Malam ini masih sama seperti malam-malam yang kemarin, hanya ada aku dan Mbak Sumi yang ada di dalam rumah ini.
Kedua orang tuaku masih sibuk dengan urusan mereka, bahkan saking sibuknya sampai saat ini mereka tidak mengabariku sama sekali.
Aku merasa seperti menjadi yatim piatu yang selalu merindukan kasih sayang orang tua. Memang, semua yang aku inginkan pasti terkabul tapi tidak dengan kasih sayang dari kedua orang tuaku.
Sulit memang menjalani hidup seperti ini, tapi apa daya bagiku ini semua sudah mendarah daging dan menjadi hal mutlak dan tidak bisa diubah.
Aku kini duduk di teras rumah, ditemani oleh semilirnya angin yang selalu membuatku merinding karena diiringi oleh hujan rintik-rintik
Sembari menatap layar ponselku, melihat semua notifikasi dari media sosial milikku, aku terus saja terfokus ke sana membaca semua komentar dari para komentator yang aku pikir mereka itu sok tahu tentang hidupku.
Mereka mengomentari semua yang ada pada foto-foto yang kali ini aku kirim. Beberapa fotoku saat bersama dengan Willy beberapa waktu yang lalu, mereka semua berkata jika mereka sangat iri dengan kehidupan yang aku jalani.
Mereka iri dengan kekayaan, kecantikan dan juga kehidupan pribadiku.
Itu semua membuatku sangat muak, mereka tidak tahu betapa kesepiannya diriku, betapa rapuhnya diriku dan betapa tidak berharganya diriku, mereka melihat semua itu hanya dari luarnya saja tapi tidak di dalamnya.
Apa mereka berpikir jika dengan harta kita semua akan bahagia? tidak, itu salah besar. Harta bukan satu satunya alat untuk meraih kebahagiaan. Karena bahagia yang sesungguhnya adalah bagaimana caranya kamu bersyukur dengan apa yang kamu miliki saat ini dan itu tidak melulu berpacu pada harta saja.
Ya memang, banyak harta bisa membuatmu membeli segalanya tapi tidak dengan kebahagiaan.
Atau mungkin karena kecantikanku? itu juga tidak, cantik yang sebenarnya bukan tentang paras dan juga wajah. Cantik itu relatif tergantung bagaimana cara kita memandang kecantikan itu sendiri. Apakah cantik dari hati atau cantik dari apa pun.
Jika saja dengan cantik semua orang bisa bahagia, pasti aku akan menjadi salah satu yang merasa bahagia. Tapi nyatanya tidak, aku masih merasa sama seperti hari-hari kemarin, diabaikan dan juga di nomor dua kan.
Dan terlebih lagi tentang kehidupan pribadiku yang mereka semua pikir aku adalah orang paling beruntung dan juga paling mujur. Itu juga tidak, meskipun kini aku memiliki seorang kekasih atau lebih tepatnya calon suami yang kaya, tampan dan juga berkecukupan, tapi itu semua tidak bisa aku banggakan karena aku hanya nomor sekian setelah pekerjaan dan juga kliennya.
Apa kalian masih bisa menganggap aku orang yang paling bahagia dan juga beruntung setelah tahu itu semua?
Aku yakin pasti kalian semua akan menganggapku sebagai orang yang munafik dan tidak pernah bersyukur, tapi itu semua terserah kalian, kembali pada pemikiran kalian dan juga persepsi kalian masing-masing.
Andai saja aku bisa menjelaskan semua itu pada kalian tentunya kalian juga akan paham. Tapi untuk apa? untuk apa aku harus lelah mengoceh di tempat umum? untuk mendapat simpati? atau pujian? tidak .... Aku hanya akan mendapat cacian yang mengerikan karena itu semua.
Aku lebih baik menyimpan semuanya sendiri, sampai waktu akan menjelaskan bagaimana dan kemana aku akan di arahkan.
"Berkediplah, nanti bola matamu keluar!" Suara seorang laki-laki mengejutkanku dan membuatku menghentikan aktivitasku. Aku kemudian beralih menatapnya yang masih tersenyum manis seperti biasanya.
"Ka-kamu sejak kapan ada di sini?" Tanyaku sedikit gagap karena tidak menyadari kehadirannya
"Sejak zaman purbakala!" Jawabnya sembari duduk di sebuah kursi yang berada di sampingku
"Begitu ya" Kataku sambil berdiri dan ikut duduk di sebuah kursi yang letaknya tidak begitu jauh.
"Apa sih yang kamu lihat? serius amat? orang amat enggak serius?" Dia mencoba berkelakar dengan kata-kata konyolnya dan itu berhasil membuatku tertawa meski aku menyembunyikannya
"Apa sih enggak lucu tahu!" Jawabku sambil mengerucutkan bibirku padahal sebenarnya aku ingin tertawa
"Bodo amat!" Katanya singkat
"Memang, amat enggak bodo!" Jawabku dengan singkat juga
"Enggak lucu!""
"Bodo, " Lanjutku sambil menjulurkan lidah
"Jalan yuk" Ajak Prima tiba-tiba
"Ayo!" Ucapku antusias, tanpa berpikir panjang aku pun menyanggupi permintaannya
"Izin dulu sana sama calon suami!" Perintahnya
"Ogah!" Kataku kemudian melangkah masuk ke dalam rumah untuk berganti pakaian
"Makin hari makin aneh ya, benar-benar pasangan langka" Ucapnya saat aku sudah tidak ada di sana
Beberapa menit kemudian aku sudah berganti pakaian, kali ini aku benar-benar akan pergi dengan Prima tanpa minta izin dulu pada Willy. Entah apa yang aku pikirkan sekarang, aku sendiri juga tidak mengerti.
Tapi satu hal yang pasti , malam ini aku ingin melupakan Willy sejenak karena kekecewaan yang tadi pagi aku alami.
"Yuk berangkat!" Aku kini sudah bersiap di depan Prima dengan mengenakan celana bahan dan kaos oblong yang aku rangkap dengan sebuah jaket.
"Sudah izin belum? "
"Sudah kok," Kataku berbohong agar Prima tidak lagi bawel dan terus bertanya.
"Ok, kita berangkat."
Kami pun segera berangkat untuk pergi ke sebuah tempat, yang aku pun tidak tahu di mana tempat itu berada.
Sepanjang perjalanan aku merasa ada yang aneh dengan Prima. Tidak biasanya dia terdiam dan terlihat gugup.
Biasanya dia akan bercanda dengan kata-kata konyolnya dan tentu saja itu semua membuatku terhibur dan melupakan masalahku sejenak.
Aku pun tidak berani bertanya karena tidak mau mengganggu konsentrasinya dalam mengendarai motornya.
Setelah hampir sepuluh menit kami berjalan, akhirnya kami tiba di sebuah tempat yang aneh menurutku. Karena yang aku tahu Prima tidak pernah menyukai tempat yang saat ini kami datangi.
Kami tiba di sebuah kafe yang lumayan sepi, ya walaupun enggak sepi-sepi amat sih, tapi di dalam kafe itu hanya ada beberapa orang yang saling duduk berdampingan dan di hibur oleh alunan musik klasik yang menurutku bukan musik kesukaan Prima.
Ada banyak pertanyaan yang terus berputar di otakku, tapi aku takut untuk menanyakannya pada Prima. Karena sedari tadi ia sama sekali tidak mengajakku berbicara.
Aku hanya mengekor di belakang tubuhnya, kemana pun ia melangkah aku pun juga mengikutinya. Sampai kami tiba di sebuah meja yang sudah penuh dengan makanan kesukaanku.
Aku pun duduk di sana, kemudian kutatap Prima sejenak dan dia pun membalas tatapanku dengan raut wajah yang tak bisa aku tebak.
"Maaf ya," Ucapnya tiba-tiba
"Maaf untuk apa? kamu tidak berbuat salah kok!" Jawabku sedikit bingung
"Iya aku tahu, tunggulah di sini aku mau ke kamar kecil sebentar." Kemudian ia meninggalkanku sendiri duduk di meja itu
Setelah hampir lima menit aku menunggu, Prima tak kunjung datang menemuiku.
Aku sedikit panik karena saat ini aku tidak membawa ponsel dan tidak bisa menghubunginya. Aku berinisiatif untuk menyusul Prima ke kamar mandi, sampai pada akhirnya tanganku di tarik oleh seseorang dari belakang.
"Jangan pergi!" Kata orang itu mengejutkanku.
Aku pun sontak menoleh ke arah sumber suara dan hal yang tak pernah aku duga kini tengah terjadi di depan mataku.
"Kamu!" Kataku mencoba melepaskan genggaman tangannya, tapi aku tidak berhasil karena aku kalah kuat dengan dia.
"Duduklah, kita harus bicara!" Perintahnya kemudian aku pun menurut.
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa vote like dan juga komen
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments