16. Misi Pencarian

(POV Lisa)

Salatiga\, Hari ke 18 | 07:10

Pagi ini aku berencana pamit untuk kembali ke Wonogiri. Ada misi penting mencari keberadaan batu kolocokro. Waktu yang semakin mepet, menggerakkan niatku untuk segera menuntaskan misi besar ini.

Setelah sarapan, aku diajak Kyai Ghofur ke dalam ruangan pribadinya. Ruangan khusus ini kata beliau jarang dimasuki orang. Padahal dari interior dalamnya aku tidak melihat ada yang istimewa. Hanya karpet hijau yang menutupi seluruh lantai dan lemari kecil di salah satu sudut ruangan.

"Kalau kamu pagi ini kembali ke Wonogiri, aku tidak bisa mengantarmu. Tapi aku akan menitipkan sesuatu untuk pegangan kamu. Bahaya didepanmu sangat besar dan dekat, jangan sekali-kali percaya pada orang lain selain dirimu sendiri. Ikuti kata hatimu"

"Nanti Amin akan mengantar kamu ke terminal. Berjalanlah dengan cepat dan jangan menoleh kebelakang atau menyambut jabat tangan orang yang belum kamu kenal. Orang-orang jahat yang kamu lihat kemarin bukan orang dengan kemampuan biasa. Mata mereka ada dimana-mana, eling lan waspodo".

"Inggih Kyai, kalau begitu saya segera pamit" kataku sambil mengikuti gerakan Kyai yang bangkit dari duduk. Sambil menyambut tanganku beliau menyerahkan bungkusan kain hijau seukuran dadu dan menyuruhku menyimpannya baik-baik.

"Sing ati-ati nak, insyaAllah semua akan baik-baik saja, nyuwun saja sama gusti Allah"

"Inggih Kyai" kataku singkat sambil mencium tangannya. Mataku berkaca-kaca. Aku melihat ketulusan dari sorot matanya yang teduh. Sorot mata seorang ayah pada anaknya.

Baru beberapa langkah aku berjalan, Kyai memanggilku.

"Lis..."

"Inggih Yai" aku menoleh lalu memutar badan.

"Bener nak..." kata Kyai

"Bener apanya Kyai?" tanyaku

"Menjawab pertanyaanmu tadi malam, yang perkara arwah selama 40 hari itu..bener itu.., bener jawabannya" Kata Kyai sambil tersenyum.

Tanpa berkata aku menganggukkan kepala sambil tersenyum-senyum.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikum salam"

***

Untung saja kekhawatiranku saat berada di terminal tidak terbukti. Sampai aku duduk dekat jendela dalam bus tidak ada kejadian yang istimewa. Gara-gara pesan Kyai aku jadi parno! Hehe.

AC bus yang berhembus dingin dan akibat begadang semalaman sukses membuat datangnya rasa kantuk pada mata lebih cepat dari biasanya.

Tidak terasa perjalananku kembali dari Salatiga seperti lebih cepat dari arah pergiku. Mungkin karena jalanan sedang tidak begitu padat dengan kendaraan. Atau karena aku sepanjang perjalanan tertidur pulas.

Pikiranku masih terngiang-ngiang semua ucapan Kyai Ghofur. Sampai tiba di rumah pun aku masih tidak dapat berpikir tenang. Sambutan bu Pur ketika melihat aku datang sampai ku respon dengan perasaan enggan.

Malam ini aku berencana menghabiskan waktu lebih banyak menemani bapak. Meski tubuhku lelah, mendapati kemungkinan bahwa ini adalah kesempatan terakhirku bersama bapak membuatku semangat dan melupakan kelelahan lahir batin yang menderaku.

Suara hingar bingar binatang malam terdengar bagaikan berlomba untuk merebut perhatianku. Meski mereka tahu tidak ada yang akan keluar sebagai juara, tapi semangat mereka layak mendapat pujian.

Begitupun awan gelap dan bulan, awan gelap kadang begitu congkak dan merasa bangga begitu mudahnya dirinya menutupi sinar bulan. Walaupun sebentar, usahanya yang tak pernah berhenti itu patut aku apresiasi.

Jam tidur bu Pur dan bapak memang bukan tandinganku. Mereka tidak biasa terjaga diatas jam 10. Sedangkan aku malahan tidak bisa tidur apabila tidak dinihari. Tapi terjaga setelah mereka tidur mengakibatkan aku sendirian dalam keheningan. Dan itu bukan kabar baik buatku.

Lagu-lagu yang kuputar dari ponsel, timeline twitter, atau sahut-menyahut grup whatsapp makin lama makin terasa membosankan. Selain pikiranku tak tenang memikirkan dimana batu kolocokro disembunyikan ibu bayangan teror Nini Srimpi yang sewaktu-waktu datang sukses membuat was-was diriku.

Tapi makin keras usahaku untuk tetap terjaga, makin keras juga rasa kantukku melanda. Sambil memegang bungkusan kecil dari Kyai Ghofur aku berharap benda ini mampu menghadang niat hantu mendekatiku.

Saat dalam kondisi antara sadar dan tertidur lamat-lamat aku mendengar suara alunan rebab dari arah kamar ibu. Kali ini aku juga mendengar suara wanita nembang. Indah sekali. Tapi bukan perkara indah atau tidak indah, karena aku yakin hanya ibu yang bisa memainkan alat musik itu, dan beliau sudah tiada.

Ojo turu sore kaki

Ono dewo nglanglang jagad

Nyangking bokor kencanane

Isine dungo tetulak,

sandang kalawan pangan

Yoiku bagianipun

Wong melek, sabar, narimo

Mungkin "jimat" dari Kyai Ghofur ini benar-benar berguna. Aku bisa melawan rasa kantukku untuk menyelidiki suara-suara dari kamar ibu dan bapak. Meski dadaku berdegup kencang karena takut, bekal keberanian yang kukumpulkan dari rumah Kyai Ghofur belum banyak berkurang.

Perlahan aku turun dari ranjang untuk mengurangi decitnya yang lumayan kencang aku sangat berhati-hati saat menggeser tubuhku. Kujatuhkan tumitku terlebih dulu agar tidak membuat langkah kakiku bersuara jelas. Sambil menoleh ke sekeliling untuk memastikan tidak ada kejutan dari Nini Srimpi, aku menuju pintu kamar.

"Aku ora wedi..aku ora wedi....."  (aku ga takut) batinku berulang-ulang sampai tiba didepan kamar ibu.

Sampai suatu ketika,

[Kriyeeeeeeeet] (suara pintu terbuka)

Rasanya tak bisa kupercaya apa yang kulihat dari jarak 2 meter didepanku persis. Aku jelas melihat sosok wanita yang berdiri membelakangi diriku. Cahaya lampu kamar yang remang-remang tidak dapat menutupi bahwa itu adalah ibuku. Baju yang dikenakannya sangat khas. Aku lihat bapak tidur dengan pulas menghadap dinding.

Aku yang terkaget-kaget hampir saja berteriak kalau saja tidak ingat bahwa bapak bisa terbangun karena teriakanku. Tapi rasa terkejut ini tak dapat kututupi. Aku telah melihat arwah ibu secara langsung.

Mulutku menganga. Mataku melotot. Keringat dingin mengucur deras dibarengi meremangnya bulu kuduk dibelakang leherku. Meski aku sangat merindukan sosok ibu, tapi bukan dengan cara seperti ini.

Aku memundurkan tubuhku sedikit ke belakang. Dengan tubuh yang membeku, lirih aku memanggil sosok itu.

"Bu..........." sapaku pelan..pelan sekali. Hampir tak terdengar

Dia diam saja.

Sebelum aku memutuskan langkah apa selanjutnya, aku melihat gelagat tidak mengenakkan. Sosok itu membalikkan badannya perlahan.

Tanpa ada suara sama sekali aku melihat tangan kanannya terangkat menunjuk lemari baju kayu yang terletak di seberang tempat tidur. Tubuhku gemetaran. Beruntung kedua lututku masih menyisakan sedikit kekuatan untuk menopang badanku meskipun mulai goyah.

Wwwwwwwwuzzzzzzzzzzzzh...braaak!

Aku terkejut jatuh terjengkang seraya menutup mata rapat-rapat. Saat sekelebat aku melihat tubuh "ibu" bergerak sangat cepat sambil membuka mulutnya lebar-lebar. Kelebatan gerakannya yang seperti melayang kearahku tidak dapat aku antisipasi. Apalagi kedua tangannya terangkat kedepan lurus seolah membuat gerakan akan mencekik leherku.

Untung saja pintu kamar ini menutup dengan keras dan sangat cepat sebelum "ibu" mencapai tempatku berdiri. Seolah tersadar mungkin aku dalam bahaya cepat-cepat aku lari kembali ke kamarku.

Selain Nini Srimpi yang sukses menerorku dan membuatku ketakutan, kini resmi bertambah menjadi dua. Salah satunya arwah ibuku!

Sial!

Lagi-lagi mimpi!

Berkali-kali aku mengumpat setelah aku terbangun dan sadar bahwa semua itu adalah mimpi buruk. Dengan perasaan tidak karuan antara takut dan dongkol aku melihat jam dinding. Jam dua dini hari. Sebuah waktu tidur yang cukup singkat bagiku. Dan kini aku sangat yakin tidak bisa tidur lagi sampai pagi.

Kuingat-ingat lagi mimpi yang baru saja kualami. Firasatku ada sebuah petunjuk dari ibu. Ibu sedang memberiku petunjuk. Sambil termenung sebagian otakku berpikir keras. Sebagian lainnya memasang kewaspadaan dari kemungkinan teror lainnya. Beberapa menit aku berpikir dan sepertinya aku yakin ibu menunjuk lemari di kamar. Atau mungkin ibu menunjukkan tempatnya menyimpan batu Kolocokro?

Tanpa menunggu aku bangkit dan berjalan ke arah kamar ibu. Dengan sangat hati-hati ketika sudah berada didepan pintu lemari aku menyapukan pandangan ke arah jendela kamar. Siapa tahu ada yang Nini Srimpi. Setelah benar-benar aman aku membuka pintu lemari dengan gerakan perlahan. Sedapat mungkin tidak membuat bapak terbangun.

Kuamati dari ujung atas sampai bawah tidak ada yang aneh. Rak atas baju-baju ibu dan rak bagian bawah tempat baju-baju bapak. Kubuka pintu satunya. Bagian lemari ini tidak punya rak. Isinya kemeja batik, jas bapak dan baju khusus kondangan. Pandanganku jatuh pada benda yang sering aku dengar suaranya. Rebab ibu. Alat musik gesek yang bunyinya seperti biola itu menarik perhatianku.

Seingatku dulu ibu pernah aktif di kelompok karawitan sekolah saat SMA. Beliau bermain rebab.

Sambil menoleh kebelakang untuk mengecek keadaan aku mengambil alat musik itu. Sambil menutup kembali pintu lemari aku berjalan kembali ke kamarku.

Ingatanku melayang kemasa kecilku, saat dimana ibu sering memangku tubuh kecilku sambil memainkan rebab. Aku sangat ingat memori itu. Hampir tiap hari beliau mengajakku bermain alat musik yang sekarang aku timang-timang ini. Biasanya sambil bermain rebab ibu juga menyanyikan semacam kidung nyanyian dalam bahasa Jawa. Aku sama sekali tidak paham artinya. Yang kuingat hanya nada senandungnya saja.

Tiap hari beliau mengajari dan mengajakku bernyanyi bersama. Tapi sekarang aku lupa sama sekali barisan lirik kidung itu. Yang lebih kuingat malah lagu-lagu band The Beatles, yang tiap sore kudengarkan dari tape compo bapak.

Rebab ini seolah mengisyaratkan bahwa meskipun dirinya adalah benda mati tetapi dapat hidup dan dapat menghidupkan. Hidup dalam ingatan dan menghidupkan kembali kenangan.

Aku berjanji akan merawatnya selama hidupku, gumamku seraya kudekap erat. Baru saja dekapan tanganku menguat, aku merasakan sensasi perih di kulit lenganku.

Aduh!

Brraak!

Rebab itu terjatuh tepat dibawah kakiku. Senar rebab yang telah berkarat itu putus akibat tekanan tanganku. Dan ujungnya tepat menggores bagian dalam lenganku sampai berdarah. Aku tak sempat menangkap rebab itu, dan sekarang tergeletak jatuh.

Bagian lehernya yang panjang itu patah!

Aku panik, menyesali diriku yang sangat ceroboh. Romantisme dengan alat musik ini seketika berakhir.

Sambil memungut benda yang mungkin tidak bisa dimainkan lagi ini aku meratapi kesialanku.

Begitu benda itu ku angkat, aku melihat ada sebuah benda kecil yang terselip pada bekas patahannya. Sepertinya sengaja ditanam orang yang membuat alat ini. Benda itu memantulkan cahaya lampu kamarku. Bentuknya mirip batu.

Yah..sebuah batu!

Batu Kolocokro kah ini??

Perasaanku girang sekali dipagi buta ini.

Bentuk batu itu ternyata seperti batu biasa. Warnanya merah kehitaman, dan besarnya sedikit lebih besar dari batu akik. Rasanya tak sabar aku kembali ke Salatiga untuk menunjukkan pada Kyai Ghofur apa yang baru saja kutemukan.

Segera kubungkus dan kusimpan rapat-rapat dalam tas ranselku. Siang nanti aku harus kembali ke Salatiga. Sekarang aku harus tidur untuk mengumpulkan tenaga.

Keberhasilanku menemukan batu Kolocokro benar-benar membuatku gembira. Sampai-sampai aku kehilangan kewaspadaan dan tidak sadar ada sepasang mata yang dari tadi mengintip dari balik celah pintu yang sedikit terbuka.

***

Terpopuler

Comments

Elmi yulia Pratama

Elmi yulia Pratama

bu pur penghianat kah

2025-02-12

0

Rimbia Rhaya Hijabshop

Rimbia Rhaya Hijabshop

Bu Pur itu minta d colok mata'e

2022-02-08

1

Rimbia Rhaya Hijabshop

Rimbia Rhaya Hijabshop

apa Bu Pur mata" si Kholik?

2022-02-08

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 54 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!