Alenna dan Rangga terkaget-kaget dengan suara melengking Bu Anis. Tanpa sengaja Alenna sampai menggigit bibir bawah Rangga, hingga membuatnya sedikit berdarah.
"Aw!" desis Rangga.
"Duh, maaf Mas!"
"Ranggaaaa!" teriak Bu Anis sekali lagi.
Teriakan kedua ini langsung membuat Alenna dan Rangga tergopoh-gopoh. Rangga lekas berdiri, padahal Alenna masih duduk di pangkuannya. Tak bisa dielak lagi Alenna hampir saja jatuh kalau Rangga tak sigap memegangi pinggang ramping Alenna. Lebih parah, Alenna dan Rangga kini semakin dekat saja. Keduanya bahkan kembali saling tatap karena kagetnya.
Bu Anis tak lagi meneriaki sang putra. Sapu ijuk lekas didaratkan ke pantat Rangga.
"Tidak sopan sama wanita!" seru Bu Anis sambil terus mendaratkan sapu ijuk di genggaman tangannya.
"Aduh, Bu! Ampun!" Rangga mencoba menghindar, tapi Bu Anis terus mengejar.
"Mau bilang apa lagi kau, hm? Belum sah udah main cium anak orang!" Sapu ijuk kembali didaratkan.
Rangga terus berlari hingga ke galangan sawah dengan Bu Anis yang terus mengejar. Sapu ijuk terus saja didaratkan. Hingga kemudian Rangga terpeleset dan jatuh ke lumpur sawah.
"Mas Rangga!" Alenna berteriak kaget.
Alenna melepas wedges dari kedua kakinya, lantas berlarian menghampiri Rangga.
"Bu, Maafin Alenna. Mas Rangga nggak salah, Bu. Alenna yang nyium duluan," aku Alenna sambil memegangi sapu ijuk agar tak lagi didaratkan di pantat Rangga.
Wajah Bu Anis berubah saat Alenna mengajaknya bicara. Lebih kalem dari sebelumnya.
"Aduh, calon mantuku cantik betul. Sini-sini, Nak. Biar ibu peluk!"
Bu Anis memeluk Alenna dengan erat. Alenna yang bingung pun tetap membalas pelukan itu. Alenna sempatkan pula melihat ke arah Rangga yang geleng-geleng kepala sambil membersihkan lumpur sawah dari wajahnya.
"Sudah pasti Rangga yang nyosor duluan. Sudah, yuk! Kita masuk!" Bu Anis mengajak Alenna masuk ke dalam rumah. "Rangga! Cepat mandi lalu buatkan minum untuk calon mantuku!" perintah Bu Anis.
Rangga tersenyum lantas mengiyakan dengan lirih perintah sang ibu. Rangga mengira ibunya akan marah pada Alenna. Ternyata, justru dialah yang terkena dampak amarahnya.
***
"Ini beneran Alenna, calon mantu ibu?" Bu Anis terus menggenggam tangan Alenna sejak duduk di sofa ruang tamu.
"Iya," jawab Alenna, terus tersenyum canggung.
Berulang kali Alenna memperhatikan ke arah dalam rumah, berharap Rangga segera hadir di tengah-tengah mereka.
"Ini minumannya, Bu!" Rangga datang membawa nampan berisi secangkir teh. Tubuhnya masih dipenuhi lumpur yang sudah mulai mengering.
"Silakan diminum!" Rangga mempersilakan Alenna dengan senyum manisnya.
Yah, bisa dibayangkan deh jika minuman buatan Rangga itu tanpa gula. Bagi Alenna tetap saja akan manis rasanya.
"Rangga, kenapa belum mandi?" tanya Bu Anis yang masih geram mengingat kelakuan di teras belakang.
"Ya belum, Bu. Buatin minum dulu buat calon istri. Kuatir nanti kehausan nunggu Rangga mandi," celetuk Rangga.
Alenna menahan tawanya. Sementara Bu Anis lekas mendorong sang putra agar lekas masuk ke dalam dan membersihkan dirinya.
Di saat yang sama, si kembar Ardi Ardan baru pulang dari sekolah.
"Alhamdulillaah sudah pulang. Sana, salim dulu sama calon istri kakakmu!" perintah Bu Anis.
"Beneran ini calon kakaknya Ardi sama Ardan, Bu?" tanya Ardi dengan polosnya.
"Iya. Sana kenalan dulu!" sahut Rangga yang langsung dapat jeweran di kuping dari sang ibu. Bu Anis masih geram saja padanya.
Ardi dan Ardan lekas duduk dan mengakrabkan diri dengan Alenna. Sementara Bu Anis langsung mengekori Rangga hingga sampai di dapur.
"Aduh!" Bu Anis mendaratkan penebah ke pantat sang putra.
"Istighfar yang banyak kamu, Le. Tadi itu dosa. Berdua-duaan saja dosa, apalagi sampai nyosor nyium anak orang!" tegas Bu Anis. Kali ini amarahnya tersalurkan dengan benar. Menyuruh Rangga untuk banyak beristighfar.
Rangga tidak berani membantah ibunya. Dia sadar telah salah.
"Rangga khilaf tadi, Bu." Rangga sama sekali tidak mengkambing hitamkan Alenna yang lebih dulu memulai ciuman mereka. Rangga pun merasa dirinya bersalah karena tidak mampu menahan godaan yang ada.
Bu Anis menghela nafas dalam. Dia lekas menyuruh Rangga mandi. Begitu memastikan sang putra masuk kamar mandi, Bu Anis bergegas menghubungi calon besannya. Bu Anis menceritakan pada Mommy Monika apa yang terjadi pada Alenna dan Rangga.
"Bu, saya izin telepon suami saya sebentar. Setelah ini saya akan telepon lagi," terang Mommy Monika via telepon.
"Inggih. Siap!" sahut Bu Anis.
Sembari menunggu Mommy Monika menelepon lagi, Bu Anis menyiapkan sedikit makanan untuk disantap calon menantunya. Tak lama setelah itu, dering telepon kembali terdengar. Tertera nama Mommy Monika di layar. Bu Anis dengan cepat menerima panggilan itu.
"Bu, saya dan suami saya sudah memutuskan. Tapi, ini jika ibu setuju." Mommy Monika memulai obrolannya.
"Setuju apa ini?" Bu Anis ingin segera tahu.
"Bagaimana kalau kita nikahkan putra-putri kita besok. Yang penting mereka sah secara agama. Untuk resepsi dan lain-lainnya itu bisa belakangan. Bagaimana?" Nada Mommy Monika terdengar antusias sekali.
Gayung bersambut. Ternyata Bu Anis langsung setuju dengan ide calon besannya itu.
"Alhamdulillaah jika disegerakan. Saya setuju. Biar sebentar lagi saya akan mengabarkan ini pada Alenna dan Rangga," terang Bu Anis.
"Baik-baik. Saya akan segera kembali dari luar kota. Insya Allah sore ini tiba. Sedangkan suami saya juga akan mengambil jadwal penerbangan terdekat, agar bisa mengurus semua. Duh, kok jadi saya ini yang nggak sabar lihat mereka sah. Hihi!" Mommy Monika tampak girang.
"Saya juga. Mereka berdua ini juga pasti senang. Biar nggak mesra terus sebelum halal!" sahut Bu Anis yang tak kalah girangnya.
Usai basa-basi sebentar panggilan pun diakhiri dengan salam dan doa penuh harapan. Kebetulan sekali Rangga baru saja selesai mandi. Sudah terlihat segar dan bersih lagi.
Di saat yang bersamaan, Ardi dan Ardan menggandeng lengan Alenna, membawanya menuju dapur.
"Astaghfirullah! Mas Rangga nggak pakai baju!" seru Alenna yang langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Refleks saja Rangga menutupi bagian dada bidangnya dengan kedua tangan. Rangga celingak-celinguk kebingungan.
"Huuss, sana! Cepetan ke kamar ambil baju bersih. Kamu tuh, bikin Alenna malu!" tegur Bu Anis.
Rangga terbirit-birit menuju kamar. Sejujurnya dia juga malu.
"Sudah-sudah. Ini anak solih ibu mau ngajak kakak kemana, sih?" tanya Bu Anis dengan ramah.
"Mau dibikinin telur dadar, Bu!"
"Telur dadar pakai irisan cabe, Bu!"
Ardi-Ardan kompak menyebut telur dadar. Sementara Alenna hanya cengar-cengir. Sebenarnya dia bingung, tidak tahu telur dadar itu apa. Alenna sok-sokan bilang bisa membuatnya.
"Yasudah. Kalian ajak kakak cantik ke dapur. Ibu ke depan dulu, ya. Tas dagangan sampai lupa belum dimasukkan!" pamit Bu Anis.
Ardi dan Ardan antusias ingin segera mencicipi telur dadar buatan kakak cantik mereka. Mereka sama sekali tidak menyadari kebingungan Alenna. Hingga kemudian, datanglah Rangga menyelamatkan semua.
"Sayang, bingung apa?" bisik Rangga yang ... ah, ternyata berani juga bilang sayang pada Alenna.
Alenna tersenyum. Dadanya berdebar ketika Rangga membisikkan kata sayang.
"Anu, Mas. Telur dadar itu apa, ya?" Alenna pun jujur pada Rangga kalau tidak tahu.
Sejujurnya Rangga ingin tertawa. Namun, dia tahan begitu mengingat bahwa Alenna begitu spesial, dan pastinya sering mendengar telur dadar dalam sebutan lain.
"Ehem. Ardi, Ardan. Mas boleh bantu kakak cantik buatin telur dadar buat kalian nggak?" izin Rangga pada si kembar.
"Gimana, di? Boleh nggak?" Ardan bertanya pada Ardi.
"Bolehlah. Kan kakak cantik akan jadi istrinya Mas Rangga," sahut Ardan.
"Oke, Mas. Boleh."
Rangga girang. Dia tersenyum sambil menyodorkan dua butir telur untuk segera dipecahkan oleh Alenna.
"Sayang, mari kita buat omelet!" bisik Rangga dengan nada ceria.
"Ups. Ternyata omelet. Hihi." Akhirnya Alenna tahu juga.
Berkutatlah Alenna dan Rangga membuat telur dadar dengan irisan cabai. Ardi dan Ardan yang membantu menyiapkan piring makan. Tanpa mereka sadari, Bu Anis menyaksikan semua. Senyumnya mengembang melihat keharmonisan di depan mata.
"Le, ibu merestuimu menikah dengan Alenna. Insya Allah, almarhum bapak juga senang melihat kamu sudah tumbuh dewasa." Batin Bu Anis.
Duduk berlima di meja makan dengan santap siang sudah dilakukan. Ibadah dhuhur juga sudah ditunaikan. Ardi-Ardan disuruh Bu Anis untuk istirahat siang di kamarnya. Sementara Alenna dan Rangga diminta duduk di ruang tamu menemani Bu Anis dengan kudapan kue kucurnya.
"Nak Alenna, gimana rasanya setelah berkunjung ke rumah ibu? Sudah merasa lebih nyaman dan akrab?" tanya Bu Anis.
"Iya, Bu. Alenna senang," jawab Alenna lantas menoleh dan tersenyum ke arah Rangga.
"Ehem. Ini pasti senang karena bisa ketemu Rangga, Bu!" celetuk Rangga.
Satu kue kucur lekas disumpalkan ke mulut Rangga oleh sang ibu. Kode keras agar Rangga bisa lebih menjaga tutur katanya.
Alenna cekikikan, tapi lekas dihentikan.
"Begini, Rangga, Alenna. Barusan ibu sudah berbincang dengan Mommy kamu. Rupanya Mommy kamu langsung mengambil kesepakatan dengan ayahmu. Dan, ibu setuju dengan ide mereka." Bu Anis memulai topiknya.
Alenna masih belum paham.
"Maksudnya? Em, apanya yang sudah disepakati?" tanya Alenna dengan sopan.
"Kalian berdua menikah besok," terang Bu Anis.
"Ha?" Alenna dan Rangga kompak terkaget. Mereka sama-sama tak menduga dengan perubahan jadwal yang begitu mendadak.
Bu Anis lekas menceritakan sedikit banyak apa yang telah disepakati dengan Mommy Monika. Yang penting Rangga lekas memiliki ikatan cinta dengan Alenna. Segera sah secara agama. Resepsi bisa nanti-nanti.
"Rangga, kenapa melongo gitu! Kamu mau apa nggak nikah besok?" tanya Bu Anis dengan tegas.
"Ya mau sekali, Bu!" Rangga antusias sekali menjawabnya. "Ups, hehe. Insya Allah, Rangga bersedia." Begitu sadar, barulah Rangga memperbaiki ekspresinya.
Alenna jangan ditanya. Sudah pasti hatinya girang luar biasa. Inilah yang dia tunggu-tunggu selama ini. Segera sah menjadi istri Rangga.
"Nak Alenna, bersedia?" tanya Bu Anis dengan ramah.
Malu-malu Alenna mengangguk bersedia. Rangga-Alenna, setelah ini akan segera menjalin ikatan cinta. OTEWE SAH.
Alenna pamit pulang begitu jarum menunjuk angka jam dua siang. Rangga membantu Alenna memutar arah mobilnya.
"Sudah. Hati-hati di jalan, ya." Ketulusan terpancar dari bola mata Rangga.
"Mas Rangga, itu ... masih sakit nggak?" Alenna menunjuk bibir Rangga yang terluka akibat tergigit olehnya.
"Sedikit. Ish, jangan dipikirkan. Yang penting besok kita menikah!" Rangga teramat bahagia.
Alenna mengangguk. "Besok kukasih obatnya. Biar nggak sakit lagi," ucap Alenna malu-malu.
Entah apa yang ada di pikiran Rangga. Yang jelas dadanya langsung berdebar mendengar Alenna berkata demikian. Hingga mobil Alenna berlalu dari pandangannya pun, dadanya juga masih berdebar-debar.
"Alhamdulillaah. Besok aku akan menikah," gumam Rangga penuh syukur.
Bersambung ....
Suka? LIKE-nya buat author dong. Tunggu lanjutan ceritanya. Terima kasih sudah mampir dan membaca. 😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Auriell Zeta
Bagus kak❤❤
Maaf baru bisa mampir
Jangan lupa mampir dikaryaku
Aisyah Aqila ya
2020-12-21
1
Cahya
Waaaah....enaknya😝
Itu hukuman yang menyenangkan bagi Alenna dan Rangga 🤣🤣🤣🤣
2020-12-21
1
fieThaa
19 likes akak
2020-12-21
1