Tiga malam sebelumnya, sehari sebelum kabar kematian.
Lelaki tua itu duduk di atas kursi roda, sendirian di teras depan rumah. Menikmati langkah penduduk desa yang bersliweran. Wajahnya tampak merenung. Matanya sayu sedikit menahan kantuk. Dari sepanjang arah mata, pandangannya tertuju sebentar-bentar ke arah timur. Tempat dua orang laki-laki yang duduk diatas motor yang terparkir menepi. Dipinggir sawah yang tidak tampak ujungnya saking luasnya.
Lelaki tua itu adalah Seno Prawiro, ayah Lisa. Dulunya ia adalah pria perkasa dan pekerja keras. Teman-temannya semua sepakat bahwa selain penyabar ia juga gemar melucu. Seringkali keahlian Seno dimanfaatkan oleh kumpulan penjaga ronda untuk menunda kantuk, kata mereka.
Dengan daya penglihatan yang sudah hampir daluarsa, tentu susah mengira-ngira siapa mereka. Lagaknya dari tadi sangat mencurigakan. Seno hanya bisa melakukan pengamatan dari tempatnya duduk. Penyakit strokenya selain melumpuhkan sebagian sisi tubuhnya, juga kemampuan bicaranya.
Hari mulai beranjak senja. Seno ingat betul bahwa ia belum makan siang apalagi minum obat. Istrinya, Pratiwi sedang keluar rumah menghadiri pengajian warga. Tiga hari beruntun Pratiwi pamit pergi untuk pengajian.
Seno tidak tahu rumah warga mana yang punya hajat pengajian sampai tiga hari berturut-turut, yang dia tahu kepergian Pratiwi selalu terkesan tergesa-gesa. Tapi sore ini sedikit berbeda, sudah tiga jam istrinya berada di luar rumah. Biasanya jam-jam seperti ini ia sudah sampai di pintu gerbang rumah.
Pembantu Seno, Bu Pur sedang tidak enak badan. Sepanjang sore ia mengurung diri dikamar tidur.
Sebatang dahan pohon mangga di depan rumah Seno yang daunnya paling rindang tetiba bergoyang. Dari jarak sekitar tujuh meter sudut mata Seno memicing, melihat sekelebatan sayap burung berwarna kehitaman. Aneh gumamnya, darimana burung gagak hitam itu datang.
Seingat Seno, tetangga desa sekitar rumahnya tidak pernah ada yang memelihara burung gagak hitam. Satu-satunya pecinta burung di desa ini adalah Supari, anggota grup kicau mania pengoleksi burung murai dan kacer. Bukan gagak hitam.
Tidak berapa lama,
Dari arah barat seorang wanita berjalan sedikit bergegas. Pintu gerbang rumah dibuka dengan sedikit memaksa. Suara deritnya sampai terdengar di telinga Seno. Sambil berjalan cepat sosok wanita itu menyapa dan menorehkan senyuman pada Seno, suaminya.
Meski sudah berumur, wajah wanita itu masih menyisakan bekas kecantikan dari masa muda. Baju muslimah panjang yang dikenakannya sore itu tampak sangat padu dengan kerudung segi empat yang warnanya senada.
Setelah berbincang sebentar, wanita itu mendorong kursi roda masuk kedalam rumah.
***
“Mbak yu, segera dihabiskan nasinya” ucap Bu Pur seraya mencolek bahu Pratiwi. Raut muka Pratiwi malam ini tampak murung menghadapi makan malamnya.
“Iyo, perutku kambuh lagi Pur” kata Pratiwi sambil menyudahi makan malamnya. Dua hari ini Pratiwi beberapa kali mengeluh perutnya begah (mual). Dada kirinya juga terasa sedikit sakit.
“Bapak wis istirahat kan?” tanya Pratiwi.
“Sampun mbak, itu dari tadi tidak keluar kamar” jawab Bu Pur sambil memandang Pratiwi sedikit khawatir.
Tidak ada yang aneh malam ini, selain murungnya Pratiwi, bertambahnya hawa dingin dan turunnya kabut yang tiba-tiba. Selain itu tampak biasa-biasa saja.
Pratiwi memandang wajah Bu Pur yang masih sedikit pucat. Pembantunya yang berumur empat puluh tahun an ini masih terlihat muda. Mungkin karena pembawaannya yang selalu ceria.
Pertama kali Pratiwi bertemu Bu Pur saat pembantunya itu remaja. Pur muda saat itu masih melapak berjualan kue basah di pasar kempyeng desa. Pratiwi adalah salah satu pelanggan setia. Kue lemper ayam yang dijual Pur adalah favorit suaminya. Dari situlah keduanya berangsur akrab. Latar belakang Pur yang yatim piatu makin membuat Pratiwi mengagumi sosoknya.
Suatu ketika, sehari setelah berakhirnya masa libur sekolah, Pratiwi kehilangan sosok Pur muda. Ia tidak pernah melihat Pur berjualan seperti hari-hari sebelumnya. Setelah ditelusuri Pratiwi, ternyata Pur si penjual kue sedang sakit keras dan opname di rumah sakit. Diagnosa dokter sakitnya karena kelelahan. Singkat cerita setelah sembuh lalu Pur muda diajak Pratiwi untuk bekerja di rumahnya. Sampai sekarang.
***
“Kamu istirahat saja Pur, badanmu kan masih meriang..perutku nanti juga sembuh sendiri kok” kata Pratiwi sambil bangkit berdiri.
“Paling juga maag” tambahnya.
Bu Pur terlihat ragu. Pandangannya masih menunjukkan sedikit cemas. Cemas akan kondisi kesehatan Pratiwi.
Tapi bukan Bu Pur namanya kalau tidak patuh. Dengan sekali anggukan ia beringsut berdiri sambil mengangkat piring dan gelas di atas meja.
“Besok sore ada pengajian lagi po mbakyu?” tanya Bu Pur.
“Hari ini terakhir” jawab Pratiwi singkat.
“Inggih kalo begitu, setelah cuci piring, sholat saya langsung tidur” kata Bu Pur siap bergegas.
“Yo wis, gek ndang kunu” kata Pratiwi menyudahi obrolan.
Malam kian larut. Bukan Pratiwi namanya jika sudah terlelap. Dalam dua tahun terakhir, tidak pernah sekalipun ia terlelap sebelum jam dua belas malam. Selepas sholat isya, ia selalu menyempatkan mengurung diri di kamar anak bungsunya. Seno dan Bu Pur sudah paham kebiasaan itu, meskipun keduanya tidak tahu pasti apa yang dilakukan Pratiwi.
Biasanya sesekali telinga Bu Pur mendengar lantunan ayat suci Al Quran dalam bilik kamar Lisa. Sesekali juga terdengar tuannya itu sedang mengalunkan tembang-tembang jawa kegemarannya.
Tapi malam ini berbeda. Tidak ada suara yang terdengar dari dalam kamar. Bu Pur pun tampaknya memutuskan untuk memejamkan mata lebih awal. Lampu kamarnya telah lebih dulu padam beberapa jam yang lalu.
Dari dalam kamar, Pratiwi sedang sibuk mencoret-coretkan pena. Goresan pena itu lebih tegas dari biasanya. Buku-buku jarinya yang berkerut itu lincah menari-nari diatas lembaran-lembaran kertas lusuh yang sedari tadi tampak beberapa kali dikelebatkan dengan cepat.
Kulit tubuh Pratiwi berkeringat. Gerak tubuhnya seperti sedang melawan kecemasan. Tampak cuping hidungnya yang basah oleh keringat itu, menghembuskan napas dengan ritme lebih cepat dari biasanya. Tidak ada yang tahu mengapa malam ini Pratiwi menunjukkan gelagat seperti sedang gelisah saat memandang jendela kamar. Suara cuitan burung gagak yang sesekali itu, tak mungkin jika tak sampai di telinganya.
Pratiwi tidak tahu jika Seno juga masih terjaga di kamar tidurnya. Telinga Seno juga masih normal untuk sekadar menyesap gelombang suara dari burung gagak hitam yang berada di luar rumahnya.
Mulut Seno seakan enggan menyampaikan cerita tentang dua orang pria yang mencurigakan dan burung gagak kepada istrinya.Mungkin karena terlalu panjang jika diceritakan dan terlalu susah untuk dipahami. Meskipun oleh istri sendiri.
Dua orang itu sibuk dengan permainan pikirannya masing-masing.
Seno ingat, dulu ia menikahi istrinya bukan karena kisah cinta yang biasa. Kisah cinta mereka berlatar belakang peristiwa tragis nan kelam. Rahasia peristiwa itu puluhan tahun terkunci rapat di dalam mulut saksi-saksi penderitanya. Apabila di runut lebih jauh, kelahiran kedua anaknya pun tidak luput dari pengorbanan nyawa.
Seno masih ingat saat bertemu Pratiwi untuk pertama kalinya. Saat itu Pratiwi baru saja kehilangan kedua orang tua dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. Dua puluh tujuh tahun yang lalu gadis yang bernama Pratiwi itu bagai mayat hidup, seperti kehilangan kewarasan.
Dirinyalah satu-satunya pria yang berhasil mengembalikan harapan dan semangat hidupnya. Seno harus berterimakasih kepada buliknya, Dimyati yang mengenalkan dirinya dengan Pratiwi. Tanpa jasa buliknya itu, ceritanya mungkin berbeda.
***
Malam semakin larut dan makin paripurna menuju kematiannya. Agungnya semesta menghidupkan matahari yang mengusung kemegahan pagi. Setengah bumi telah berganti.
Pada jam-jam seperti ini, saat matahari mulai merangkak meninggalkan ufuk, warga desa sibuk dengan urusannya masing-masing. Suasana desa tampak normal seperti biasanya, tetapi tidak untuk suasana rumah Seno.
Seno dan Bu Pur sedang duduk menangis di pinggir kasur. Lebih dari setengah jam mereka dalam posisi seperti saat ini. Pagi jam sembilan tadi Bu Pur menemukan tubuh Pratiwi terbaring di kamar mandi. Pingsan selama satu jam tentu bukan kondisi yang patut disepelekan.
Mobil ambulan rumah sakit kabupaten yang sejak tadi ditunggu Bu Pur belum menampakkan batang bempernya.
Masih harus menunggu berapa lama lagi? Gumam Bu Pur menahan kepanikan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
The Taste Of Love👩🍳👨🍳
wah bu pur
visualnya mengena
2021-07-09
1
Nikodemus Yudho Sulistyo
salam dari sesama cerita lokal, ANGKARAMURKA.
2021-05-29
3
Nami
kata2mu itu lho tolong disaring dong !! cewek terlalu kasar juga agak gimana gitu apalagi ini kan masih dijawa
2021-03-12
1