Pagi menjelang. Alenna tampak rapi dengan baju kantor dan hiasan hijab sederhana. Senyum manisnya terus menghias wajah kebule-buleannya. Hatinya membuncah bungah, lantaran dirinya akan segera menikah dengan Rangga.
Paman Li menemui Alenna. Seperti biasa, Paman Li akan mengingatkan jadwal-jadwal penting untuk Alenna. Juga, seperti biasa Paman Li juga membawa buket bunga pemberian Vero.
"Duh. Nih anak kok nggak nyerah-nyerah juga, sih. Apa perlu kukasih tau aja kalau aku akan segera nikah sama Mas Rangga," gumam Alenna.
Paman Li tersenyum mendengar gumaman itu.
"Kali ini isi pesannya berbeda, Nona. Tuan Vero ingin Nona Alenna membantu menceramahi ayahnya agar ikut tobat." Tawa kecil lolos dari Paman Li. Membuat Alenna ikut tertawa.
"Gimana ya, Paman. Maunya sih bantuin, tapi Alenna kan juga nggak begitu baik. Masih sering bikin dosa," ungkap Alenna.
"Menasihati yang baik tidak harus lebih dulu menunggu diri sempurna kebaikannya, Non. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Siapa tau justru dari saling menasihati kebaikan itu, Nona semakin tergerak hatinya untuk jauh lebih baik dari sekarang. Saran saya, bantu Tuan Vero sebisanya saja. Tidak perlu dipaksakan," nasihat Paman Li.
"Iyaps. Terima kasih, Paman. Alenna makin bersyukur nih, ayah meminta Paman Li untuk menjaga Alenna di sini. Paman Li orangnya baik. Kebapak-bapakan," celetuk Alenna.
"Saya memang sudah bapak-bapak kok, Non." Paman Li terkekeh.
Tetiba saja Alenna tergelitik untuk tahu lebih tentang kehidupan keluarga Paman Li. Selama ini dia sama sekali tidak pernah menanyakannya. Yang Alenna tahu, istri Paman Li menikah lagi.
"Em, maaf nih. Alenna kepo. Apa Paman Li masih ada keluarga? Setahu Alenna, selama dua tahun terakhir ini Paman Li justru sibuk menjadi tangan kanan ayah. Ikut pergi ke mana-mana juga."
"Saya memiliki seorang putra yang usianya sama seperti Nona Alenna. Dia di Surabaya. Karena percepatan sekolah beberapa kali, sekarang ini dia sudah lulus kuliah," terang Paman Li.
Hati Paman Li penuh haru saat menceritakan tentang putranya. Sejujurnya Paman Li rindu padanya. Sudah lama sekali Paman Li tidak mengunjungi sang putra yang sejak beberapa tahun silam dititipkannya dengan sang ibu di Surabaya.
Alenna perhatian. Diambilnya selembar tisu untuk Paman Li yang sudah Alenna anggap seperti paman sendiri.
"Paman Li kalau mau nangis nggak apa-apa kok. Nggak pernah ada larangan orangtua untuk menangis. Alenna yakin, tangis Paman Li pastilah tangis haru. Em, okey. Sudah Alenna putuskan. Besok, Paman Li harus terbang ke Surabaya nengokin anak Paman Li dan keluarga," tegas Alenna.
Paman Li terkejut dengan keputusan sepihak yang ditetapkan Alenna.
"Tapi, Non. Saya tidak bisa meninggalkan ...."
"Sudah. Diiyakan saja, Paman. Ini kesempatan untuk mengeratkan kembali hubungan keluarga Paman Li. And than, Paman Li tidak boleh pulang sampai empat hari ke depan!" tegas Alenna lagi.
Paman Li kembali mencoba menawar keputusan Alenna. Walau bagaimana pun juga, Paman Li punya tanggung jawab untuk membantu dan menjaga Alenna selama di Jakarta. Meninggalkan Alenna untuk bertemu keluarganya tentu membuatnya khawatir. Akan tetapi, meski sudah ditawar beberapa kali pun keputusan Alenna sudah bulat.
"Baiklah. Saya akan terbang ke Surabaya besok pagi. Hari ini akan saya bantu menyiapkan semua berkas yang Nona butuhkan selama saya tinggal," terang Paman Li yang akhirnya mengalah juga.
"Siiippo. Alenna seneng jadinya. Bawain Alenna oleh-oleh, ya Paman. Hehe."
"Insya Allah akan saya bawakan," sahut Paman Li diiringi tawa ringan.
Begitu Paman Li hendak pamit ke ruangannya, Alenna kembali mencegah. Tetiba saja Alenna ingin memberi tawaran lebih.
"Kalau putra Paman Li belum mendapat pekerjaan, lekas bilang Alenna ya. Putra Paman Li bisa mencoba mengikuti seleksi di perusahaan ini," terang Alenna seraya tersenyum.
"Alhamdulillaah. Nona Alenna sungguh berhati baik. Insya Allah akan saya kabari lebih lanjut." Paman Li penuh syukur.
Riang gembira. Begitulah suasana hati Alenna. Sesuai saran Paman Li, Alenna akan membantu Vero sebisanya saja. Lagipula, Alenna harus fokus mempersiapkan pernikahannya dengan Rangga.
Usai obrolan dengan Paman Li pagi itu pun, Alenna dikirimi pesan singkat oleh Mommy Monika. Menjelaskan bahwa John kembali ada perjalanan bisnis dan akan kembali menengoknya di Jakarta. Yang membuat Alenna bahagia, Mommy Monika berpesan bahwa sang ayah akan membahas rencana pernikahannya dengan Rangga.
"Assalamu'alaikum Alenna Cantik!" salam Ranti.
Mendengar suara Ranti membuat Alenna lekas meletakkan smartphone, meninggalkan tumpukan berkas, lantas berlarian untuk memeluk sahabatnya itu.
"Wa'alaikumsalam, Ran. I'm so happy!" Alenna memeluk Ranti erat.
"Uwwwo! Cap cus deh. Langsung bagi kabar baiknya!" perintah Ranti sembari melepas pelukan Alenna.
Satu cerita panjang lekas berderet layaknya gerbong kereta api. Rangkaian cerita disampaikan Alenna dengan antusias tinggi.
"Selamat, ya Len. Akhirnya doa lu terkabul juga. Terus-terus? Kapan kalian nikahnya?" Ranti ikutan antusias usai mendengar cerita Alenna.
"Bulan depan. Ayah mau ke sini untuk membahas ini lebih lanjut. Soalnya aku masih nggak dibolehin pulang, nih." Alenna mencebik.
"Gue setuju lu nggak pulang dulu. Ntar kalau pulang malah lebih sering ketemu Mas Ranggamu sebelum sah. Kuatirnya lu malah berbuat macam-macam lagi hayooo!" bidik Ranti.
Alenna cengar-cengir. Seketika dia tersadar. Salah satu alasan dirinya tidak boleh segera pulang bisa jadi karenaa itu. Walau bagaimana pun Alenna punya catatan perilaku buruk terhadap Rangga.
"He'em, deh. Aku nurut aja. Lagipula Mas Rangga juga udah pesan agar aku sabar. Biar tindakan kami tidak menjurus ke arah pacaran sebelum halal," terang Alenna.
"Heeeem. Calon suami lu mateng juga, ya. Yang model begitu antik, Len!" puji Ranti.
"Ah, kamu bisa aja, Ran. Ayoo, sekarang giliran kamu yang cerita. Gimana kemarin ketemuannya sama Juno?"
Deg!
Debar dalam dada Ranti seketika tak karuan. Sejujurnya Ranti tidak mau membahasnya. Namun, Ranti juga tidak mampu untuk memendamnya.
"Ranti, kok diem sih!" tegur Alenna.
"Em, itu .... Kamu nggak ada jadwal meeting hari ini? Atau dokumen yang harus diperiksa?" Ranti mencari-cari celah agar Alenna kembali fokus pada lainnya.
Alenna geleng-geleng kepala. Detik berikutnya Alenna bahkan menyediakan dua gelas minuman dingin. Satu untuknya. Satu lagi untuk Ranti agar lebih nyaman bercerita.
Ranti masih gelisah. Kegelisahannya semakin kentara. Tentu saja Alenna dapat dengan mudah menangkap suasana hati Ranti.
"Apa terjadi sesuatu kemarin? Apa Juno menyakitimu?" tanya Alenna.
Ranti menelan salivanya. Dirinya yang biasa ceplas-ceplos seketika kehilangan rangkaian kata-katanya.
Amankah jika gue cerita sama lu, Len? Batin Ranti.
"Oke-oke. Fix nih. Kemarin pasti terjadi sesuatu. Meski aku belum kenal kamu lama sampai bertahun-tahun, tapi aku tahu sebagian dirimu, Ran." Alenna mengambil jeda. "Minumlah dulu!" pinta Alenna.
Ranti menurut. Diteguknya air minum yang tadi diberikan Alenna.
Okey. Gue harus cerita. Gue percaya sama lu, Len. Batin Ranti.
Alenna terus memperhatikan sikap Ranti. Kali ini Ranti lebih tenang. Barulah, Alenna kembali mencoba bertanya padanya.
"Aku nggak mau maksa. Saranku, jika ada beban di hatimu, lebih baik dibagi saja." Alenna bertutur lembut, sampai-sampai menyentuh hati Ranti.
Sebulir air mata lolos begitu saja. Ranti tak kuasa membendung air matanya. Alenna sigap mengambil tisu, lantas mengusap pelan bahu Ranti agar lebih tenang.
"Cup-cup. Jangan dipaksa kalau nggak mau cerita, Ran!" cegah Alenna.
"Gue ... ingin cerita, tapi gue takut lu marah!"
"Sst. Apa pun itu, insya Allah aku nggak marah. Nggak apa-apa, cerita aja!" Alenna meyakinkan.
Alenna sabar menunggu Ranti bercerita. Hingga kemudian, Alenna menangkap anggukan kecil darinya.
"Apa kemarin kamu jadi ketemu Juno?" Alenna memutuskan memancingnya dengan tanya.
"I-iya. Jadi," aku Ranti.
"Terus? Apa yang membuatmu sedih seperti ini? Apa Juno menyakitimu?" tanya Alenna lagi, dengan nada lembut.
"Sama sekali tidak. Juno baik. Tapi ...." Kalimat Ranti terjeda.
Kembali Alenna bersabar menanti Ranti bercerita.
"Se-sebenarnya .... gue sama Juno semalam khilaf," ungkap Ranti.
Sungguh Alenna belum memahami maksud Ranti. Khilaf yang dimaksud Ranti bisa saja luas artinya. Alenna tidak ingin mencoba menerkanya.
"Khilaf bagaimana maksudnya?" Alenna sudah terlanjur kepo.
"Kami ... semalam udah bersatu," sambung Ranti.
"Bersatu? Maksudmu sejenis pacaran? Atau berkomitmen menjalin hubungan serius?" Alenna merasa ini sudah berbelit. Alenna butuh kejelasan lebih.
Ranti menggeleng.
"Maksudnya, gue sama Juno sudah melewati menit-menit penyatuan. Bersama-sama mencapai kenikmatan yang ditutup dengan erangan panjang di atas ranjang!" tegas Ranti dengan air mata yang membasahi pipi.
Pyar!
Gelas air minum terlepas dari genggaman Alenna. Ungkapan dosa yang baru saja didengarnya sungguh di luar logikanya. Alenna kaget. Sungguh kaget. Mencoba tidak percaya tapi tak ditemukannya celah dusta dari tatapan Ranti. Detik berikutnya, tangan kanan Alenna melayang dan mendarat tepat di pipi kiri Ranti.
Plak!
Bersambung ....
Suka?? LIKE aja. Nantikan lanjutan ceritanya. Terima kasih sudah mampir dan membaca. 💖💖
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Auriell Zeta
Bagus kak❤❤
Maaf baru bisa mampir
Jangan lupa mampir dikaryaku
Aisyah Aqila ya
2020-12-14
1
💫🦋녹색 이끼🦋💫
like mendarat, semangat
2020-12-14
1
Vi_Lian
Like and semangat
2020-12-12
1