Terdiam sejenak. Alenna masih tidak percaya pagi itu Vero datang mengunjungi apartemennya. Vero tampak rapi dengan balutan pakaian nuansa casual. Wajah tampan dan tubuh idealnya pastilah akan memikat gadis mana pun yang melihatnya. Sayangnya, label wow dari seorang Arvero Dewanggi, telah tercoreng di mata Alenna sejak adegan bersama si lipstik merah menyala.
"Selamat pagi, Alenna. Kamu belum jawab salam pagiku, lho." Vero tersenyum manis, dengan kedua tangan disembunyikan di belakang punggungnya.
"Kapan kamu salamnya?" Alenna sama sekali belum mempersilakan Vero masuk.
"Tadi. Ah, sudah deh. Aku masuk, ya!" Vero main nyelonong.
"Eh-eh. Mau ngapain kamu!" Alenna berusaha membuat Vero agar tidak masuk lebih jauh.
Langkah Vero terhenti. Lekas ditunjukkannya apa yang pagi itu dia bawa.
"Aku bawakan bunga dan sarapan untuk kita." Vero tersenyum manis. "Jangan menolakku pagi ini, Alenna. Kau sudah berjanji akan mendukungku. Sambil sarapan, kamu bisa kasih ceramah kebaikan untukku. Ayo!" Vero sudah memposisikan dirinya di salah satu meja.
Alenna membuang nafas kasar. Dia pun mengiyakan karena tidak ingin merusak mood paginya hanya dengan bertengkar dengan Vero.
"Mau kusuapin?" tanya Vero usil.
"No!"
"Oke. Selamat makan," kata Vero hendak menyuap sesendok nasi goreng, tapi dihentikan Alenna.
"Doa dulu!" seru Alenna.
Sesendok nasi goreng sudah tepat di depan mulut Vero. Mata Vero mengerjab cepat berusaha mencerna kalimat Alenna.
"Tadi kamu bilang aku boleh ceramah. Nah, sekarang doa dulu sebelum makan. Biar berkah. Cepat!" perintah Alenna.
"Okey." Vero menurut.
Ceramah lainnya lekas menyusul. Alenna sungguh tak sungkan menyeramahi Vero habis-habisan.
"Satu lagi. Cewek-cowok berduaan begini nggak boleh. Bisa-bisa ada setan yang menggoda." Itulah penutup ceramah Alenna. Dia geregetan.
"Ada setan yang menggoda? Bagaimana kalau aku saja yang menggoda?" Vero malah usil.
"Veroooo!" seru Alenna geregetan. "Mending kamu pulang aja se-ka-rang!" tegas Alenna.
"Yaaah. Diusir, deh. Iya-iya. Aku pulang. Lagipula kamu juga pasti mau bersiap ke kantor. Sampai jumpa nanti siang," pamit Vero seraya tersenyum penuh pesona.
Blam!
Pintu ditutup sedikit kasar. Sungguh Alenna geregetan. Di tengah kabar gembira rencana pernikahannya dengan Rangga, mood pagi Alenna rusak gegara Vero yang datang menunjukkan pesona dan perhatiannya.
"Sabar, Alenna. Kamu harus sabar. Kalian hanya bermitra. Usai pernikahanmu dengan Mas Rangga, si Vero itu pasti akan menyerah," gumam Alenna, menenangkan diri.
Tok-tok-tok!
Vero baru saja keluar dari apartemen, juga Alenna masih belum beranjak dari pintu yang baru saja dia tutup. Eh, pintu malah diketuk lagi.
"Mau apa lagi, sih!" seru Alenna, dan ups ... ternyata bukan Vero.
"Wow! Are you okey, Len?" Ternyata Ranti yang datang.
"Huuuuh. Ranti! Kirain Vero. Ayo masuk!" Alenna mempersilakan.
Ranti tersenyum jahil. Rasa penasarannya membuncah. Pikirannya mengait-ngaitkan kedatangan Vero dan Alenna yang marah-marah.
"Barusan gue liat babang Vero keluar dari apartemen lu. Habis ngapain kalian berdua? Hayooo!" selidik Ranti. "Jangan-jangan kalian habis ehem-ehem berdua, ya!" tuduh Ranti.
Alenna terbelalak. Seketika Alenna mendaratkan kerupuk udang ke mulut Ranti.
"Sembarangan kalau ngomong! Siapa yang ngajarin ngomong kayak gitu, ha?" Alenna gemas.
"Ampun-ampun. Hihi. Habis muka lu tegang amat, sih. Masih pagi loh. Jangan merusak mood. Eh, emang babang Vero tampan barusan ngapain?" Kali ini Ranti bertanya dengan benar.
"Minta diceramahin. Ya aku ceramahin aja habis-habisan," terang Alenna.
"Terus? Mempan?" Ranti kepo.
"Huft. Belum," sahut Alenna. "Udah ah, jangan bahas Vero lagi. Ntar malah kamu yang kuceramahin. Itu tuh, rambut masih kelihatan. Kapan mau ditutupin?" tanya Alenna entah sudah ke berapa kalinya menasihati Ranti.
"Yaaah, jadi gue deh yang kena sekarang. Sabar dulu dong. Lagi nunggu hidayah nih," celetuk Ranti sambil mencomot nasi goreng milik Alenna yang tadi tidak dia makan, karena sibuk menyeramahi Vero.
Satu senyuman dilayangkan untuk Ranti. Alenna mendekatinya.
"Ran, jangan nunggu aja. Sesekali dicari, dicoba, diusahakan." Alenna bertutur kata lembut agar kalimatnya bisa dicerna Ranti.
"Iyaa. Santuy aja, Len. Lu nggak perlu khawatirin gue. Oya, hari ini gue izin nggak masuk kantor. Mau ngasih ini aja ke lu. Titip, ya!" Ranti memberikan dokumen dan sebatang cokelat sebagai pemanisnya.
Alenna geleng-geleng kepala, lantas tertawa renyah.
"Kebiasaan deh kasih sogokan cokelat. Nggak mau, ah!" canda Alenna, sebenarnya dia tau bahwa Ranti memang hobi bagi-bagi cokelat.
"Ini namanya berbagi yang manis-manis. Eh, Len. Nggak kepo gue mau kemana sampai nggak masuk kerja?" Ranti memancing.
Sebenarnya Alenna tidak mau main kepo-kepoan. Baginya setiap karyawan yang izin punya privasi dan alasan tersediri. Namun, Alenna sudah dipancing untuk bertanya. Mau tidak mau Alenna pun kepo juga.
"Kemana emang?" tanya Alenna.
"Gue mau ketemuan sama Juno!" Ranti terlihat girang.
Pagi itu begitu banyak kabar yang didengar. Diawali berita yang menggembirakan, dan kini berita yeng mengejutkan.
"Maksudmu Juno ada di Jakarta? Kok bisa? Ini kan hari efektif, harusnya dia masuk kuliah. Tapi ... jadwal kuliah emang nggak menentu seperti anak sekolah, sih. Masa iya sih Juno datang ke Jakarta?" Fix, Alenna benar-benar kepo kali ini.
"Iya, Juno akan tiba pagi ini. Katanya sih iseng ikut ayahnya. Nah, waktu ayahnya ketemuan sama relasi barunya, Juno tinggal nemuin gue. Begitu. Nggak lama kok dia di Jakarta, seharian ini aja. Besok pagi dia baru balik," detil Ranti.
Ber-oh ria, menjadi tanggapan yang sangat lumrah. Kabar terakhir yang Alenna tahu tentang Juno, memang ayahnya sedang menggeluti bisnis baru di bidang teknologi mesin pertanian modern. Tidak heran jika ayah Juno mencoba membangun relasi dengan banyak pihak.
"Oke. Usahakan jangan hanya berduaan aja, ya. Takut ada setan yang menggoda," kata Alenna, khawatir.
"Santuy!" sahut Ranti, lantas pamit pulang.
Alenna khawatir membiarkan Ranti menemui Juno seorang diri. Alenna tahu betul bagaimana tabiat Ranti. Kalau sudah benar-benar suka, Ranti bisa saja tak sungkan untuk menggoda lebih dulu. Meski khawatir, Alenna tidak ingin ikut menemui Juno. Kuatir akan terjadi CLBK.
***
Usai menghadiri meeting dengan relasi, Alenna berniat menyapa Barra. Sejak Jeni dipekerjakan di perusahaan itu, Barra sama sekali tidak pernah menghubungi Alenna.
"Paman Li, aku ke lantai tiga sebentar. Setelah ini kita bahas investasi yang dilakukan Vero pada anak perusahaan ayah," pamit Alenna.
Paman Li mengangguk sopan, lantas menuju ruangan kerjanya.
Kebetulan sekali, Barra baru saja keluar dari ruang divisinya hendak menyampaikan berkas pada kepala divisi. Saat itulah Alenna menyapa, dan langsung ditanggapi dengan gugup oleh Barra.
"A-Alenna. Maaf, aku masih belum punya uang cukup untuk mencicil yang 100 juta," terang Barra.
"Eh? Siapa yang mau nagih, sih? Mas Barra nggak pernah berhutang. Aku memang niat membantu. Jadi, mulai sekarang aku nggak mau dengar Mas Barra bahas-bahas lagi tentang itu. Em, oya. Gimana kabar Mbak Jeni. Apa dia betah kerja di sini?" Alenna memelankan suaranya. "Mbak Jeni sudah meninggalkan dunia gelap itu, kan?" bisik Alenna.
"Alhamdulillaah. Sudah nggak pernah menginjakkan kaki lagi di sana. Alenna, kamu sungguh menolong hidupku dan Jeni. Aku sungguh berterima kasih. Saat menyadari semua kebaikanmu, aku sungguh-sungguh malu rasanya ketika ingat malah berharap lebih untuk mendapatkan hatimu juga. Maaf, ya. Aku bodoh saat itu. Kamu sudah begitu baik padaku, akunya malah minta lebih." Barra tertunduk. Dia malu pada dirinya.
Senyum ringan dilayangkan. Dugaan Alenna benar. Barra pernah mengharapkan cintanya. Kini dia bersyukur karena Barra tidak melanjutkan perasaannya itu.
"Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang, ikhtiarkan saja masa depanmu. Kudoakan Mas Barra dan Mbak Jeni lekas menikah," tutur lembut Alenna.
"Hehe. Soal itu, sebenarnya ... baru kemarin aku dan Jeni menikah. Sederhana banget, dan masih nabung buat syukuran kecil-kecilan. Maaf, ya. Aku tidak memberitahumu," aku Barra.
Kabar lain di dengar hari itu. Alenna sedikit terkejut, tapi dia senang atas kabar bersatunya Barra dan Jeni.
"Alhamdulillaah. Ikut senang dengarnya. Em, nanti kalau aku yang menikah, Mas Barra sama Mbak Jeni aku undang dan harus datang." Tetiba saja Alenna teringat rencana pernikahannya dengan Rangga.
Obrolan ringan disudahi. Alenna kembali menuju ruangan, membahas investasi besar yang telah dilakukan ayah Vero pada anak perusahaan ayah Alenna.
***
Vero menuju ruang tempat kerja ayahnya, Johan, dengan tergesa. Amarah jelas terlihat di wajahnya. Vero sama sekali tidak terima dengan kabar yang baru didapat dari orang suruhannya.
Sekretaris Johan mencegah langkah Vero untuk masuk, karena bos besarnya sudah berpesan agar tidak boleh ada siapa pun yang masuk ke ruangannya sore itu. Akan tetapi, Vero tak peduli dan langsung masuk saja.
"Maaf, Tuan Muda. Anda tidak boleh masuk!" cegah sekretaris Johan untuk ke sekian kalinya.
"Aku putranya. Tidak akan apa-apa. Pergilah!" usir Vero.
Sekretaris mengalah dan kembali duduk di mejanya. Vero segera masuk ke dalam ruang kerja Johan tanpa permisi. And now ... oh no!
Adegan lain bersama si lipstik merah menyala terpampang nyata memenuhi pandangan mata Vero. Sama sekali tak ada keterkejutan. Seolah Vero sudah terbiasa melihatnya. Dengan santainya Vero malah melontarkan tanya.
"Kenapa Pak John malah mau menikahkan Alenna dengan Rangga? Bukankah saat bertemu Pak John ayah sudah membujuknya dengan dasar investasi besar dan kerja sama?" tanya Vero.
Johan tak langsung menjawab. Dia memposisikan si lipstik merah menyala lebih rendah agar dirinya bisa melihat Vero.
"Ce-pat ... masuk dulu, ke ... ruangan itu!" perintahnya terbata di sela kenikmatan yang sedang dirasa.
"Cih." Usai mengumpat, Vero masuk ke ruangan yang dimaksud.
Tiga puluh menit Vero menunggu dengan gelisah. Suara yang didengar dari adegan di sebelah membuatnya juga ingin melakukannya. Akan tetapi, tidak dengan si lipstik merah, melainkan dengan Alenna.
"Ada apa?" tanya Johan, dengan suara tegasnya.
Vero kaget, tapi langsung tersadar dengan tujuan awalnya.
"Kenapa Pak John malah berencana menikahkan Alenna dengan selain Vero?" tanya Vero to the point.
Johan tertawa.
"Sejak kapan kau peduli dengan itu, Vero? Bukankah kau juga suka bermain dengan yang merah-merah?" bidik Johan.
"Aku sudah berubah. Dan seharusnya ayah juga. Carilah istri. Berhenti jadi duda!" tegas Vero.
Johan kembali tertawa. Kata-kata itu sudah sering dia dengar dari Vero sejak beberapa hari lalu.
"Soal bujukan yang tidak mempan itu, masa bodoh. John mau menikahkan Alenna dengan siapa saja, aku tidak peduli. Aku hanya peduli pada bisnis. Jadi, urus sendiri urusanmu. Pakai saja orang-orangku untuk membantu. Tapi ingat, jangan coba-coba hancurkan bisnis ayah. Ayah percayakan padamu."
Usai berkata demikian, Johan keluar. Meninggalkan Vero yang uring-uringan, tapi sama sekali tak dipedulikan.
Bersambung ....
Jika suka dengan alur ceritanya, silakan LIKE. Agar author bisa segera up lagi. Terima kasih sudah mampir dan membaca. 💖
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Bagus Effendik
okeh okeh okeh
2021-01-24
0
Vi_Lian
Like and semangat
2020-12-09
1
Aldekha Depe
aku belum baca novel ini, like dulu deh🥰🥰😍
2020-12-09
1