17. Batu Kolocokro

Hari ke 19

Matanya yang bulat itu terlihat berbinar-binar. Meski tidak tampak mengantuk, sepasang mata itu diperintahkan pemiliknya untuk memejam. Tampaknya usahanya menemui keberhasilan. Tempat tidur yang tadi berisik karena gerakan-gerakan orang di atasnya sekarang relatif tenang. Untuk beberapa jam saja.

zzzzzzzz

09.00

Kriiiingggg...

Kriiiingggg...

Kriiiiinggggggggggggggggggggg.....

Bunyi alarm yang bertubi-tubi dari ponsel Lisa belum juga membuatnya bangun. Tidurnya sangat pulas. Bahkan mungkin baru kali ini tidurnya sangat pulas dalam dua minggu terakhir. Di luar matahari sudah tinggi. Suara kokok ayam sudah tidak terdengar apalagi azan waktu subuh. Itu sudah lewat berjam-jam yang lalu.

Setelah beberapa saat...

Haah!

Sreeeeeeet

Lisa tiba-tiba bangkit terduduk, sambil mengumpulkan kesadaran dia melihat jam dinding.

Sudah jam 9 pagi!

Sial...

Sambil mengusap-usap mata dia meraih ponsel dari samping bantal yang sudah lelah membangunkan Lisa dengan alarmnya.

"Duh bangun kesiangan aku!" batinnya. Sejurus kemudian dia menyibak selimut dan berjalan keluar kamar. Sambil berjalan Lisa melihat hal ganjil ketika dia keluar kamar. Pintu-pintu dan semua jendela masih tertutup rapat. Lampu-lampu yang tiap malam bertugas menerangi ruangan masih menyala.

Lisa berjalan lebih cepat menuju kamar ayahnya. Sesaat setelah pintu terbuka terlihat ayahnya sudah duduk di kasur sambil berdiam. Lisa mendengar ayahnya menanyakan kemana bu Pur.

"Ya pak sebentar, mungkin lagi belanja" Jawab Lisa sekenanya untuk menenangkan ayahnya,

Lisa membuka seluruh jendela kamar, dan pintu depan rumah dengan tergesa. Mematikan semua lampu yang masih menyala dan bergegas ke kamar bu Pur.

Tok..tok.."bu Pur...

Tok..tok..."buuu..."

"Kemana nih orang" Gumam Lisa dalam hati.

Tidak ada jawaban, Lisa memanggil dengan lebih keras juga tidak ada jawaban dari dalam kamar. Pikirannya mulai tidak karuan. Kemana bu Pur. Tidak seperti biasanya dia pergi tanpa pamit. Kalau toh ke pasar untuk belanja kebutuhan pasti hanya sebentar. Dan dari lampu-lampu yg masih menyala Lisa memastikan bu Pur sudah tidak ada sejak sebelum matahari terbit.

Dibukanya gagang pintu kamar bu Pur dengan perlahan. Kepalanya sedikit disorongkan ke balik pintu.

Gelap.

***

Jarum jam pendek sudah hampir menunjukkan angka 11, matahari makin meninggi. Pikiran Lisa makin kalut. Dia mengkhawatirkan bu Pur. Ini sudah tidak biasa. Pasti ada apa-apa.

Duduk di kursi depan seperti sekarang ini sebenarnya mengasyikkan. Angin semilir yang berhembus seharusnya bisa menentramkan perasaan. Lisa sama sekali tidak merasakan hal itu.

Setelah mengurus keperluan ayahnya mulai dari mandi dan menyiapkan sarapan. Sudah puluhan kali dia gagal menghubungi bu Pur. Sepertinya memang sedang tidak aktif.

Lisa merogoh ponsel-nya. Dia mencoba menghubungi Kyai Ghofur.

"Halo yai...assalamu'alaikum"

"Wa'alaikum salam Lis..piye.."

"Kyai, alhamdulillah, eh...ini saya tadi malam menemukan batu, warnanya merah kehitaman..ketemunya di dalam rebab almarhumah ibu, dan rencana saya hari ini langsung ke rumah Yai. Tapi kayaknya belum bisa, Bu Pur, pembantu bapak gak ada di rumah. Dari pagi buta tadi pergi sampai sekarang belum kembali". kata Lisa panjang lebar.

"Alhamdulillah nak...kamu jaga baik-baik ya" kata Kyai Ghofur dari ujung ponsel.

Nada bicaranya berhati-hati.

"Sudah dicari atau di telpon po..itu bu Pur? lanjut kyai.

"Sudah dari tadi, makanya saya bingung mboten saged ke Salatiga"

"Ngeten mawon, nanti Amin tak suruh ke rumahmu, dia sudah punya nomer hapemu kok. Kamu dirumah saja jangan sekali-kali terima tamu atau keluar rumah ya" kata Kyai sedikit terdengar cemas.

"Inggih Yai"

"Coba batunya difoto nak, kirimkan ke hape Amin nanti ya, aku tak ngomong karo Amin saiki"

"Inggih Yai.."

"Assalamualaikum"

"Wa alaikum salam"

............

Tanpa menunggu waktu, Lisa segera beranjak ke kamar untuk mengambil batu Kolocokro yang disimpan dalam tas ranselnya. Sambil cemas Lisa merogoh semua sudut tas dan mengeluarkan seluruh isinya.

"Kemana batu itu" batinnya cemas. Dia ingat sekali tempat penyimpannya. Dalam compartment dalam yang agak tersembunyi.

Tiga puluh menit lamanya dia mengacak-acak isi tas lalu mencari batu itu ke seluruh penjuru kamar. Hasilnya nihil. Apa iya tiba-tiba batu itu menghilang dengan sendirinya? Kalau tidak bisa lalu siapa yang mengambilnya?

Sambil duduk termenung di pinggir kasur, matanya berkaca-kaca. Lisa makin meratapi makin panjangnya daftar kesialannya.

Kriiiing..Kriiing.......

"Halo.." Lisa menjawab panggilan telpon.

"Mbak, maaf ini Amin..gimana mbak kok belum dikirim fotonya? tanyanya.

"Eh mas..anu ini masih kesingsal batunya, dari tadi saya cari ga ketemu-ketemu".

"Ya Allah..coba dicari lagi mbak, ini saya mau ke tempat sampean" Terdengar suara Amin sangat cemas.

"Iya mas boleh, tolong sampaikan abah ya" pinta Lisa sedikit memelas.

"Iya mbak..eh mbak..mbak ini abah mau ngomong" tukas Amin

"Lis...ini aku...coba kamu cari petunjuk di kamar bu Pur..aku kuatir keselamatanya" terdengar suara Kyai Ghofur memanggil Lisa.

"Inggih Yai..inggih."

Tanpa menunggu lama Lisa bergegas kemballi menuju kamar bu Pur. Kamar ini memang kosong dan sepertinya ditinggalkan pemiliknya buru-buru. Barang-barang pribadi bu Pur masih ada. Gelas air, Tumpukan baju kotor, bedak, sisir, dan sebagainya masih ada. Laci meja rias yang dibukanya tidak ada benda istimewa. Isinya hanya benda-benda pribadi dan obat-obatan ringan.

Lisa segera menuju lemari baju dan mencari kemungkinan dia menemukan petunjuk seperti alamat atau entah apa, dia belum bisa berpikir jernih saat ini. Pikirannya tidak tenang dan cemas.

Bu Pur memang pernah bercerita asal usulnya dari Klaten. Tapi alamat lengkap rumahnya Lisa tidak tahu. Apalagi sanak saudaranya. Lisa tidak pernah berpikir sejauh itu.

Jantungnya seketika seolah terhenti.

Dheg!

Kedua bola matanya mendelik seketika saat dia memandang nanar pada foto lama yang ditemukan dibalik tumpukan baju bu Pur. Mulutnya yang menganga dan otot yang menegang adalah tanda mutlak bahwa dia sedang terkejut setengah mati. Pandangan matanya seolah tidak percaya apa yang sedang dilihatnya.

"Astaghfirullah!" teriaknya menghancurkan keheningan.

Sebuah lembar foto usang yang dipegangnya bergetar. Getaran itu berasal dari jari-jari kecilnya, yang seperti tidak kuat memegang lagi lembaran kertas foto.

"Bajingan!" umpatnya.

Apa yang baru saja dilihatnya itu terasa membenarkan umpatan kasar Lisa. Lembar foto lama itu sebenarnya biasa saja. Hanya foto anak menjelang remaja dan seorang laki-laki yang tampak seperti ayahnya. Garis wajah anak kecil itu sangat khas, seperti foto bu Pur saat masih muda. Saat masih berumur dua belas tahun-an. Sedang disebelahnya. Laki-laki yang merangkulnya itu sangat persis dengan wajah mbah Kholis muda.

Dan yang lebih mengagetkan. Lokasi foto itu berada di depan rumah mbah Kholis!

****

Terpopuler

Comments

Sisilia Nopita Sari

Sisilia Nopita Sari

hadeehh🤦‍♀️🤦‍♀️🤦‍♀️,,parah ini kecolongan nya

2021-09-26

1

pak lurah

pak lurah

owh ternyata

2021-07-31

0

wini nurwulan

wini nurwulan

penghianat itu kadang orang terdekat ya

2021-06-25

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 54 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!