Hari ke 2
Wonogiri, 18:30
Dari dalam kamar, Lisa bisa mendengar orang-orang mulai datang untuk tahlil-an. Suara Dani yang ramah menyambut kedatangan warga desa, samar terdengar dari bilik kamarnya.
Ia masih tenggelam memandang buku bersampul merah. Setelah seharian sibuk menerima tamu dan menyiapkan hidangan, baru malam ini Lisa sempat meneliti temuannya.
Dibukanya buku itu dengan hati-hati lembar demi lembar halamannya. Buku yang beraroma wangi bunga melati itu terlihat seperti buku catatan, dengan tulisan tangan yang tidak terlalu rapi. "ini tulisan tangan ibu", batinnya
Lisa mengenal tulisan ibunya dengan baik. Barisan tulisan latin sedikit miring itu sangat khas. Goresan pena-nya berat dan tegas. Meski tidak ada nama Pratiwi di sampul buku, demi apapun Lisa yakin ini tulisan ibunya, Pratiwi Dewi Setianingrum.
Tak terasa ujung mata Lisa basah.
Sepertiga pertama bagian dalam buku itu bertuliskan sederet nama-nama orang dan ratusan barisan huruf jawa kuno. Dua pertiga bagian lainnya tampak seperti coretan-coretan gambar dan simbol-simbol aneh. Ada banyak simbol yang dihapus dengan coretan, kemudian digambar lagi di sebelahnya. Ada juga banyak tanda baca berupa tanda tanya, ukurannya lebih besar dari huruf lainnya.
Jari-jarinya bergetar saat merasakan buku itu seolah menyemburkan aura penolakan.Simbol-simbol dalam buku itu seolah bernyawa, dan menginginkan Lisa menyudahi penelitiannya.
Entah bagaimana Lisa dapat merasakan hal itu.
Memorinya pernah melihat buku seperti ini di sebuah film horor. Imajinasinya mendadak liar membayangkan jika ternyata buku ini memiliki kekuatan mistis dari kutukan iblis masa lampau. Masa kegelapan sebelum jumlah manusia sebanyak seperti sekarang. Tapi mengapa buku ini ada dalam lemarinya?
"Shit.."
Lisa mengumpat dalam hati. Sering ia membayangkan hidupnya adalah fragmen-fragmen adegan dalam sebuah film drama petualangan misteri. Bahkan Lisa dulu sempat bercita-cita menjadi tokoh utama atau sutradara film karena kegemarannya berimajinasi.
Saat mendekati bagian akhir buku, Lisa merasakan ada sesuatu yang ganjil. Seperti ada sebuah benda yang terselip didalamnya. Membuat bagian ini lebih tebal dari bagian buku yang lain.
Degg..jantungnya seolah berhenti.
"Liiis" suara Dani yang sedikit berbisik itu terdengar dari pintu kamar. Kepalanya melongok ke dalam kamar. Sial, ngapain sih gak ngetok kamar dulu! batin Lisa mengumpat.
"Duh, kaget aku mas" bisik Lisa dengan memanyunkan bibir.
"Oh maaf-maaf..aku cuma pengen tahu keadaanmu aja. Kok ora krungu suaramu...tak pikir tidur.." katanya menyungging senyum sambil sedikit mendorong pintu agar lebih terbuka.
"Kamu masih seperti dulu ya, kagetan hehe" ucapnya sambil menengok kiri kanan seperti melakukan pengamatan.
"Hush.. satu menit mas Lisa kedepan, sik lagi mau sisiran trus pake kerudung" kata Lisa seraya menutup buku merah itu dengan cepat. Badannya secara reflek memposisikan diri menutupi buku itu agar tidak terlihat oleh kakaknya.
"Ya wis tak tunggu di depan sama bapak" ujar Dani singkat sambil kembali menutup pintu kamar.
Helaan napas lega terhembus dari hidung Lisa. Terlambat sedetik saja mungkin sudah lain ceritanya. Berderet-deret pertanyaan bak detektif swasta dari mulut kakaknya, dengan sukses dihindari Lisa.
***
Tahlilan sudah hampir selesai.
Pak ustadz yang memimpin tahlil memejamkan mata sambil berdoa khusyuk dengan kepala bergoyang-goyang kiri kanan. Lisa segera duduk bersimpuh di deretan belakang bersama Bu Pur dan beberapa ibu-ibu tetangga. Mereka semua khidmat dan khusyu.
Dengan usaha keras otaknya berusaha berkonsentrasi. Perasaan sedih dan rasa penasaran tumpuk-menumpuk menjadi satu. Misteri gulungan rambut putih keperakan yang berbau busuk dalam lipatan buku tadi, menyita separuh lebih ruang di dalam otaknya.
Laju rapalan doa dari pak ustadz yang lumayan cepat itu, lewat begitu saja seperti tak berarti.
***
01:00
Lisa merasakan suasana malam ini berlalu sangat lambat dan lebih kelam. Air mata kembali menetes di ujung kedua matanya. Ada penyesalan yang dalam jika mengingat hubungan dengan ibunya tidak terlalu dekat. Bahkan sepanjang ingatan, dirinya sering bersitegang adu argumen dengan ibunya dalam banyak hal.
Seandainya ada mesin waktu, sangat ingin ia memutarnya dan kembali pada tahun ke lima hidupnya. Saat dia masih bocah.
Lisa ingin jadi anak yang penurut dan berbakti. Memang terdengar naif dan klise. Tak kalah klise dengan nasihat bahwa penyesalan pasti datang belakangan. Saat telah kehilangan.
Cap yang dulu sering disematkan oleh orang-orang, seperti anak pembangkang, ceroboh, dan selalu bikin onar membuat Lisa dulu sempat berpikir bahwa orang tuanya tidak terlalu menginginkan kehadirannya di dunia.
Sepi. Lengang.
Kedua matanya mematuk pandangan pada jam dinding. Jarum pendeknya menuding angka satu. Di luar masih ada lima orang yang begadang menemani Dani sambil mengobrol ringan dan riuh membanting kartu remi. Tradisi melek-an (begadang) ketika ada warga yang kesusahan masih dijaga warga desa ini. Biasanya mereka melek-an sampai hari ketiga mulai dari tanggal kematian.
Entah, meski raga Lisa terasa sangat lelah, rasa kantuk yang sesekali datang belum dapat menggiring kedua matanya untuk terlelap.
Ingatannya melayang pada kota Jogja. Mungkin setelah ini Lisa akan jarang menengok kota seribu angkringan itu. Kota yang telah memberinya berjuta kenangan sejak pertama Lisa memutuskan untuk kuliah pada jurusan akuntansi di salah satu universitas swasta, di daerah Kaliurang.
Jurusan itu sebenarnya bukan pilihan Lisa. Tapi bagi jiwa pemberontaknya hal itu tidak masalah, karena yang penting ia bisa hidup lepas dari kekangan aturan-aturan orang tua.
Satu-satunya yang membuatnya berat meninggalkan rumah adalah kondisi ayahnya. Penyakit stroke yang diderita selama empat tahun belakangan ini membuat sebagian tubuhnya lumpuh.
Sayup-sayup terdengar suara jangkrik memecah keheningan malam. Sesekali suara burung malam terdengar dari kejauhan. Udara malam ini terasa lebih dingin dari malam kemarin.
Di sela lamunan yang menjajah pikiran, Lisa membuka layar ponsel. Sambil memasang headset memutar lagu-lagu dari playlist shoegaze favoritnya.
....Sugar for the pill
You know it's just the way things are
Cannot buy the sun
This jealousy will break the whole
Cut across the sky
And move a little closer now
Lying in a bed of greed
You know I had the strangest dream....
Sambil memejamkan mata dan menghadap dinding kamar Lisa menikmati baris demi baris alunan lagu dari band favoritnya. Selera musik yang sedikit aneh untuk gadis seusianya.
Beberapa saat kemudian Lisa mencium sekelebat aroma bunga melati yang cukup membuatnya terkaget-kaget. Segera tangannya menekan tombol pause. Lamat-lamat kedua telinganya mendengar suara dengung rombongan lalat terbang berbaur dengan aroma bunga melati yang menyengat hidung.
Bau melati dan suara lalat yang datang dadakan, tentu bukanlah perpaduan menu yang cocok untuk menemani Lisa melewati malam yang penuh kegalauan, seperti sekarang ini.
Pikirannya berkecamuk, mata Lisa terpejam membayangkan adegan film horor yang pernah ia tonton. Bulu kuduk di belakang tengkuknya meremang berdiri. Baru kali ini Lisa menyesap ketakutan. Bau bunga melati yang sempat lewat d iujung hidungnya tadi meninggalkan endapan kengerian yang amat kuat.
Antara penasaran dan ketakutan Lisa membuka mata dengan perlahan. Bola matanya berputar menyapukan pandangan ke seluruh sudut kamar. Tidak ada siapa-siapa! Jendela kamar yang tadi sudah dikunci itu masih tetap tertutup rapat.
Suara dengung rombongan lalat terbang dan aroma bunga melati kini sudah menghilang. Dada Lisa naik turun mengatur pasokan oksigen yang tadi sempat terpompa cepat.
Pikirannya menolak adanya kemungkinan ia sedang berhalusinasi. Aroma bunga melati tadi terasa sangat nyata. Sangat kasat hidung. Begitu juga suara dengung lalat tadi. "*Tidak mungkin aku bermimpi!" *sanggahnya dalam hati.
Setelah merasa sedikit aman, Lisa bangkit duduk untuk membetulkan lipatan selimut. Ditariknya lebih keatas sampai menutupi kepala. Tapi sialnya malah kakinya yang menjadi dingin, karena terbuka. Lisa menahan senyum. Dirinya lekas sadar, selimut yang dipakai itu adalah selimut masa kecilnya. Tentu ukurannya kekecilan sekarang.
Sial! umpatnya dalam hati.
Demi menenangkan perasaan, Lisa mengucap doa-doa sebisanya. Ibu jari dan telunjukknya kembali memasang headset di telinga untuk mendengarkan lagu. Sengaja tidak dipasang terlalu rapat menutupi lubang telinga, karena dirinya ingin tetap mengeset alarm waspada.
Jempol kakinya mengetuk-ketuk kasur mengikuti suara tempo snare drum yang didengarnya.
Baru beberapa menit Lisa mulai tenang dan menikmati hembusan napas lega, terdengar lamat-lamat suara tangis merintih dan menyayat dari arah belakang rumah.
Seperti suara wanita yang menangis terisak bersedu-sedu.
Lisa sangat yakin itu bukan suara Bu Pur karena suara tangisan itu sedikit melengking.
Dengan kembali menahan ketakutan yang amat sangat menyeruak, Lisa menenggelamkan kepala ke balik bantal sambil membaca doa-doa pengusir setan sekenanya. Entah tangisan itu berasal dari mulut manusia ataukah setan, Lisa sudah tak peduli. Baginya, malam ini telah resmi tercatat sebagai malam yang paling menakutkan dalam sejarah hidupnya.
Andai saja ia tahu bahwa dirinya salah.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Sang
untuk saya kota seribu mantan dong 🤔🤔
2022-12-11
1
Rara Candra Kirana
Moco buku disambi ngerungokne audiobook rasane joss.
2022-02-19
1
Mat Grobak
Aroma mistis sudah mulai terasa, namun penampakan belum juga ada
2022-01-19
2