yang hangat. Tunas- tunas menggeliat dan terbangun dari tidurnya, kepompong berdenyut- denyut penuh semangat, cicit anak-anak burung liar riuh di sarang mereka.
Bukankah sebuah isyarat alam jika matahari memintamu untuk memulai kehidupan yang baru? Pemberi semangat kehidupan.
Rumah peristirahatan itu terletak di wilayah nan indah, diapit dua pegunungan besar yang penuh kabut dan danau besar di hadapannya. Tempat langka yang hanya mampu dimiliki keluarga dengan kekayaan tak terbatas. Mencari ketenangan, tempat pelarian dari carut marut dunia, apalah sebutannya.
Seorang pelayan laki- laki dengan penampilan apik melangkah santun saat memasuki area belakang. Di tangannya ada nampan berisi dua gelas langsing berisi cairan berwarna kuning dengan potongan jeruk di bibir gelasnya. Di samping gelas, bersisian dua sedotan masih terbungkus beserta koran terbitan terbaru.
Bocah berusia sepuluh tahun terlihat berenang sendirian di kolam biru nan luas. Entah sudah berapa kali bocah itu bergerak bolak- balik di dalam air, dari ujung ke ujung. Gerakannya begitu gesit dan kuat seakan tak kenal lelah. Kepalanya timbul tenggelam di air dalam hitungan yang konstan dan stabil.
Bocah itu adalah putera tunggal pemilik tempat peristirahatan ini. Bocah tampan yang tentu saja menjadi kebanggaan keluarga terutama sang ayah.
" Minumannya, Tuan Lion." Pelayan laki- laki berusia 20 tahun itu bernama Wisnu. Ia tersenyum sopan setelah berada di dekat pemilik rumah, yang sedang duduk santai di kursi sembari mengawasi puteranya di dalam air. Tak ada sahutan dari pria itu, tapi karena Wisnu sudah terbiasa dengannya, ia tidak mempermasalkannya.
Wisnu memindahkan isi nampan di tangannya ke atas meja bulat di samping majikannya.
Dalam waktu singkat, dua gelas jus jeruk dan sedotan sudah berpindah tempat. Namun, ketika Wisnu ingin meletakkan koran di samping gelas- gelas itu, sang majikan bersuara,
" Berikan korannya."
Wisnu segera menyodorkan koran itu,"Oh, baik. Ini korannya, Tuan Lion."
Dan, setelah koran itu berada di tangan Tuan Lion, Wisnu beringsut undur diri.
Lion, pria berusia 40 tahun itu adalah seorang pekerja keras. Kenyataan bahwa ia terlahir dari keluarga kaya raya, tidak membuatnya terlena dan bersantai-santai ria.
Pundaknya berat dengan tanggungjawab. Tugasnya cukup jelas. Menjaga keberlangsungan perusahaan keluarga, membuatnya makin maju dan berkembang. Satu hal lagi, memastikan putera tunggalnya, bocah berusia 10 tahun yang sedang berenang di hadapannya, mewarisi semuanya, tanpa halangan satu orang pun!
Setelah tengelam sejenak dalam kebisuan, Lion melirik koran di tangannya. Ia membuka koran itu, memegangnya dengan kedua tangan. Terdapat berita besar yang tersaji di halaman depan.
TERJADI PENCULIKAN DI JALUR LALU LINTAS PUKUL 10 PAGI HARI. KORBAN BERNAMA NARAYA, USIA 4 TAHUN, PUTERI GEMA SYAHLENDRA, PENGUSAHA PROPERTI. PIHAK KEPOLISIAN SEGERA TURUN TANGAN UNTUK MENYELIDIKI KASUS INI. SAKSI- SAKSI,...
,...Belum selesai Lion membaca berita terbaru, ia sudah meremas koran tersebut dan membantingnya ke tanah. Wajah tenangnya berubah merah padam karena amarah.
" Apakah mereka tolol?! Bagaimana mungkin bisa melakukan kesalahan fatal sebesar itu? Dasar orang-orang tidak berguna!!!"
🐧🐧🐧
Gendis merasa sudah menjadi anak baik selama ini. Selalu mematuhi semua perkataan ayah dan neneknya, tidak sekali pun melawan. Berbuat baik kepada siapa pun, tidak nakal, apalagi membuat kekacauan. Ia selalu berdoa, semoga dirinya selalu terlindungi,
Makhluk menyeramkan itu memandang Gendis dengan sorot matanya yang tajam, mengirimkan sinyal balas dendam. Aura negatif yang bersimpangan arti dengan sosoknya yang berbulu putih bersih. Tanpa sadar Gendis menyentuh dada tempat jantungnya berada, dan merasakan benda itu berdetak lebih kencang dari biasanya. Raut wajah Gendis memucat dengan cepat. Tubuhnya langsung menegang, kaku seperti Batang pohon. Keringat dingin mulai bermunculan.
"Guk, guk, guk!"
Gendis mengerjap. Kesadarannya kembali pulih, menariknya dari jurang yang dalam. Ada yang menarik- narik ujung celananya. Kepala Gendis bergerak, menatap ke bawah, dan mendapati sepasang mata hitam berkaki empat tengah mendongak ke arahnya.
Katanya kau kelaparan, tapi kenapa kau malah berdiri mematung? Ayo, kita pulang. Aku juga kelaparan!
Manik abu- abu Gendis sedikit menajam, mengirim isyarat yang hanya bisa dimengerti PIE, sahabat setianya yang berada di sebelahnya.
Apa kau tidak lihat, siapa yang menghalangi jalanku, Pie? Begitu kira-kira perkataan Gendis kepada Pie, bagaimana aku bisa pulang, jika DIA berdiri di sana!
Sahabat setia Gendis itu adalah seekor anjing jenis Rottweiler berbulu hitam pekat bercampur coklat yang memiliki tampang cukup sangar bernama Pie. Kedengarannya aneh di telinga bukan? Bagaimana mungkin hewan berpenampilan sangar dan menakutkan itu memiliki nama Pie, sejenis kue kering manis?
Pie menjulurkan lidahnya keluar, mendengus keras. Ia melihat ke arah yang ditunjuk Gendis, yang membuat bocah itu membeku ketakutan. Dua ratus meter di hadapan mereka, berdiri dengan sombongnya hewan berbulu putih berkaki dua dengan paruh yang tajam.
Andai Pie memiliki alis di antara bulu- bulu hitamnya yang lebat, barangkali alisnya akan terangkat tinggi-tinggi. Ia melongo. Serius, Pie langsung gagu tiba- tiba dengan dengan apa yang terpampang nyata di hadapannya.
Apa yang membuat bocah berusia 7 tahun itu berkeringat dingin adalah sekor,... AYAM!!!
Pie meledak dalam tawa ( coba dibayangkan bagaimana seekor anjing tertawa keras dalam imajinasi kalian!) Ya, ampun! Kau sungguh memalukan! Itu hanya seekor ayam, Gendis!
" Dia bukan ayam biasa, asal kau tau, Pie," Sahut Gendis sedikit kesal karena Pie menertawakannya." Kau lihat matanya, Pie. Dia adalah ayam yang penuh dendam. Dia itu berniat membunuhku, kau tau!"
Pie belum menghentikan kekehannya, dan kembali mengejek, " Bahkan dia tidak memiliki taring dan gigi tajam sepertiku. Apa yang kau takutkan?"
" Jangan menganggapnya remeh meski dia hanya seekor ayam!" Seru Gendis geram, " Apa kau tidak lihat paruh tajamnya itu? Dia sudah menunggu kesempatan untuk mematukku hingga aku kehabisan darah dan mati perlahan-lahan!"
" Dasar gila!" Pie memutar kedua matanya.
" Kau harus menolongku. Jauhkan dia dariku, Pie. Aku takut."
" Kau mau menjatuhkan harga diriku, ya?" Kini Pie tak lagi tertawa, ekspresinya malah jengkel karena permintaan Gendis." aku akan menjadi olok- olok kaumku, mereka akan menertawakanku, mencapku tidak lebih baik dari kecoa busuk karena melawan makhluk berkaki dua lemah seperti dia?"
Gendis menatap Pie yang mengangkat dagunya tinggi-tinggi dengan tidak percaya.
" Kau mengaku sahabat sejatiku, Pie." Gendis sangat terluka dengan sikap Pie yang menolak membantunya," Kau hanya akan menonton makhluk itu menghabisiku demi harga diri yang sangat kau bangga- banggakan itu? Kau ternyata sangat jahat!"
Pie sama sekali tidak bergeming apalagi tersentuh dengan wajah memelas Gendis.
Aku makhluk Tuhan yang memiliki hak untuk memilih, bukan? Apakah karena aku seekor anjing, aku tidak memiliki hak asasi? Kebebasan untuk mengambil keputusan? Tanya Pie dengan sungguh- sungguh, Aku hanya tidak ingin melawannya, karena ia bukan lawan yang setara denganku. Bahkan mungkin juga kau, Gendis.
Gendis mengigit bibir bawahnya, kebiasaannya jika sedang cemas atau ketakutan. " Tapi aku takut, Pie." Katanya lirih, nyaris tak terdengar. Matanya mulai berkaca-kaca, " Aku takut dengan paruh tajamnya."
Seakan tahu jika Gendis gemetar ketakutan, sang ayam yang penuh dendam itu perlahan melangkah mendekatinya, memperpendek jarak di antara mereka. Setiap kakinya maju satu langkah, Gendis akan mundur satu langkah ke belakang. Begitu seterusnya. Semakin si Paruh tajam mendekat, Gendis akan semakin mundur menjauh.
Pie yang berdiri disisi jalan terserang bosan melihat aksi maju mundur keduanya. Pertempuran harusnya sudah terjadi sekarang, mengingat nafsu balas dendam si Paruh tajam kepada Gendis. Perutnya sudah kelaparan, minta segera diisi.
Sebenarnya Pie bisa saja langsung berlari pulang ke rumah, dan langsung makan siang, tapi ia bukanlah raja tega. Pie tidak mungkin meninggalkan Gendis sendirian bertarung, mempertaruhkan hidup dan matinya. Meskipun ia tak akan repot- repot turun tangan untuk membantu bocah itu. Ia hanya tidak ingin Gendis benar-benar tewas di tangan si Paruh tajam.
Bagaimana mungkin aku bisa sayang dengan bocah berhati lembek seperti dia,...
🌻🌻🌻
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!