Barra bergerak lincah, berdiri tepat di hadapan Alenna yang tengah syok akibat adegan yang dilihatnya. Tangan kanan Barra gesit menutupi kedua mata Alenna. Sementara tangan kirinya memegangi lengan Alenna agar tidak terjatuh.
"Maaf," tutur Barra lembut.
Alenna diam terpaku. Pandangannya gelap karena terhalang tangan Barra yang menutupi.
"Ayo kita keluar!" Barra menarik lembut lengan Alenna.
Alenna yang masih syok hanya menurut. Sesampainya di mobil, Alenna pun tersadar dan melepas pelan pegangan tangan Barra.
"Maaf. Tidak seharusnya kamu melihat hal tak pantas seperti tadi," ucap Barra.
Terdengar lirih, Alenna beristighfar. Dia memegangi dadanya.
"Tunggu aku sebentar di sini. Jangan pulang menyetir sendiri," terang Barra.
Alenna mengangguk pelan. Dirinya masih saja beristighfar.
Barra menutup pelan pintu mobil. Dia berniat menghampiri temannya. Namun, langkahnya terhenti karena teman Barra rupanya menyusul hingga ke parkiran.
Barra dan teman yang dibantunya terlibat adu mulut. Alenna memperhatikan mereka dalam diam. Rupanya teman Barra adalah gadis yang membawa gelas kosong tadi, bukannya yang sedang bermain cinta bersama Vero.
"Astaghfirullah. Tak kusangka Vero seperti itu. Pantas saja waktu meeting tatapannya seolah ingin menggodaku. Pakai ngajak kencan segala. Uuuh. Hapus adegan tadi dari pikiranmu Alenna." Alenna bergumam sendiri sambil memegangi kepalanya.
Detik berikutnya, Alenna melihat teman Barra berjalan ke arah mobilnya. Alenna berinisiatif turun dari mobil dan menemui.
"Nona Alenna yang baik. Terima kasih atas uang yang Anda gunakan untuk menebusku. Aku pergi dari tempat ini. Lain kali, jangan campuri urusan orang lain. Urus saja dirimu sendiri! Permisi!" Teman Barra balik badan.
Barra hendak menegur temannya itu.
"Jeni, kamu!" seru Barra.
"Cukup Mas Barra. Aku pulang ke kampung. Aku harap Mas Barra tidak pernah ikut campur lagi urusanku. Terima kasih sudah repot-repot berhutang untuk membebaskanku. Ingat. Jangan pernah muncul lagi di kehidupanku!" Teman Barra yang bernama Jeni itu lekas pergi.
Barra bungkam. Dia lebih memilih untuk tidak mengejar. Alenna yang masih terdiam karena ucapan Jeni pun dihampirinya. Barra semakin tidak enak hati pada Alenna. Bule cantik berhijab yang baru dikenalnya itu sudah berniat baik, tapi dia justru mendapat perlakuan tidak menyenangkan.
"Maaf. Maaf. Maaf." Kata maaf terus dituturkan Barra.
Alenna tersenyum simpul. Dia paham kondisi. Barra sama sekali tidak salah. Keadaanlah yang sedang tidak berpihak pada niat baiknya.
"Kamu bisa menyetir?" tanya Alenna kemudian.
"Iya. Aku bisa. Biar aku yang menyetir sampai apartemenmu. Setelah itu aku bisa pulang naik ojek," terang Barra yang masih saja tidak enak pada Alenna.
"Tidak. Ajak aku jalan-jalan. Sepertinya aku sedang membutuhkannya saat ini," terang Alenna. "Sekalian, aku ingin mendengar cerita tentang temanmu tadi."
"Baiklah. Dengan senang hati. Aku berhutang banyak padamu Alenna," tutur Barra.
Alenna tak lagi menanggapi. Dia hanya duduk di samping Barra yang sedang mengemudi. Alenna masih teringat adegan yang dilakukan oleh rekan bisnisnya, Vero. Alenna merutuki dirinya karena tak juga bisa melupakan bayangan itu.
"Jeni itu teman masa kecilku. Kami berasal dari desa yang sama. Orangtua Jeni sudah tiada. Sanak saudara pun entah di mana. Jeni yang sebatang kara kemudian dipinang seorang lelaki, tapi suaminya selingkuh dan meninggalkannya." Cerita Barra dimulai.
Alenna tertegun. Kisah keluarganya pun sempat dihadang masalah perselingkuhan. Alenna tahu betul bagaimana deritanya.
"Kamu menyukai temanmu itu, ya?" tuduh Alenna.
"Dia cinta monyetku. Hehe. Tapi niatku kali ini cuma ingin menolongnya agar lepas dari dunia gelap itu. Tapi ... Ah, sudahlah. Dia sudah pergi dan tidak akan pernah menerimaku. Em, Nona Alenna. Aku berhutang 100 juta pada Anda. Insya Allah aku akan kerja keras dan mencicil hutangku," terang Barra. Serius.
Saat itu Alenna tidak menolak. Alenna mengiyakan. Dia ingin melihat keseriusan Barra.
***
Pukul setengah 4 sore. Alenna sampai di apartemennya. Dia membiarkan Barra mengantarkan dirinya, sementara Barra pulang naik ojek. Alenna dan Barra sudah membuat kesepakatan. Mereka berdua akan bertemu di taman setiap akhir pekan, dengan Barra yang akan mulai mencicil hutangnya pada Alenna.
"Sebenarnya aku tidak suka membiarkan orang lain berhutang. Aku memang berniat menolong Jeni. Tapi kenapa ya aku mengiyakan saja saat Barra ingin mengembalikan uang bantuanku?" Alenna bertanya-tanya.
Dihempaskan tubuh rampingnya di sofa. Alenna bisa bersantai sebentar karena tadi dia sudah mampir ke masjid untuk fardu ashar.
Pikiran Alenna berganti. Sungguh tak karuan rasanya hari yang dia lewati hari ini. Niat Alenna keluar hanya ingin jalan-jalan sambil menemukan teman. Ya, teman memang sudah dia dapatkan. Namun, cerita pengiringnya sungguh membuat Alenna geleng-geleng kepala.
"Astaghfirullah. Sepertinya aku banyak dosa hingga menemui yang seperti tadi. Ini pasti balasan atas perlakuan mesumku pada Mas Rangga waktu itu," pikir Alenna.
Tangan Alenna memijit pelan kepalanya.
"Uuhh. Waktu itu aku tidak bisa mengontrol diriku. Tubuh Mas Rangga sih menggodaku. Ups. No. Mas Rangga sama sekali tidak bersalah. Akulah penjahat mesumnya. Maafkan kelakuanku waktu itu, Mas." Alenna menyembunyikan wajahnya dengan bantal sofa.
Tetiba ponsel Alenna bergetar. Satu pesan singkat masuk. Begitu dibaca, ternyata pengirimnya adalah Juno. Hanya pesan basa-basi, dan Alenna tidak berniat membalas pesan itu. Ponsel seketika diletakkan di meja.
"Maaf, Jun. Pikiranku sedang lelah," lirih Alenna sambil kembali menutupi wajahnya dengan bantal sofa.
Ponsel Alenna kembali bergetar. Bukan getar penanda pesan, tapi getar penanda panggilan masuk dari seseorang. Dengan malas Alenna mencoba duduk tegak, khawatir yang menelepon adalah relasi perusahaan.
"Vero?" Alenna terkejut begitu melihat nama yang tertera di layar.
Alenna tidak berani mengangkat telepon itu, meskipun dia tahu bahwa Vero adalah salah satu rekan bisnisnya dan sedang terlibat dalam kontrak kerjasama dengan perusahaannya. Alenna enggan mengangkat panggilan suara itu setelah melihat adegan Vero dengan seseorang berlipstik merah menyala.
"Aku harus menghindarinya. Dia bukan lelaki baik-baik," cap Alenna.
Getar panggilan berakhir. Alenna lega. Dia langsung menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.
***
Di rumah Rangga.
"Le, ada paket!" seru Bu Anis, ibu Rangga.
Rangga yang masih memakai sarung dan peci berlarian kecil menuju sang ibu yang baru datang dari berjualan di pasar. Satu bungkusan paket dia terima dari petugas pengantar barang.
"Ibu mau nyiapin makan malam dulu. Halaman depan tolong disapukan, ya. Oya, temani adik-adikmu ngerjakan PR mumpung kamu lagi libur kerja. Bosmu menikah kan?" tanya sang ibu.
"Siap, Bu. Iya, Bos menikah hari ini. Tadi Rangga sudah kondangan. Untuk resepsinya Rangga nggak perlu dateng, deh. Kan disuruh bantu nemani adik kembar belajar," terang Rangga.
Rangga membuat-buat alasan. Padahal hatinya masih bergemuruh saat melihat cinta pertamanya bersanding dengan Bosnya. Meski Rangga sudah membuka hati untuk Alenna, bukan berarti dia bisa cepat lupa dengan perasaannya pada Anjani.
"Eh, itu paket apa?" tanya Bu Anis. Kepo.
"Nggak tahu. Bentar lagi Rangga buka, deh. Mau ganti pakaian dulu," jelas Rangga.
"Yowes ( Ya sudah)," sahut Bu Anis.
Rangga berganti kaos. Lekas dia menuju paket yang baru didapatkannya. Nama pengirim hanya tertulis Li. Rangga kepo dan langsung membuka paketnya.
"Dompet?"
Paket itu berisi dompet ber-merk. Terlihat bagus dan trendi. Yang menarik perhatian Rangga bukan dompetnya, tapi pesan di dalamnya.
Terima hadiah kecil dariku, Mas.
Tunggu aku kembali.
Alenna
"Dari Alenna," lirih Rangga sambil senyum-senyum.
Ada gemuruh yang tiba-tiba meraja. Rangga tak tahu pasti bermula dari mana, yang pasti dia sungguh menyukainya.
"Sepertinya ini kode dari Alenna agar aku lebih kerja keras mengisi dompet ini dengan pundi-pundi. Jadi, saat Alenna kembali nanti aku bisa menggunakan celenganku untuk modal nikah," gumam Rangga sambil kembali senyum-senyum sendiri.
Bu Anis memergoki tingkah sang putra. Tangan yang masih belepotan karena adonan tepung pun seketika diusapkan ke wajah Rangga.
"Iki kesambet (ini kerasukan)!" Bu Anis ganti menepuk-nepuk punggung Rangga.
"Astaghfirullah, Bu. Rangga baik-baik saja. Nggak kerasukan," elak Rangga.
"Lah itu tadi kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Bu Anis.
"Ini dapat paket dari calon mantu ibu," terang Rangga.
"Weleh. Beneran? Kamu jadi mau nikah sama siapa ini?" Bu Anis antusias.
"Sama adik Bos Rangga. Alenna," aku Rangga.
"Ngimpi!" Bu Anis menambahi raupan tepung ke wajah Rangga. "Sudah. Ibu mau masak!" Bu Anis meninggalkan Rangga.
"Hehe. Jadi nggak sabar nunggu Alenna pulang. Ibu biar percaya kalau adik bos memang menyukaiku," gumam Rangga.
Rangga penuh harap. Rangga sama sekali tidak tahu bahwa di Jakarta sana, Alenna baru saja berkenalan dengan teman baru bernama Barra. Rangga juga tidak tahu, bahwa Alenna akan segera terjebak dalam permainan yang akan dibuat Vero.
Bersambung ....
Tunggu lanjutan ceritanya. Terima kasih sudah mampir dan membaca. Like dan komentari juga dong biar author makin semangat up. See You.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Bagus Effendik
mantab
mampir juga ya
novel T O H
2021-01-24
0
Whiteyellow
lanjut semangat..💪
2021-01-19
0
Muhammad Ahza
sampai sini dulu
2021-01-01
1