..."Terkadang buku menemukan kita di waktu yang tepat"...
...A.J Fikry...
Jogjakarta\, Awal Juli 2018 | 14:13
Pikiran Lisa masih belum genap. Air mata masih berlinang, menetes di lekukan pipinya yang jarang tersapu make up. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, pandangan matanya kosong. Belasan baris chat ucapan bela sungkawa dari teman-temannya belum ada satupun yang dibaca. Lisa masih berharap ini hanyalah sebuah mimpi.
Betapa berat menerima kehilangan, karena ada sebuah rasa yang mengiringnya. Rasa kehilangan itu lebih besar daripada kehilangan itu sendiri.
Dari dalam bus perjalanan pulang ke Wonogiri, saat pikirannya sedang menerawang, telinga kirinya dikejutkan sebuah suara.
"Nak, kursinya kosong?" Lisa yang belum sepenuhnya sadar itu menoleh dan membetulkan duduknya agar lebih tegak.
Sudut matanya menjatuhkan pandangan menyelidik.
"Iya nek, monggo" jawabnya memasang gelagat ramah.
Lisa sekarang duduk di sebelah seorang wanita renta berbaju kebaya. Aroma tubuhnya sangat khas. Seperti bebauan keringat yang melekat pada baju berbahan sintetis dan bercampur minyak angin murahan.
Kulit keriputnya yang kering dan berwarna legam itu kontras sekali dengan warna bajunya yang kuning lusuh. Jarik coklatnya pun tak ingin beda. Sama-sama lusuh. Kompak.
Penglihatannya yang mulai kabur membuatnya harus meraba-raba titik paling tempat sekaligus nyaman untuk pantatnya.
Heran juga nenek tua ini pergi sendiri tanpa ada yang menemani, batin Lisa sambil menengok sekeliling.
"Piyambakan mbah? (sendirian nek?)
"Inggih nak, badhe wangsul" (iya nak, mau pulang) jawabnya singkat sambil tersenyum.
Tidak ada yang tampak aneh dari wanita renta ini selain kepergiannya yang seorang diri dan kakinya yang dikerubungi beberapa lalat hijau.
Lalat tetaplah lalat, adalah aneh jika melazimkan kehadirannya, dan menganggap binatang itu bukan gangguan.
Lisa tidak begitu peduli dengan partner duduk barunya yang membuatnya sedikit tidak nyaman itu. Pikirannya sudah tersita berita kematian ibunya. Sambil memandang keluar jendela bus dia menerawang dan beberapa saat kemudian matanya memejam sempurna.
***
Wonogiri, menjelang sore.
Lisa terbangun saat merasakan bus berhenti bergerak, dan orang-orang hiruk pikuk sibuk menurunkan barang bawaan dari ruang bagasi di atas tempat duduk.
Sekali mulutnya menguap panjang seraya menekuk punggung sedikit ke belakang. Tangannya mengusap-usap kelopak mata.
Wanita renta itu tidak ada.
Turun dimana dia? Gumamnya. Profil wajahnya yang mirip wanita berdarah India itu masih membekas di ingatan Lisa. Tanpa berpikir lagi ia segera turun dari bus.
Tak butuh waktu lama, setelah turun dari terminal dan mencharter mobil, ia sudah sampai di depan rumah keluarganya.
Desa tempat Lisa tumbuh berada di pinggiran kota Wonogiri. Dua puluh menit lamanya jika berkendara dari kota kabupaten.
Terakhir Lisa pulang ke Wonogiri dua tahun yang lalu. Itupun saat libur lebaran. Meski jarang pulang, tapi hampir tiap dua hari sekali Lisa saling berkirim pesan singkat dengan Bu Pur, pembantu orang tuanya.
Rumah yang bercat hijau tua dan tanpa pagar itu masih tampak asri. Dua pohon mangga di sebelah kiri kanan masih kokoh menambah keteduhan pelataran rumah. Rumah sederhana itu tidak kecil juga tidak besar, bentuknya khas bangunan rumah desa.
Pasangan Seno dan Pratiwi adalah pemilik rumah yang terdiri dari tiga kamar tidur, satu ruang makan, satu ruang tamu, dan dapur. Mereka mulai menempati rumah itu setahun setelah kelahiran anak pertama, kakak Lisa. Seingat Lisa, rumah itu adalah rumah warisan orang tua Pratiwi, ibu Lisa.
Rumah itu minim perubahan.
Tapi pemandangan hari ini sungguh berbeda dengan keseharian Lisa dahulu. Halaman depan rumahnya hari ini banyak terjejer kursi-kursi besi inventaris desa, terisi dengan wajah-wajah yang tak asing.
Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki berpeci. Begitu melihat Lisa, semua berdiri tanpa komando menyambut kedatangannya.
Meskipun tidak ada tenda dan karangan bunga, dari keranda mayat yang terparkir rapi di halaman rumah, sudah pasti penghuni rumah ini sedang dirundung duka.
"Ibu.....", gumamnya sambil menangis.
Setelah menyambut uluran tangan beberapa tamu, Lisa menghambur cepat kedalam ruangan depan di dalam rumahnya. Pandangan matanya tertuju pada seorang yang terbujur diselimuti kain hijau bertuliskan huruf arab. Di sekeling tubuh itu beberapa wanita berkerudung separuh baya termasuk Bu Pur sedang melafalkan doa tahlil sambil duduk bersimpuh.
Lisa segera memeluk tubuh tak bernyawa itu dengan erat, tangannya tak berhenti menggoyang-goyang jasad ibunya.
"Buuuk..buukkk....tangi (bangun) buuuuk!" tangisnya meledak kencang.
Beberapa wanita membuka tutup kain hijau dan memperlihatkan wajah ibunya untuk terakhir kali. Sambil mengusap lekukan pipi yang terasa dingin, Lisa mengecupnya dengan lembut.
"Bu Pur..ibukku buuu... bisiknya sambil terisak. Bu Pur menarik tubuh Lisa dengan perlahan.
"Ibu sudah tenang mbak..Insya Allah husnul khotimah, beliau orang baik" ucap Bu Pur menenangkan.
Masih tidak percaya, gadis barista itu duduk bersimpuh, melarutkan duka nestapa sedalam-dalamnya.
Ayah Lisa, Seno, memandang adegan satu babak itu dengan mata bengkak dan sembap. Air matanya telah habis terkuras sejak napas terakhir Pratiwi meninggalkan raga tepat sebelum adzan dzuhur berkumandang. Kehilangan sosok istri tentu sangatlah berat. Menambah derita sakit stroke yang telah lama menemani masa pensiunnya.
Lisa beranjak memeluk tubuh ayahnya. Bibir ayahnya yang tidak simetris itu bergetar. Sisa endapan air mata Seno tumpah pada pipi Lisa. Tangisan mereka pecah bersamaan, nyaris tanpa air mata. Semua yang ada di ruangan itu ikut larut dalam keharuan.
Tak berapa lama kemudian Dani, kakak kandungnya datang dari Jakarta. Lisa yang mendengar suaranya dari dalam segera keluar menyambutnya.
Matahari telah menuju peraduan.
Suasana telah sedikit tenang. Lisa, Dani, Seno dan bu Pur sedang berdiskusi mengenai waktu pemakaman. Dari saran pak ustadz lah diputuskan bahwa pemakaman akan dilakukan malam ini, di pemakaman umum yang tak jauh dari rumah.
Saat sedang berkonsentrasi memandikan jasad ibunya, tanpa sengaja Lisa melihat sedikit keanehan pada tubuh yang dingin itu. Ada luka seperti terbakar yang memanjang di punggung telapak tangan kanan.
Luka itu cukup besar untuk sebuah luka akibat sentuhan panci panas atau penggorengan saat memasak. Lisa mengurungkan niat untuk menunjukkan luka itu pada kakaknya. Proses memandikan jenazah yang sedikit terburu-buru mengejar waktu itu membuat Lisa merasa segan mengganggunya.
Jam sudah menunjukkan pukul 19.30 ketika iring-iringan pria dewasa keluar dari rumah. Lisa hanya bisa melepas kepergian barisan warga yang mengusung keranda itu dari pagar rumah.
***
Sekitar pukul sembilan malam.
Tamu tahlilan sudah banyak yang meninggalkan rumah. Dengan langkah gontai Lisa beranjak menuju kamar tidurnya. Kamar yang sudah lama ditinggalkannya.
Kamar yang dulu ditempati Lisa itu sekarang masih kosong. Hanya difungsikan jika ada tamu yang menginap. Kamar Lisa berada paling belakang dari deretan kamar-kamar yang lain, dan langsung berbatasan dengan area terbuka di bagian belakang tempat kamar mandi, sumur dan dapur untuk memasak.
Tidak banyak perubahan yang berarti sejak ditinggalkan bertahun-tahun yang lalu.
Sejenak dia merebahkan tubuh diatas kasur sambil memandang plafon kamar. Rambutnya yang masih basah itu ditopang bantal berlapis handuk.
Dengan menjelajahkan pandangan ke setiap sudut Lisa mencoba mengingat kenangan masa kecilnya dulu. Kepingan-kepingan peristiwa yang lama tersembunyi itu muncul satu persatu. Ada yang membuatnya tersenyum ada pula yang membuatnya sedih. Silih berganti.
Sejenak pandangannya tertuju pada lemari baju yang berada disudut kamar menghadap kasur tempat Lisa merebahkan tubuhnya. Lemari baju itu pintunya sedikit terbuka.
Angin sepoi-sepoi dari jendela kamar berhembus segaris dengan larik cahaya lampu kuning dari luar jendela. Membuat pintu lemari itu bergoyang-goyang menimbulkan bunyi yang tak nyaman di telinga Lisa.
Lisa bangkit untuk menutup pintu lemari. Sejurus saat bermaksud menutup pintu lemari, pandangannya tertuju pada tumpukan mukena yang kurang rapi. Seperti diletakkan dengan tergesa.
Tanpa berpikir panjang Lisa segera mengeluarkan tumpukan mukena itu untuk ditata ulang satu persatu agar lebih rapi. Dari sela-sela tumpukannya, banyak tergeletak kuntum bunga melati yang telah mengering.
Brrukk!
Suara benda jatuh dekat kakinya.
Suara itu tidak keras tapi cukup membuat Lisa kaget. Kepalanya dilongokkan ke arah bawah sambil membopong tumpukan mukena. Kedua kelopak mata Lisa menyipit. Pandangannya tertuju pada benda persegi yang mirip sebuah buku.
Punggungnya membungkuk menggapai benda itu. Benda yang memang sebuah buku itu ditimang dengan rasa penasaran yang membukit.
Buku itu berwarna merah. Tidak terlalu tebal juga tidak terlalu tipis. Sepanjang pandangan pertama yang diterangi lampu kamar yang temaram, buku itu tampak kusam dan tua. Pinggiran dan semua sudutnya meranggas, saking seringnya dibuka tutup.
Lisa makin penasaran apa isinya. Sambil menyalakan lampu baca di atas meja belajarnya dia bergegas duduk untuk melakukan pengamatan lebih jauh.
Buku-buku jarinya sedikit gemetar menyelaraskan laju degup jantung yang berakselerasi.
Buku apa ini? Gumamnya seraya mengerutkan dahi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Rusliadi Rusli
hiiii......seremmn
2023-09-24
0
Sang
asli, pas posisi duka cita, boro-2 mau baca pesan bela sungkawa, posting kabar duka cita aja cuma sekali lewat, abis tuh masa bodoh dengan komunikasi 😁😁😁
2022-12-11
1
Moelyanach
aku dr tangerang, aku pny tmn dr wonogiri nmnya susan klu plg kmpng selalu bw jambu mete
2022-06-08
0