Salatiga, Hari ke 9
"Lis, kamu yakin ini jalannya?" Kata Azka sambil menoleh.
"Lho, aku juga ga tahu..ini tadi cuma ngikuti google maps" jawab Lisa sekenanya.
"Asem, hahaha..semoga gak kesasar ya.."
"Ora lah...eh.. semoga ding..hahahaha" mereka tergelak bersama.
***
Hari ini, Lisa dan Azka memutuskan memacu mobil Avanza Azka ke daerah Salatiga. Buku catatan merah seolah memberi mandat bahwa petunjuk pertama adalah mencari tahu Kirdi itu siapa.
Menurut Azka ada kemungkinan Kirdi ini terkait dengan meninggalnya ibunda Lisa. Bisa saja buku itu adalah semacam jimat, dan hantu itu sedang mengincarnya. Meskipun semua terdengar tak masuk akal, tapi dalam situasi seperti ini rasanya akal dan logika sudah tak laku sebagai dalil pembenar.
Berangkat selepas subuh dari Wonogiri adalah sebuah keuntungan karena terhindar dari teriknya matahari. Mereka begitu menikmati perjalanan dengan memutar playlist lagu-lagu kenangan saat mereka satu sekolah. Mobil Avanza Azka meski bukan keluaran baru masih terasa nyaman untuk perjalanan jauh ke luar kota.
Tak terasa sudah satu jam lebih mereka meninggalkan pusat keramaian dan perlahan makin masuk ke area hutan jati yang cukup rapat. Mobil terus dipacu sampai tiba di ujung aspal untuk memasuki jalan tanah keras.
Azka melihat wajah Lisa sambil seolah tidak yakin.
"Terus Az, kata bapak tadi ini kok jalannya, kita sudah hampir sampai" jawab Lisa mencoba menenangkan, meskipun dari air mukanya sendiri terbersit aura ketidaknyamanan.
Gelat gelisah terasa dari gestur tubuh mereka. Pohon-pohon tinggi menjulang di pinggir jalan seolah menyambut mereka dengan tatapan curiga. Meski hari masih terang, nuansa kelam hutan ini memberkaskan bongkahan kengerian.
Sampai suatu ketika ban mobil kembali menjejak jalan berbatu, mereka tampak sedikit lega. Biasanya ini adalah pertanda makin dekat dengan area pemukiman.
"Az,ada sinyal" pekik Lisa girang begitu melihat tulisan 3G dilayar ponsel.
"Alhamdulillah" balasnya lega sambil menoleh tersenyum lebar.
"Kita sudah dekat" bisiknya sambil menurunkan volume suara musik.
Pada sebuah persimpangan setelah pohon asam besar, kepala Lisa melongok keluar jendela mobil untuk melihat papan petunjuk. Tulisan samar pada tiang kayu yang miring itu seakan memastikan bahwa mereka telah sampai pada tujuan.
Mobil dipacu lebih pelan begitu melihat gerbang desa dan barisan rumah khas pedesaan. Mata mereka serentak menjelajah setiap sisi pemukiman. Masih saja sepi walau sekarang hampir tengah hari.
Barisan rumah itu tidak banyak. Bahkan termasuk sedikit untuk ukuran desa.
Azka yang memegang kemudi menyapa beberapa wajah muram nan dingin yang sempat menoleh ke arah mereka. Azka memasang wajah ramah begitu beradu pandang dengan sosok nenek yang sedang membungkuk menyapu pekarangan. Mereka tampak baik, batin Azka.
"Az,aku kebelet pipis, cari mushola yuk".
"Kae kayaknya musholla Lis" Azka menunjuk bangunan tembok bercat hijau yang tampak beda dari bangunan lainnya.
Tuntas buang air kecil dan membasuh muka, Lisa bergegas kembali menuju mobil yang diparkir di halaman mushola. Dari arah luar tampak seorang laki-laki bersarung berjalan menghampiri mereka.
"Assalamu'alaikum....." sapanya.
"Wa'alaikum salam" balas Lisa.
Mereka bertiga bersalaman. Setelah saling memperkenalkan nama masing-masing.
"Dari mana dik?" katanya dengan suara datar sambil memandang Lisa dan Azka seperti melihat sesuatu yang aneh.
"Jogja pak" jawab Azka sekenanya.
"Jogja? Wah jauh juga...bisa saya bantu mungkin ada keperluan sampe jauh-jauh kesini...monggo duduk di teras sambil ngobrol".
Laki-laki berbaju putih tulang yang berusia 60-an itu, menyalakan sebatang rokok kretek, menunggu lawan bicaranya membuka percakapan. Sesekali ia membetulkan posisi kopyahnya yang kekecilan.
Lisa mengatakan maksud kedatangan dengan sekenanya. Dikarangnya dengan spontan tanpa berpikir panjang.
"Jadi Kirdi keriting duwur (tinggi) itu pamanmu to?"
"Inggih pak, masih pernah paman dari garis bapak saya. Sudah lama kami kepaten obor" (kehilangan kabar). Jawab Lisa.
Seraya menghembuskan asap rokok kuat-kuat, lelaki tua yang bernama Wardoyo itu memulai cerita.
"Jadi Kirdi itu adalah warga pindahan dari kota yang ingin pensiun di desa sini nak, hmmm..tapi dia sudah tewas dua minggu lalu" ujar pak Wardoyo datar.
"Innalillahi" kata Azka.
Dengan mimik serius Pak Wardoyo menceritakan sosok Kirdi, sebab kematiannya yang karena perampokan, dan sejumlah keganjilan yang melekat pada peristiwa itu.
"Ya...jadi setelah Kirdi mati dibunuh perampok di rumahnya itu seminggu kemudian istri dan anaknya hilang begitu saja. Makanya aneh kan? Geger warga sini. Lha seumur-umur saya disini tidak pernah ada pembunuhan, apalagi barang yang diambil tidak seberapa. Aneh to?"
"Polisi sampe sekarang juga belum bisa menemukan siapa pembunuhnya dan mencari tahu dimana keluarganya...wis jian aneh tenan" tuturnya menerawang.
"Terus terang kulo dan puluhan warga sekarang lebih waspada jika ada orang asing bertamu..yah maklum nak..jaga-jaga.. namanya juga desa kecil."
"Iya pak, kami paham" Azka menyahut sambil mengusap paha Lisa saat tahu ia sedikit gelisah.
Perasaan Lisa sangat tidak tenang. Tidak menyangka jika Kirdi itu memang ada dan yang mengagetkan dia sudah mati dengan mengenaskan.
"Ngeten mawon, kalo sampeyan ingin lebih tahu ada seorang yang kenal dekat dengan Kirdi, namanya mbah Kholis. Mungkin kalian bisa lebih dapat cerita lebih banyak, saya kan tahu garis besarnya saja. Dia wong pinter, tukang suwuk..." sambung pak Wardoyo.
Kami saling berpandangan sebentar sebelum kembali bicara dengan pak Wardoyo.
"Boleh pak, kalau berkenan minta petunjuk dimana rumah mbah Kholis" sahut Azka.
"Itu kalian lurus aja jalan sini, trus perempatan pertama belok kiri. Nanti ketemu rumah di ujung jalan yang paling luas, nah itu rumah mbah Kholis" jawabnya sambil bangkit berdiri menunjuk ke arah jalan.
"Tapi kalian harus hati-hati, Kholis kadang ngomongnya sedikit kasar.., tapi mboten nopo-nopo memang sifatnya begitu" ujarnya sambil berpamitan pada mereka berdua.
***
Tidak sulit mengikuti petunjuk pak Wardoyo. Rumah mbah Kholis memang tampak paling besar dari rumah lain di desa minim penduduk ini. Halaman luarnya tumbuh beberapa pohon pisang, mangga dan dua buah kurungan ayam yang tergeletak tanpa penghuni. Segelas kopi yang tinggal ampas menghias amben kayu di bawah pohon mangga. Rumah itu tak berpagar.
Mobil Avanza Azka memutar haluan untuk mencari posisi parkir di halaman rumah yang paling nyaman.
Memang rumah ini termasuk besar untuk ukuran rumah pedesaan. Apalagi untuk desa sedikit terpencil seperti Tempuran. Berjalan diatas tanah liat yang mengeras Lisa dan Azka saling adu pandang. Ada seberkas keraguan dari sudut mata Azka. Lisa paham isyarat itu. Matanya mengedip sambil menyungging senyuman.
“Ayo” bisiknya.
Empat langkah sebelum menginjak tepi teras, Azka mencolek pundak Lisa.
“Lis” kepalanya menggeleng mengganti tudingan jari.
Tampak sesosok laki-laki berpakaian serba hitam mengadu pandangan dengan Lisa dan Azka. Dari posisi duduknya yang menegak, lelaki itu tampak sedang bersiap bangkit untuk berdiri.
"Nyuwun sewu pak" Azka memulai sapaan.
“Yoh” ucapnya pendek
"Mbah Kholis wonten?"
Lelaki itu tak menggubris pertanyaan Azka. Setelah berdiri berkacak pinggang, matanya menyelidik dari ujung jari sampai ujung kepala kedua tamunya yang datang tanpa undangan
“Pendatang?” tanyanya singkat..
Aura orang di depan Lisa ini sedikit menyeramkan. Kumisnya yang melintang tebal diatas bibir, selang-seling beruban. Kulitnya legam dengan banyak guratan kerut tak beraturan.
Sambil menuding kursi rotan yang berada di sampingnya, ia menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Lungguh” (duduk) perintahnya.
"Kulo Kholis, Mbah Kholis, sampean sinten?" (saya Kholis, kalian siapa?) ucapnya seraya kembali duduk.
Sekarang Lisa dan Azka telah duduk berhadapan dengan lelaki yang berwajah garang. Posisi mereka terpisah meja bundar dari besi yang sedikit berkarat. Seolah sepakat, Azka dan Lisa memasang wajah seramah mungkin, kemudian hampir berbarengan menyebutkan nama masing-masing.
Tanpa basa-basi, Mbah Kholis masuk sebentar ke dalam ruangan. Tak lama ia telah keluar sambil mengusung baki berisi gelas minuman. Lisa sempat melongok sebentar ke arah dalam rumah yang tampak minim penerangan. Tercium bau wangi bunga sedap malam, menyeruak dari satu pintu utama yang terbuka separuh.
Azka berinisiatif menceritakan tujuan mereka bertamu. Mbah Kholis menyimak ucapan Azka dengan santai sambil sesekali menyedot sebatang rokok kretek yang tak bermerek. Lisa memilih diam sambil sesekali mengecek layar ponsel dan memandang sekeliling tanpa tahu apa yang dicari.
"Nak Lisa.." kata mbah Kholis tiba-tiba.
"Eh iya mbah..maaf" panggilannya membuyarkan lamunannya.
"Ojo sering nglamun, ati-ati"
"Inggih mbah..ngapunten"
"Saya ngerti sopo sing mateni (yang membunuh) Kirdi, tapi kalian pasti tidak percaya karena tidak semua orang mau mempercayai barang alus". cibirnya sambil tersenyum sinis.
Azka meyepak kaki Lisa dengan cepat untuk memberi isyarat. Mereka tampak terheran-heran.
"Mbah ugo ngerti kalo tujuan kalian kesini itu bukan hanya mencari tahu tentang Kirdi, tapi ada perkara lain yang masih ngganjel" lanjut mbah Kholis memecah keheningan ruangan.
Sambil berdiri, dia berjalan ke arah meja kecil yang terletak di balik dinding pemisah teras dan ruangan depan. Tangannya mengambil sesuatu dari laci paling atas. Setelah itu dia berjalan menghampiri Lisa yang masih keheranan.
Jari-jari tangannya yang besar menggenggam sesuatu. Diusung tepat dihadapan Lisa.
“Terimoen” (silakan terima)
Pandangan Lisa menumbuk tangan Mbah Kholis. Ada bekas luka terbakar yang cukup luas di pinggir telapak tangannya. Jari kelingking kanan lelaki itu seperti tidak bisa ditekuk sempurna.
"Mbuh bener mbuh salah, kowe lagi diincar barang alus nak.... buka-en" (tidak tahu benar atau salah, kamu sedang diincar makhlus halus. Segera buka)
Lisa ragu menerima bungkusan kecil dari tangan mbah Kholis . Perasaannya tak tenang. Azka disebelahnya malah terlihat gelisah. Tapi rasa penasaran mereka sukses menggerus keragu-raguan.
Tangannya yang kecil itu bersiap membuka benda bulat seukuran buah duku. Benda itu terbungkus kain putih kusam yang diikat dengan puluhan helai rambut yang dipilin serampangan. Tengkuk Lisa berdesir.
Baru berniat membuka ikatan, tiba Lisa merasakan sakit kepala bagian belakang yang cukup kuat. Sebelum benda itu terlempar dari tangan, Mbah Kholis meraihnya kembali dengan cepat.
"Lha tenan to...cekot-cekot sirahmu nak? (Lha beneran kan, kepala kamu pusing) tanya mbah Kholis.
"Inggih mbah" Lisa mengurut pelipis sambil tampak tegang.
"Kunu ngombe disik" (Sana minum dulu). kata Mbah Kholis memerintah
Tanpa tanya, Lisa segera meraih segelas teh dari atas meja. Teh hangat yang diminum Lisa terasa lebih sepet dari teh biasanya. Lidahnya mengecap rerempahan yang cukup tajam.
"Aku saiki ra iso ndelok kerono durung wayahe dekne ngetok, tapi aku yakin ono barang alus nempel nang awakmu" (aku sekarang tidak bisa "melihat" karena belum waktunya "dia"menampakkan wujud, tapi aku yakin ada makhluk lain yang menempel di badanmu).
"Nek isih ono wektu tak bantu ngilangne mumpung isih awan...piye?" (jika ada waktu saya bisa bantu untuk menghilangkannya mumpung masih siang) tanya mbah Kholis.
Azka menyentak tangan kiri Lisa dari balik meja yang tidak terlihat mbah Kholis. Pandangan matanya sedikit mendelik kearah Lisa. Lehernya bergoyang ke samping dengan lirikan cepat, khas gestur orang yang mengajak pergi dengan bahasa isyarat.
Lisa hanya diam. Hatinya bimbang. Keputusan ada ditangannya. Karena dialah objek penderita, bukan Azka. Lisa juga cukup yakin jika mbah Kholis ini memang orang pintar, bahkan mungkin orang sakti.
"Inggih mbah, saya minta tolong mbah" katanya dengan nada yakin.
Azka makin kencang menyepak betis Lisa. Lisa menggeser kakinya sedikit menjauh. Ini sudah keputusannya. Ia harus menghentikan gangguan-gangguan itu. Bantuan sukarela seperti ini sangatlah ia butuhkan.
"Tenang,aku mung niat mbantu...sing aku iso, tak ewangi..sing ora iso yo ra tak ewangi" (tenang, aku hanya berniat membantu...yang aku bisa ya aku bantu...yang tidak bisa ya tidak aku bantu) jelasnya.
"Sing nganggu kowe kuwi ora sembarangan, saiki piyambak-e mung nempel, suwi-suwi mlebu..malah soyo susah ngusir-e" (yang menganggu kamu itu bukan sembarangan, sekarang hanya menempel, lama-lama akan masuk dan makin susah mengusirnya).
Azka terdiam. Lisa menangkap kepasrahan dari sorot matanya.
"Nggih mbah, saya nurut. Kalo memang mbah sanggup membantu mengusir yang menempel di tubuh saya, saya minta tolong bantuan mbah".
"Yoh..enteni sedelo neng kene" (ya, tunggu sebentar di sini) katanya sambil masuk kembali ke dalam rumah.
Begitu sosoknya menghilang dibalik dua daun pintu yang terbuka satu. Azka menyuruh Lisa mencari pertimbangan lain. Firasatnya kepada Mbah Kholis tidak terlalu baik. Dari bungkusan kain yang terikat rambut ia memastikan Mbah Kholis adalah dukun ilmu hitam.
Tapi semua sudah terlanjur. Palu keputusan sudah diketuk Lisa.
"Kita coba saja Az, siapa tahu bisa berhasil" kata Lisa menenangkan kekuatiran Azka. Baginya, alasan itu terlalu mengada-ada.
"Iya, tapi aku sudah mengingatkan kamu ya" sergah Azka sedikit cemas.
"Iyo..makasih Az"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Ros
untung bacanya pas siang coba kalau malam serem abis 😨😱
2023-01-12
0
Sang
Mbah @Andini Andana opo artine "tukang suwuk" ?
2022-12-11
2
Tias Putri
bahasanya runut dan rapi, alur cerita jg gk serampangan..udh profesional ini mah author 👍👍
2021-01-24
4