Aku berada di dalam mobil yang membawaku pulang dari rumah Willy, sepanjang perjalanan aku hanya terdiam masih memikirkan kejadian yang terjadi di sana. Ada rasa marah, gelisah dan juga senang. Semua berbaur menjadi satu dan saling berebut tempat untuk mendominasi keadaan
Aku merasakan keanehan dan kejadian yang menurutku janggal, entah kenapa aku merasa Willy tahu kejadian yang sebenarnya tapi ia membiarkannya dan bersikap sangat cuek. Dia malah dengan sengaja menunjukkan sikap romantisnya di depan mereka semua.
Mungkin dia sangat mencintaiku dan mempercayaiku atau entah memang dia ingin mempermainkan hatiku, entah apa pun itu aku malah merasa ada sedikit keraguan tentang hubunganku dengan Willy dan merasakan keyakinan akan Prima.
Ya Tuhan apa yang sebenarnya terjadi denganku, aku tidak pernah mengerti semua ini.
Aku telah sampai di halaman rumahku yang sepi, aku melirik jam di ponselku yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, aku kemudian turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah.
Kubuka pintu rumahku yang terkunci secara perlahan karena tidak ingin mengganggu ART dan sopir yang mungkin sudah terlelap karena lelah seharian bekerja.
Belum sampai di bawah tangga menuju ke kamarku, aku mendengar deru kendaraan bermotor masuk ke dalam halaman rumahku, aku penasaran siapakah orang yang datang larut malam seperti ini
Jujur dalam hati, aku menginginkan Willy datang menemuiku dan meminta maaf karena tidak bisa mengantarkan aku pulang. Dengan langkah yang tergesa-gesa aku berbalik arah dan keluar dari rumah untuk melihat siapa yang datang.
Aku sedikit kecewa saat melihat siapa yang datang, bukan Willy kekasihku melainkan Prima si pria konyol yang datang sambil membawa beberapa tangkai bunga mawar merah kesukaanku. Entah dari mana ia memetik bunga itu, bukankah tadi saat aku pulang Prima masih berada di rumah William tapi kenapa sekarang Prima sudah sampai di sini dan membawa bunga. Ah entah, Prima memang laki-laki ajaib yang tidak pernah bisa ditebak.
"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Prima sambil berjalan ke arahku
"Tidak." Hanya kata itu yang kuucapkan
"Tidak, memangnya tadi aku bertanya apa, kok tiba-tiba jawabannya tidak?" Ucap Prima saat sampai di depanku sambil tersenyum manis.
"Apa kamu tidak suka aku datang, apa kamu berharap yang datang itu William?" Tanya Prima padaku seakan tahu isi pikiranku.
"Iya, aku memang berharap Willy yang datang tapi ternyata bukan!" Jawabku agak ketus karena merasa sedikit kecewa
"Dia tidak mungkin datang malam-malam begini, lagi pula pekerjaan itu lebih penting daripada kamu" Ucapnya lagi sambil memberikan bunga mawar merah yang ia bawa
"Untukku?" Tanyaku saat bunga mawar itu tepat di depan mataku,
"Bukan, bunga ini untuk Mbak Sumi yang selalu membuatkan aku teh lemon saat datang kemari "
"Berikan saja sendiri jika ini untuk Sumi, sudah pulang sana aku lelah aku mau tidur" Ucapku sambil berbalik arah menghadap pintu masuk
"Tunggu, jangan marah padaku" Ucap Prima sambil meraih pergelangan tanganku dan kemudian memberikan bunga mawar itu
"Hatiku sudah cukup sakit dengan yang tadi, apa kamu akan menambah sakit lagi, dan apa kamu tahu aku harus tetap bertahan di antara goresan sakit itu demi kamu.
Seperti bom yang meledak di antara tabung gas menghancurkan semua yang ada di sekitarnya, kata-kata Prima membuat hatiku tidak menentu entah harus marah, menangis, atau bahkan berteriak. Sebenarnya aku juga merasakan hal sama saat itu tapi aku berusaha untuk menutupinya agar mereka semua tidak menaruh curiga terhadap sikapku
Aku berbalik arah menghadap Prima yang tak pernah aku duga sebelumnya. Dia menangis tepat di depan mataku sambil tersenyum manis. Entah apa arti dari sikapnya yang membuatku semakin merasa hancur. Aku seolah ikut merasakan apa yang sedang ia alami sekarang
Matanya menangis, tapi bibirnya tersenyum masih dengan menggenggam erat pergelangan tanganku
"ini untukmu, bukan untuk Mbak Sumi, terimalah" Ucap Prima sambil memberikan bunga itu dan aku pun menerimanya. Ada rasa haru tersendiri yang menyelimuti hatiku . Andai saja William bisa seromantis dan sepeduli ini padaku pasti aku akan sangat bahagia, tapi nyatanya tidak, Willy bukan laki-laki yang romantis seperti Prima. Dia laki-laki yang begitu dingin yang sangat terobsesi dengan namanya pekerjaan.
"Terima kasih, jangan pernah menangis di depanku, aku tidak suka laki-laki yang cengeng" Ucapku sambil menerima pemberian Prima dan Prima pun kemudian tersenyum
"Siapa yang kamu maksud cengeng?" Tanya Prima sambil terus menatapku
"Memangnya siapa lagi yang ada di sini? "
"Aku?"
"iyalah, siapa lagi!" Jawabku singkat
"Aku tidak cengeng, aku hanya lelah berdiri karena sang pemilik rumah tidak punya kursi untuk tamunya"
"Alasan, memangnya hubungannya apa lelah berdiri dan menangis?" Tanyaku pada Prima lagi
"Hubungannya rumit jika dijelaskan bisa sampai subuh, jadi lebih baik sekarang persilakan aku duduk dan buatkan aku teh lemon seperti Mbak Sumi!" Perintah Prima padaku
"Silakan duduk di sini Tuan Prima, dan maaf ya aku tidak akan membuatkanmu teh lemon seperti Mbak Sumi karena aku bukan Dia!" Jawabku lalu pergi dari hadapan Prima yang tertawa cekikikan mendengar jawabanku
"Dasar gadis aneh" Ucap Prima saat aku masuk ke dalam rumah
Selang beberapa menit kemudian aku telah berganti pakaian dan keluar menemui Prima yang masih setia menungguku di teras depan rumah, aku sengaja tidak menyuruhnya masuk karena ini sudah bukan waktunya lagi menerima tamu dan dengan sangat terpaksa aku menyuruhnya duduk di kursi teras yang biasanya di pakai para Sopir dan juga Satpam rumah.
"Ini teh lemonnya, tapi ini bukan buatan Mbak Sumi!" Kataku sambil meletakkan 'segelas teh lemon dingin kesukaan Prima
"Terima kasih, aku akan meminumnya apakah rasanya enak seperti buatan Mbak Sumi atau tidak" Ucap Prima sambil mengangkat gelas yang penuh dengan es batu dan teh lemon itu
Aku tidak menjawab kata-katanya, aku hanya meliriknya sekilas dan tetap terdiam
"Rasanya ... " Prima tidak meneruskan ucapannya lalu menoleh ke arahku
"Tidak enak ya, maaf aku bukan Mbak Sumi yang bisa membuat teh lemon enak untukmu" Ucapku sedikit lesu
"Siapa bilang tidak enak? aku tidak bilang begitu!" Prima meletakkan gelasnya kembali
"Lalu?" Tanyaku
"Lalu apa?" Jawab Prima bingung
"Lalu bagaimana rasanya teh lemon buatanku?"
"Enak!" Jawab Prima singkat
"Enak? hanya itu?" Tanyaku lagi
"Iya Enak, lalu aku harus menjawab apa?"
"Baiklah, anggap saja kamu menyukainya!" Jawabku agak ketus
"Memang aku menyukainya, lalu kenapa wajahmu seperti itu? apa kamu tidak percaya padaku?"
"Percaya, aku sangat percaya padamu!" Ucapku masih dengan wajah masam dan mengacuhkannya
"Baiklah, baiklah aku akan jujur padamu tentang teh lemon ini. Aku menyukainya bahkan sangat menyukainya dan rasanya enak, sangat enak karena dibuat oleh orang yang sangat spesial dengan cinta di setiap balok esnya, bukankah aku benar?" Ucap Prima meyakinkan ku dengan senjata gombalnya
"Iya-iya aku percaya, tidak perlu berkata semanis itu lama-lama aku kena diabetes karena gombalanmu" Ucap ku sambil tersenyum ke arah Prima
"Nah, tersenyum begitu kan lebih cantik daripada cemberut enggak jelas kayak tadi"
"Terima kasih" Ucapku masih dengan tersenyum
"Jangan lama-lama kalau senyum nanti gigimu bisa kering!" Ledek Prima
"Marah salah, senyum salah terus aku harus gimana?" Aku berpura-pura kesal dengan menyilangkan kedua tanganku di dada
"Kamu mau tahu kamu harus bagaimana?" Tanya Prima sambil menghadap ke arahku, sorot matanya yang tajam dan juga ucapannya yang lembut membuatku sejenak mengesampingkan Willy dan lebih suka memperhatikannya
"Iya!" Jawabku antusias
"Yang harus kamu lakukan cuma satu, tetaplah menjadi dirimu yang ceria dan sabar karena aku yakin kamu pasti bisa melewati semuanya!"
"Maksudnya apa sih? kita tadi ngomong apa coba? kok jawabannya apa?" Tanya ku agak bingung
"Enggak tahu!" Jawab Prima seenaknya
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
**stay di cerita author ya para reader semua, jangan lupa untuk vote like dan komen nya
matur nuwun 🤩🤩🤩🤩
alfarahmawati**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments