Aku tidak lagi membalas kata-kata Willy, aku merasa bosan dengan apa yang kita bicarakan saat ini.
Aku bergegas masuk ke dalam mobil dan kemudian diikuti oleh Willy.
Selama perjalanan pulang, kami berdua tidak melakukan percakapan apa pun. Suasana di dalam mobil menjadi sangat hening dan juga kaku.
Aku sendiri tidak ingin menatap ke arah Willy, karena aku sudah bisa memahami bagaimana raut wajah Willy sekarang ini.
Willy melajukan mobilnya dengan sangat cepat, membuatku merasa agak takut. Tapi aku tidak menegurnya atau bahkan bereaksi apa pun, aku masih tetap terdiam sampai kami tiba di rumah.
Sesampainya di depan rumah, Willy menghentikan mobilnya dan aku pun secara otomatis keluar dari mobil itu tanpa berucap apa pun.
Aku juga tidak menawari Willy untuk mampir ke rumah seperti biasa, aku kemudian langsung masuk dan sebelum aku sempat membuka pintu, aku sudah mendengar deru mobil Willy telah meninggalkan rumahku.
"Maaf," kata-kata itu kudengar ketika aku mulai menaiki tangga.
Kutengok ke arah sumber suara, ternyata di sana sudah ada Prima yang entah sejak kapan berdiri di belakangku.
Aku menatapnya sejenak dan dia pun juga melakukan hal yang sama, tapi kemudian aku mengacuhkannya dan kembali menaiki tangga.
Setelah hampir dua langkah aku berjalan, aku merasa jika tanganku di tarik dari belakang. Aku berusaha tidak menghiraukannya tetapi tarikan itu terasa semakin kuat dan membuatku terpaksa berhenti.
"Kita harus bicara, aku mohon," ucap Prima memelas
"Pulanglah, aku sedang ingin sendiri," Aku masih mengacuhkannya dan berusaha menaiki tangga
"Aku mohon, aku tahu aku salah," Prima masih terus menggenggam tanganku
"Tunggu aku di taman belakang!" perintahku kemudian melepaskan genggaman tangan Prima dan beranjak ke kamar untuk berganti baju.
Prima pun mengiyakan ucapanku, kemudian ia juga bergegas pergi ke tempat yang aku maksud.
Aku dan Prima kini tengah berada di halaman belakang rumahku. Taman belakang yang malam ini terlihat begitu teduh karena beberapa hari yang lalu aku mengganti lampunya dengan lampu yang berwarna redup.
Halaman ini penuh dengan bunga dan juga berbagai tanaman hias, aku sengaja membuat halaman belakang rumahku ini menjadi sebuah taman kecil karena aku sangat menyukai tanaman sejak kecil.
Aku menyukai hal itu karena sebuah alasan, yang tidak lain adalah untuk mengisi hari-hariku yang selalu sendiri karena kedua orang tuaku selalu mementingkan pekerjaannya dan selalu mengesampingkan diriku.
Ya walaupun selama ini aku ditemani oleh banyak ART tapi aku masih merasa sangat kesepian dan melampiaskan rasa kesepianku itu dengan membuat taman kecil di belakang rumahku.
"Aku salah, bahkan sangat salah. Aku mohon padamu maafkan aku," pinta Prima dengan raut wajah yang memelas, matanya memerah dan juga berair. Dia duduk di depanku sembari menggenggam erat tanganku
"Kamu tidak hanya salah, tapi kamu juga jahat," ucapku sembari menundukkan kepala
"Iya aku tahu, aku memang sangat jahat. Aku pada awalnya tidak mau terlibat ke dalam permasalahan kalian tapi karena Willy terus memintaku jadi ya terpaksa aku melakukannya." jelas Prima padaku dengan nada yang lembut.
"Maafkan kami Prim, kami melibatkanmu dalam masalah ini. Aku dan Willy memang belum mampu menyelesaikan masalah kami sendiri," ucapku lesu
"Lihat aku" kata Prima membujukku untuk tidak menundukkan kepala,
"Tersenyumlah" lanjutnya lagi
Aku kemudian menatapnya dan langsung tersenyum meski hanya sekilas, memberikan rasa lega tersendiri kepada Prima.
Entah kenapa aku bisa menuruti semua kata-katanya, aku merasa seperti terhipnotis saat Prima menatapku dan berkata selembut ini kepadaku.
"Apa sekarang kamu sudah memaafkan aku?"
"Sepertinya sudah, aku rasa aku tidak bisa marah terlalu lama padamu,"
"Terima kasih, meskipun aku tidak bisa memilikimu tapi setidaknya aku masih bisa memiliki senyummu," ucap Prima begitu lembut, menghembuskan udara yang berbeda di dalam pikiranku.
"Semua belum terlambat Prim, masih ada waktu," kataku membuatnya melongo
"Maksud kamu apa, jangan berpikir yang tidak-tidak, aku tidak ingin ada yang terluka"
"Aku merasa ragu dengan Willy, aku tidak tahu kenapa aku bisa berpikir seperti ini. Aku merasa jika selama ini hanya dianggap sebagai hal sampingan bagi Willy karena yang paling penting baginya hanya bekerja dan bekerja." Aku mencoba menjelaskan semuanya pada Prima tentang apa yang aku rasakan sekarang.
"Itu hanya perasaanmu saja, Willy mencintaimu dan kamu juga mencintainya bukan, kalian sudah melangkah sejauh ini dan ini semua bukan lelucon!" ucap Prima tegas
"Cinta ... semua orang bisa mengatakan cinta kapan pun dan pada siapa pun Prim, tapi mereka belum tentu mampu mengerti apa maksud dari kata yang mereka ucapkan.
Selama ini aku sudah cukup bersabar menghadapi sikap Willy yang gila akan pekerjaan, menghapus egoku sendiri demi apa yang dia anggap itu penting, dan apa kamu tahu Prim, jika selama aku berpacaran dengannya dan kini hampir menikah dengannya, aku sama sekali belum pernah pergi berdua menghabiskan waktu seperti pasangan-pasangan yang lain.
Dan setiap kali kami pergi bersama, kami pun harus berhenti di tengah jalan hanya karena panggilan yang mendesak tentang pekerjaannya." Aku mencoba mengeluarkan apa yang ada di dalam hatiku dengan nada yang sedikit tinggi dan juga serak karena aku hampir menangis
"Apa kamu sudah berbicara dengannya soal ini?"
"Sudah Prim, aku sudah membicarakan semuanya dengan dia, bukan hanya sekali tapi berpuluh-puluh kali tapi yang dia katakan selalu sama, jika yang ia lakukan sekarang adalah untuk masa depan kami nanti dan aku diminta untuk mengerti. Tapi sampai kapan Prim, sampai kapan ini semua akan seperti ini, toh nanti jika kita sudah menikah dan memiliki anak, mungkin dia akan lebih gila terhadap pekerjaannya lebih dari sekarang ini."
"Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
"Aku ingin mengundur pernikahan kami, sampai batas waktu yang belum bisa aku tentukan. Jika Willy bisa berubah maka aku pun akan menikah tapi jika Willy tidak bisa berubah, ya mau bagaimana lagi aku akan putuskan semuanya."
"Jangan gila kamu, bagaimana dengan orang tuamu, mereka pasti akan sangat kecewa, bukan?"
"Untuk apa mereka kecewa, mereka sama halnya dengan Willy, gila terhadap pekerjaannya dan tidak pernah menghiraukanku. Mereka tidak berhak kecewa karena sebenarnya yang di kecewakan adalah aku, Prim" Aku mulai terisak dan menangis,
"Sudah, sudah jangan menangis" bujuk Prima kemudian memeluk tubuhku
Aku merasakan sedikit ketenangan ketika tubuh Prima mendekapku dan tangannya mengelus punggungku.
Entah kenapa aku bisa merasakan nyaman seperti ini, padahal selama ini di antara kami tidak ada hubungan apa pun.
Sikap lembut dan juga dewasa yang Prima tunjukkan padaku membuatku merasakan bahwa aku dihargai dan juga dilindungi.
"Sudah cukup menangisnya, lihat kaosku penuh sama iler kamu" Prima mencoba menghiburku dengan kata-kata konyolnya yang selalu berhasil membuatku tertawa
Aku melepaskan pelukannya, kulihat ke arah kaos nya di sana tidak ada bekas apa pun seperti apa yang dikatakan oleh Prima.
Prima pun segera tertawa karena telah berhasil menipuku.
"Masuklah dan istirahatlah, ini sudah malam aku akan pulang" lanjut Prima
"Terima kasih ya Prim, hati-hati di jalan"
"Iya, I love you " Kemudian Prima berlalu meninggalkan aku yang masih mematung karena terkejut dengan sikap yang ditunjukkan oleh Prima.
Hampir beberapa detik aku masih mematung, memegangi dadaku yang masih bergemuruh karena kata-kata yang diucapkan oleh Prima
"Perasaan apa ini, apa yang salah denganku?" ucapku kemudian berlari kembali masuk ke dalam rumah..
.
.
.
.
.
.
_________________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments