9. Ritual Mbah Kholis (II)

(POV Lisa)

Desa Tempuran, Salatiga.

Kami memutuskan menjalankan ritual sesuai arahan mbah Kholis. Ritual kami lakukan bertiga di kuburan Kirdi yang letaknya sekitar lima ratus langkah dari rumah Mbah Kholis. Lokasinya berada di area yang lebih tinggi. Semacam bukit kecil di tengah hutan. Aku melihat jam tangan sudah menunjukkan pukul satu dinihari. Tinggal sepuluh menit lagi ritual ini dimulai. 01:10 adalah waktu kematian Kirdi.

Perutku mulai terasa mulas. Efek dari naiknya adrenaline yang memuncak. Tentu Azka juga gelisah dan cemas. Tapi kami saling menguatkan. Anehnya aku sudah mulai terbiasa dengan situasi seperti ini. Rasa takutku banyak berkurang. Mungkin karena kehadiran mbah Kholis sedikit meredakan rasa takutku.

Sebilah pisau yang terbungkus kain putih kusam itu yang konon milik Kirdi, sudah aku pegang erat. Kain yang basah itu menebarkan aroma bunga sedap malam yang makin klop dengan angkernya hawa kuburan. Sungguh aku sedang dalam situasi yang menyeramkan.

Tepat pukul satu lewat sepuluh menit dinihari, aku melihat mbah Kholis memberi isyarat untuk segera memulai ritual. Titik dimana aku harus mengubur pisau sudah dipatok mbah Kholis dengan kayu kecil. Letaknya di pertengahan dua nisan Kirdi, kira-kira daerah pusar. Segera aku bangkit untuk mulai menggali dengan linggis kecil yang sudah disiapkan.

Tidak butuh waktu lama aku menggali, dalamnya sudah sampe kira-kira sepanjang siku orang dewasa. Sambil membaca rapalan mantra yang sudah disiapkan aku mulai mengubur pisau itu dengan perlahan.

Jantungku berdebar kencang. Aura kuburan yang semakin angker seolah tak sabar memberiku kejutan mengerikan. Baru kali ini aku berurusan dengan ritual dan klenik. Dalam hati aku sedikit bangga punya keberanian berada di tempat angker seperti malam ini.

Aku menengok ke arah Azka. Dia sedang memandangku tajam. Gerak tubuhnya sangat tidak nyaman. Aku bisa melihat mulutnya komat-kamit berdoa. Entah doa apa yang dirapal aku juga tidak peduli.

Benar saja, saat aku kembali duduk setelah mengubur pisau. Tiba tiba mbah Kholis berdiri sambil bersujud di sisi samping kuburan. Entah apa yang dilakukannya. Dari jarak beberapa meter aku dengar lamat-lamat dia seperti mengucapkan baris-baris kalimat dalam bahasa jawa yang tidak aku pahami. Aku tidak mengerti sedikitpun artinya.

***

Mbah Kholis terdiam

Hening.

Keheningan yang aneh pikirku. Aku merasakan kejanggalan. Aku tidak dapat mendengar suara dari sekeliling sedikitpun. Angin semilir malam yang tadi berhembus seolah berhenti bergerak. Daun-daun lebat di atas pohon, semak belukar dan ranting sama sekali tidak bergerak. Suara binatang malam yang sebelumnya kerap terdengar bersahutan kini membisu.

Diam dan hening.

Di tengah keheningan beberapa saat, aku merasa tubuhku sangat rileks dan tenang sekali. Laju aliran darah di pembuluh darahku dapat dengan jelas aku rasakan. Detakan jantungku yang melambat kudengar seperti membiusku semakin dalam ke alam bawah sadar. Aku mengantuk sekali. Aku menahan sekuat tenaga agar tidak tertidur di momen seperti ini.

Brukk!

***

Tubuhku terjatuh dari tempat tidur. Dalam kesadaran yang belum pulih aku mengucek mata sambil melihat sekeliling. Aku berada di kamar tidurku!..

Mana Azka, mbah Kholis? Bagaimana aku bisa disini?

Dengan menahan sakit di punggung dan pusing aku bangkit berdiri. Sambil berjalan menuju pintu kamar aku melihat jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Seingatku terakhir tadi aku melihat jam adalah pukul satu dinihari. Mengapa sekarang menjadi jam sembilan?

Dengan kepala penuh pertanyaan dan sebelum sempat aku menuntaskan langkah kaki untuk membuka pintu, samar telingaku mendengar langkah kaki dari arah luar kamar yang berjalan teratur. Aku menghentikan langkah.

Langkah kaki itu agak janggal, karena selain langkah kaki aku juga mendengar suara seperti gemerincing seperti rantai besi yang diseret di atas lantai.

Dalam keheningan terdengar suara pintu terbuka pelan dari arah kamar tidur ibu.Siapa dia? Bu Pur-kah?

Perlahan kubuka pintu kamarku setelah kurasa aman. Aku intip kamar ibu terbuka separuh. Cahaya kamar yang terang menerobos keluar menerangi koridor rumahku yang gelap. Aku melangkah perlahan menuju kamar ibu yang jaraknya hanya sekitar 10 langkah itu. Sedikit kucondongkan kepalaku meneliti keadaan dikamar ibu.

Aku terkejut setengah mati saat melihat ibuku yang sedang tertidur pulas dan disampingnya ada sosok laki-laki berbadan tinggi besar sedang menghunus pisau yang berkilauan memantulkan cahaya lampu kamar.

Kedua kakinya yang tak beralas itu terikat rantai. Dia dalam posisi siap untuk menghujamkan pisau panjangnya ke tubuh ibu!

Dalam satu gerakan reflek aku berteriak sambil berlari menerjang orang itu.

 "Buuuuuk!!!" Teriakku sekencang-kencangnya.

Suaraku yang keras membuatnya berbalik dan terkesiap. Aku menerjang tubuhnya sampai terjatuh menimpa tubuh ibu diatas kasurnya.

"Bangsaaat!!!" umpatnya sambil terjengkang.

Ibu yang kaget dan terbangun segera bergerak berteriak dan merangkulku. Sebelum sempat aku bergerak lebih lanjut, tangan orang yang bertopeng hitam itu menjambak rambutku dengan kasar lalu memiting leherku dari belakang.

Demi melihat aku dalam posisi terjepit, Ibu langsung menyerang orang itu dengan gerakan cepat. Sekelebat, dengan tangan kanannya yang kokoh orang itu menangkis pukulan ibu seraya dengan cepat mendorong tubuh lemah ibu sampai terjatuh dari atas tempat tidur. Aku berteriak histeris mengumpat sejadi-jadinya.

"Bajingan !!!"

Tapi pitingan orang itu lebih keras menekan leherku. Dari posisi tertelungkup ibu perlahan meraih pisau yang tadi terjatuh. Ibu menyorongkan pisau itu ke arahku. Aku masih meringis kesakitan dengan wajah memerah. Urat leherku menegang sambil melawan sekuat tenaga menjejak lantai untuk mendorong tubuh penyerangku ke belakang.

Aku diseret sedikit bergeser kearah kiri. Dalam pergumulan hebat, ku kerahkan tenaga terakhirku untuk meraih pisau dari tangan ibu. Pisau itu lalu kutancapkan sekuat tenaga cepat-cepat ke arah samping telingaku.

Bressss...

Darah segar memancur dengan deras, membasahi rambut dan bagian belakang tubuhku. Tenaganya dapat kurasakan melemah. Perlahan dia melepaskan cengkeramannya.. Segera aku berlari sambil menarik tangan ibu keluar kamar.

Orang bertopeng itu terhuyung-huyung sambil memegang lehernya yang masih memuncratkan darah segar. Suaranya meracau menyumpah sambil menuding ke arahku.

Aku tak peduli nasibnya. Yang jelas aku sudah berhasil menyelamatkan ibu dari kematian. Kupapah ibu menuju tempat duduk di ruang tamu depan.

Aku yakin orang itu sudah mati karena aku tidak lagi mendengar teriakan kerasnya.

"Deloken wong e Lis...wis mati durung....?" kata ibuku terengah-engah. (tolong liat orangnya Lis, orangnya sudah mati belum?)

Tanpa menjawab aku mengambil asbak besar dari keramik dan berjalan ke arah kamar ibu. Aku lihat orang itu sudah tak bergerak dan tergeletak diatas lantai. Darah dari lehernya yang koyak itu menggenangi lantai kamar.

Aku beranikan diri mendekatinya karena merasakan keganjilan.Tubuh yang terpampang di depanku ini sepertinya bukan tubuh yang tadi. Posturnya tidak kekar, lebih mirip tubuh seorang perempuan.

Kusepak sedikit kakinya memastikan dia benar-benar mati. Sambil memasang kuda-kuda bersiap menghantamkan asbak dikepalanya aku membuka bungkus topeng hitam yang membungkus kepalanya.

DHEEGGGG!!!

Arrrrgghhh!!!!!!

Itu wajah ibu!!!! Aku teriak histeris sekencang-kencangnya!! aku membunuh ibu!!

****

Terpopuler

Comments

Ami Nov

Ami Nov

: v.
c
c
c
c cc. v. bbb. v. vb. v. v. . V
CCC

2022-03-18

0

Anisha Andriyana Bahri

Anisha Andriyana Bahri

maaf knp umpatannya. kasar bngt ya. dia kn prmpuan.apa gk bs di perhalus thor

2021-05-27

0

Farid Jauda

Farid Jauda

seram thor

2021-01-23

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 54 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!