Bab 2

Anjani, calon istri Mario menepati janjinya untuk tutup mulut atas perlakuan mesra Alenna pada Rangga yang terlelap. Beberapa hari berlalu, Anjani sudah melupakan hal itu. Fokusnya teralih untuk mempersiapkan pernikahannya dengan Mario.

Alenna sendiri tidak pernah datang lagi ke ruko sejak aksi sepihaknya. Alenna sibuk bekerja, melakukan relasi dengan rekan bisnis di dalam dan di luar kota.

"Kenapa aku tidak bisa lepas dari bayang-banyang Mas Rangga? Apakah ini cinta atau hanya sebuah nafsu belaka?" gumam Alenna sambil bersandar di bangku meja kerjanya.

"Alenna," panggil Leon seraya langsung membuka pintu ruang kerja Alenna.

Alenna kaget dan langsung memperbaiki posisi duduknya.

"Sudah kubilang ketuk pintu dulu, Leon! Main masuk aja!" protes Alenna.

Leon tidak menanggapi prores Alenna. Dia malah menyodorkan beberapa berkas.

"Periksa ini. Teliti. Cermati. Temukan celah yang memungkinkan perusahaan kita merugi. Aku keluar dulu," kata Leon.

"Pergi lagi? Akhir-akhir ini kamu sering kemana sih?" Alenna tidak habis pikir dengan kebiasaan baru Leon yang sering meninggalkan kantor.

"Ada urusan," jawab Leon singkat.

"Awas saja jika kau berani lagi menggagalkan pernikahan Mario-Anjani!" ancam Alenna.

Leon berhenti. Dia balik badan. Ditatapnya Alenna dengan senyum licik.

"Begitu khawatirnyakah kau dengan pernikahan kakakmu, Alenna? Kau sendiri bahkan bukan adik kandungnya," ledek Leon.

Alenna bungkam saat dikatai seperti itu. Wajah bule Alenna memang spesial. Status dirinya juga spesial. Alenna hanya seorang anak yang terlahir dari hasil perselingkuhan ayah Mario dengan mama bulenya, Mommy Monika.

"Jangan macam-macam! Atau kuadukan perbuatanmu saat itu!" ancam Alenna.

"Ya-ya-ya. Aku sudah tidak tertarik lagi dengan kehidupan keluargamu, Alenna. Aku pergi dulu. Bye!" Leon pergi.

Alenna duduk kembali. Kepalanya penat. Semenjak Leon tahu bahwa Mario-Anjani akan berencana melangsungkan pernikahannya kembali, sejak saat itu Alenna sering ribut dengan Leon. Bukan tanpa alasan, Leon sering mengungkit status dirinya di keluarga Mario. Itu yang membuat Alenna geram.

Alenna keluar dari ruangannya. Tidak bermaksud membuntuti Leon, tapi dia berniat ke ruangan divisi pemasaran. Alenna tidak sengaja melihat Leon menuju lantai sembilan sambil membawa beberapa alat. Padahal, seingat Alenna tidak ada pertemuan apa pun lagi.

Alenna acuh. Dia melanjutkan niatannya untuk mengunjungi divisi pemasaran. Semua anggota divisi di sana menaruh hormat pada Alenna. Mereka segera menyambut baik kedatangan Alenna. Dalam sekejab, Alenna larut dalam diskusi ringan bersama mereka.

"Aku kembali ke ruanganku dulu. Lanjutkan pekerjaan kalian. Lusa, kita akan melakukan rapat terbatas bersama kepala divisi lainnya," terang Alenna pada kepala divisi pemasaran.

"Siap laksanakan, Nona." Kepala divisi membukakan pintu untuk Alenna.

Alenna kembali ke ruangannya. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Alenna baru sadar bahwa dirinya begitu lama ada di ruang divisi pemasaran.

"Oke, masih ada waktu untuk memeriksa berkas dari Leon. Semangat Alenna!" Alenna menyemangati dirinya.

Berkas di meja kini menjadi perhatiannya. Dedikasi Alenna pada pekerjaan sungguh tinggi. Larut dalam pekerjaan sudah membuat hatinya lebih baik.

"Selesai. Wow. Perasaan baru sebentar sudah mau jam empat saja." Alenna melihat jam digital di meja.

Berkas selesai diperiksa. Alenna pergi ke ruangan Leon untuk meletakkan berkas itu. Di ruangan itu tidak ada Leon. Sedari perdebatan kecilnya tadi, Alenna enggan mengunjungi ruangan Leon. Tidak peduli juga Leon sudah kembali atau tidak. Alenna masuk saja ke ruangan itu dan meletakkan berkas yang selesai diperiksa.

"Alhamdulillaah. Beres. Setidaknya aku tidak akan berdebat karena pekerjaan. Cukup masalah pribadi saja." Alenna tampak puas begitu meletakkan berkas di meja Leon.

Tanpa sengaja, pandangan Alenna menangkap benda aneh di dekat tumpukan berkas lainnya. Alenna menajamkan mata untuk mengetahui benda apa itu. Alenna mencoba mengambilnya dan memperhatikannya dari dekat.

"O-obat? Untuk apa Leon menyimpan obat semacam ini? Apa dia berniat menjalin hubungan intim dengan seseorang? Dengan siapa? Leon kan belum menikah?" Alenna bertanya-tanya.

Mendadak hati Alenna tidak enak. Dia menghubung-hubungkan gerak-gerik aneh Leon di ruang pertemuan beserta obat perangsang yang ditemukan di meja kerja.

"Tidak salah lagi. Leon punya niat buruk. Tapi kepada siapa?" Alenna kembali bertanya-bertanya.

Sementara itu di tempat lain, tepatnya di ruang pertemuan, Leon sedang menemui Anjani dan Rangga. Leon berdalih akan membahas kerjasama dengan ruko sepatu milik Mario, tempat Rangga bekerja.

Anjani tidak mau berbelit-belit. Dia ingin Leon segera menjelaskan kerjasama yang dimaksud. Namun, Leon menyuruhnya untuk menunggu sambil meminum teh, sementara Leon mengambil berkasnya di ruangannya.

"Aku minum tehnya," lirih Rangga yang masih tegang sehabis naik lift untuk pertama kalinya.

Rangga meneguk teh bagiannya hingga tandas. Anjani yang saat itu sedang berpuasa pun memberikan teh bagiannya untuk Rangga. Jadilah, Rangga meminum dua cangkir teh sekaligus. Baik Rangga ataupun Anjani sama-sama tidak tahu bahwa teh yang Rangga minum sudah dibubuhi obat perangsang oleh Leon.

Leon begitu lama meninggalkan Anjani dan Rangga. Dia berdiam diri di ruangannya. Menunggu efek samping dari obat perangsang yang sudah dia bubuhkan ke dalam teh.

“Rangga, Anjani. Selamat menikmati kehangatan di dalam sana. Hahaha.” Dasar Leon gila.

Anjani mulai kesal dan bosan menunggu Leon yang begitu lama kembali. Anjani tidak menyadari keanehan yang dirasakan Rangga pada tubuhnya.

Panas. Rangga merasa tubuhnya mulai panas. Seketika hasrat untuk bercinta memuncak. Sekuat mungkin Rangga menahan dirinya. Dia tidak ingin menyentuh Anjani demi mengatasi rasa aneh dalam tubuhnya.

“Aku susul Leon dulu. Mas Rangga tunggu di sini,” tegas Anjani tanpa menengok ke arah Rangga.

Anjani keluar ruangan dengan kesal. Anjani berniat menyusul Leon ke ruangannya. Namun, Anjani tidak tahu di mana ruangannya. Anjani memutuskan untuk bertanya di bagian resepsionis depan. Sesampainya di lantai dasar, Anjani melihat mobil Mario dari kejauhan. Anjani lekas menemui Mario dan menceritakan semua keanehan yang dirasakannya.

Di ruang pertemuan, Rangga gelisah. Dirinya lega Anjani sudah keluar dari ruangan itu. Namun, Rangga sungguh tidak bisa mengontrol dirinya. Keinginan itu sudah memuncak. Tangan kekar Rangga bahkan refleks menggebrak meja.

Di saat yang bersamaan, Alenna mendekat ke ruang pertemuan.

“Mas Rangga,” lirih Alenna begitu melihat Rangga duduk di salah satu kursi.

“Alenna, tolong jangan mendekat!” cegah Rangga yang sudah seperti orang frustasi.

Gerak-gerik Rangga membuat Alenna sadar bahwa Ranggalah yang menjadi korban obat yang diberikan Leon.

“Mas Rangga baik-baik saja?” tanya Alenna memastikan kondisi Rangga.

“Jangan mendekat Alenna!” teriak Rangga. Dia sudah frustasi.

Langkah Alenna terhenti mendengar teriakan itu.

“Panas sekali!” seru Rangga.

Rangga membuka kaos yang dipakainya. Lengan kekarnya terlihat. Dada bidangnya terekspos jelas. Alenna terpana melihat tubuh gagah Rangga.

Rangga melangkah ke pojok ruangan, menjauhi Alenna. Dia membentur-benturkan kepalanya. Berharap dengan benturan keras dirinya bisa tersadar.

“Mas Rangga jangan menyakiti diri! Tenang!” Alenna panik begitu melihat Rangga menyakiti diri sendiri.

“Menjauh Alenna! Aku tidak ingin menyentuhmu!” teriak Rangga.

“Aku tidak bisa melihatmu seperti ini, Mas. Aku akan membantumu menuntaskan rasa yang saat ini kau tahan,” tutur lembut Alenna.

Alenna mendekat. Rangga makin frustasi melihatnya.

"Menjauh, Alenna!" teriak Rangga, tapi Alenna tidak mendengarkannya.

Begitu Alenna sudah di dekat Rangga, lekas direngkuhnya tubuh gagah Rangga yang selama ini memang menggoda dirinya. Tangan Alenna gesit menekan kepala Rangga ke arahnya hingga menyatukan bibir mereka.

"Lepas!" seru Rangga sambil sedikit mendorong Alenna.

"Tidak apa-apa," lirih Alenna sambil melanjutkan aksinya.

Rangga mulai merasakan sensasi lembut pada bibirnya. Rangga yang sudah tidak tahan lagi pun menyambut Alenna. Dibalasnya perlakuan lembut Alenna dengan sedikit kasar. Tidak berlangsung lama, tiba-tiba …

Brak!

Mario datang. Satu pukukan melayang ke titik lemah Rangga. Seketika Rangga pun pingsan. Mario menyuruh dua security unuk membawa Rangga ke rumah sakit. Dua security lain disuruh untuk meringkus Leon.

Alenna tidak terima dengan perlakuan Mario hingga membuat Rangga pingsan. Namun, Mario malah menyalahkan Alenna atas sikap tidak wajarnya pada Rangga.

“Sejauh mana Rangga sudah menyentuhmu?” tanya Mario tegas.

“Mas Rangga tidak bersalah. Leon dalangnya!” Alenna berseru tak kalah tegasnya.

“OK. Aku pastikan mulai besok kau dipindahkerjakan di induk perusahaan ayah. Di Jakarta sana.” Mario memutuskan sepihak.

“Tidak mau!” tolak Alenna.

“Tidak ada penawaran lagi, Alenna. Jauhi Rangga. Jernihkan pikiranmu. Perbaiki sikapmu, terutama ibadahmu!” tegas Mario lagi.

Alenna mematung. Keputusan Mario sudah bulat. Ayahnya pun pasti akan lebih mendengarkan saran Mario. Perlahan air mata Alenna jatuh membasahi pipinya. Anjani yang peka langsung merangkul calon adik iparnya itu.

"Sst. Saranku, turuti saja! Demi kebaikanmu,” tutur lembut Anjani.

“Jika aku ke Jakarta, apa Mas Rangga akan baik-baik saja?” tanya Alenna.

Anjani sungguh tidak paham apa yang sebenarnya dimaksud Alenna. Apa pun itu, Anjani memutuskan hanya mengangguk.

Baiklah. Aku akan pergi ke Jakarta, batin Alenna.

***

Malam hari terasa lebih pekat. Bukan karena suasana malam yang gelap. Semua itu terjadi karena hati Alenna yang tidak karuan rasanya. Alenna mengemasi pakaiannya. Memasukkan dalam koper.

Mommy Monika, ibu Alenna itu datang ke kamar putrinya. Dia telah mendengar semuanya dari Mario. Mommy Monika dan sang suami pun setuju dengan pemikiran dan keputusan Mario.

"Tidak apa-apa, Sayang. Ini demi kebaikanmu. Jernihkan pikiranmu. Mendekat pada-Nya seperti dulu. Satu lagi, minta maaf dulu pada Rangga," saran Mommy Monika.

Alenna tertunduk. Dirinya sungguh malu jika harus bertemu Rangga. Alenna malu atas sikap tak patutnya pada lelaki baik-baik seperti Rangga.

"Apa Mas Rangga sudah di ruko?" tanya Alenna.

"Iya. Ayo Mommy temani kamu ke sana. Biar perasaanmu lebih lega." Mommy Monika keibuan.

Alenna mengangguk. Dia bergegas ganti baju, lalu diantar Mommy Monika ke ruko menemui Rangga.

Ruko begitu sepi. Hanya ada Rangga di sana. Mario masih bersama John mengurus tuntas kasus Leon, sehingga tidak bisa menemani Rangga di ruko.

Alenna sampai di lantai dua ruko. Mommy Monika tidak ikut naik, melainkan hanya menunggu di parkiran. Mommy Monika percaya pada putrinya.

"Mas Rangga," panggil Alenna hati-hati.

Rangga yang saat itu sedang berbaring pun seketika duduk begitu mendengar suara Alenna.

"Alenna. Ada apa?" tanya Rangga tanpa berani melihat Alenna.

Sejujurnya Rangga merasa malu atas kejadian sore tadi. Rangga pikir, seharusnya sore tadi dia bisa lebih menahan diri. Sehingga dirinya tidak sampai membalas perlakuan lembut Alenna padanya.

"Maaf," kata Alenna.

"Maaf untuk apa?" Kali ini Rangga berani menoleh.

"Maaf atas sikapku yang sungguh tidak pantas. Tidak seharusnya aku memberi Mas Rangga obat tidur saat wajah Mas Rangga lebam. Tidak seharusnya aku menciumi bibir Mas Rangga saat kondisi Mas Rangga sedang terlelap. Tidak seharusnya aku merengkuh tubuh Mas Rangga tadi sore, hingga membuat kita ..." Kata-kata Alenna terhenti.

Air mata Alenna menetes. Dia sungguh malu pada dirinya sendiri. Semua kata-katanya barusan terdengar seperti sebuah pengakuan dosa. Alenna menyesal. Sungguh menyesal telah berbuat hal tak pantas pada lelaki baik-baik seperti Rangga.

Hati Rangga luluh. Dia tidak tega melihat Alenna.

"Aku memaafkanmu. Maafkan aku juga, Alenna." Rangga tulus mengatakan itu.

Alenna mengusap air matanya. Dia tersenyum manis lantas mengangguk-angguk.

"Terima kasih, Mas. Malam ini, sekalian aku mau pamit. Mulai besok, aku dipindahkan ke induk perusahaan. Di Jakarta," terang Alenna. Hatinya berusaha tegar.

Rangga tersenyum sekilas. Tidak ada tanggapan lain setelahnya.

Mas Rangga benar-benar tidak punya rasa apa pun padaku, batin Alenna, terasa perih.

"Kalau begitu aku pulang dulu, Mas. Sekali lagi, maaf. Assalamu'alaikum," pamit Alenna.

"Wa'alaikumsalam," jawab Rangga.

Alenna tidak menemui tanda-tanda Rangga akan mencegah kepergiaannya. Miris sekali. Alenna terlalu berharap tinggi. Kini yang ada hanyalah rasa sakit hati.

"Sudah lega?" tanya Mommy Monika.

Alenna hanya mengangguk sekilas. "Ayo kita pulang, Mom."

Mommy Monika yang mengambil alih kemudi. Dia membiarkan putrinya terdiam sambil menikmati pemandangan malam di luar kaca jendela mobil.

***

Pagi hari pukul setengah tujuh. Alenna berpamitan. Mommy Monika memeluknya erat.

"Baik-baik di sana," kata Mommy Monika yang lekas mendapat anggukan dari Alenna.

"Paman Li akan ayah tugaskan di Jakarta. Dia akan membantumu. Fokus saja beradaptasi di sana, hingga pikiran dan kondisi batinmu stabil. Satu tahun. Dua tahun. Sama sekali tidak masalah. Bantu ayah mengurus perusahaan di sana," nasihat John.

"Insya Allah, Alenna akan amanah." Alenna tersenyum pada ayahnya. Setidaknya dirinya bisa sedikit lega karena ada Paman Li, tangan kanan ayahnya yang sudah dianggap Alenna seperti paman sendiri.

Giliran Alenna berpamitan pada sang kakak, Mario. Mimik wajah Mario melembut, tapi masih terpancar aura ketegasan.

"Maaf," tutur lembut Alenna.

"Minta maaf pada-Nya. Dekatkan dirimu pada-Nya. Lupakan Rangga!" nasihat Mario.

Dua pesan Mario yang pertama bisa diterima Alenna. Namun, Alenna tidak akan bisa melupakan Rangga.

"Jenguk aku di Jakarta kalau ada waktu. Ajak Anjani. Maaf, aku tidak bisa hadir saat hari bahagiamu bersama Anjani," terang Alenna.

Mario hanya mengangguk. Anggukan itu sudah cukup bagi Alenna. Menit berikutnya, Alenna diantar sopir pribadi sang ayah menuju bandara.

Mobil melaju pergi setelah menurunkan Alenna beserta kopernya. Langkah Alenna mendadak berat. Tak ingin rasanya meninggalkan kota itu.

"Alenna!" seru seseorang.

"Mas Rangga?" Alenna seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Aku nggak telat, kan?" Rangga ngos-ngosan. Nada khas jawanya semakin kental.

Alenna menggeleng pelan. Sesaat kemudian senyumnya mengembang.

"Ini. Hadiah kecil untukmu." Rangga menyerahkan hadiahnya pada Alenna.

Hati Alenna bergetar begitu melihat isi hadiah dari Rangga.

"Mukena dan sajadah," lirih Alenna. Tak terasa air matanya menetes.

"Jaga dirimu di sana. Perbanyak ibadah. Dekat dengan-Nya jauh lebih nikmat," nasihat Rangga.

Alenna tersenyum. Anggukan berulang menyusul.

"Mas Rangga pernah jatuh cinta?" tanya Alenna tiba-tiba.

"Pernah sekali. Pada Anjani, tapi langsung ditolak." Rangga ringan berkata.

Alenna tersenyum kecut.

"Oh." Alenna mengangguk. "Izinkan aku mencintaimu, Mas." Imbuh Alenna, serius, tulus.

Rangga terdiam sejenak. Setelahnya, sebuah senyum disuguhkan.

"Pastikan perasaanmu itu benar-benar rasa cinta. Bukan nafsu ataupun hanya obsesi pada tubuhku. Aku menunggumu kembali." Senyum Rangga semakin mengembang setelah mengatakannya.

Alenna mengangguk mantap kali ini. Hatinya begitu lega. Ada harapan besar di sana. Kini Alenna mantap ke Jakarta.

"Assalamu'alaikum, Mas Rangga."

"Wa'alaikumsalam, Alenna."

Tanpa Rangga dan Alenna sadari. Tak jauh dari tempat mereka, berdiri seorang lelaki berparas tampan. Sedari tadi lekaki itu terus mengamati. Lelaki itu adalah Juno, mantan pacar Alenna.

"Alenna. Aku menunggumu kembali," tutur Juno, sembari memantapkan hati.

Bersambung ....

Mampir juga yuk ke novel Cinta Strata 1. Kisah Alenna, Rangga, Juno bermula dari sana. Like, Vote, Rate5, Fav, dan tinggalkan jejak komentar kalian. See You.

Enjoy Reading, dan terima masih sudah mampir.

***

Terpopuler

Comments

Bagus Effendik

Bagus Effendik

like

2021-01-24

0

Seyra

Seyra

nyimak

2021-01-17

0

Muhammad Ahza

Muhammad Ahza

next

2021-01-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!