Bab 4

Rumah sederhana yang jauh dari tetangga dan terletak di tepi sawah menjadi tujuan untuk pulang. Rumah itu adalah tempat Rangga tinggal bersama ibu dan dua adiknya. Ibu Rangga bekerja di pasar, berjualan rujak cingur. Pekerjaan itu dilakukan sejak dulu, dan sudah memiliki banyak pelanggan tetap bahkan sebelum sang suami meninggal.

Rengganis, begitulah nama ibu Rangga. Namun, orang-orang sekitar memanggilnya dengan sebutan Bu Anis. Wanita berusia empat puluh lima tahun, berhijab, pekerja keras, dan ramah pada orang sekitar, tapi tegas pada anak-anaknya. Rangga begitu menghormati ibunya.

Adik Rangga kembar laki-laki, namanya Ardi dan Ardan. Si kembar masih duduk di bangku kelas empat SD. Usia yang terpaut jauh dari adik-adiknya membuat Rangga bekerja keras untuk membantu sang ibu membiayai sekolah si kembar. Usai lulus SMA, Rangga memutuskan untuk kerja, kerja, dan kerja. Hingga kini dia bekerja di ruko sepatu Mario.

"Bu, tumben agak siang pergi ke pasarnya?" tanya Rangga yang mau berangkat ke ruko.

"Kawanen (kesiangan)," jawab Bu Anis singkat sambil bersiap.

"Kalau begitu Rangga antar ke pasar, Bu. Sekalian Rangga ke ruko," terang Rangga.

"Yasudah ayo. Eh, kemarin Bu Siti tanya kamu, Le. Sepertinya putrinya Bu Siti naksir kamu. Gimana? Kamu mau nggak nikah sama anaknya Bu Siti?" tanya sang ibu tiba-tiba.

Rangga tidak langsung menjawab. Ini sudah ketiga kalinya sang ibu menanyakan hal yang sama. Tempo hari anaknya Bu Surti, kemarin lusa anaknya Bu Ayu, sekarang anaknya Bu Siti. Rangga sampai hafal dengan gaya sang ibu. Sebenarnya sang ibu ingin Rangga segera menikah agar ada yang merawat dan menemaninya saat lelah bekerja.

"Maaf nih, Bu. Rangga nggak suka dijodoh-jodohin. Sebenarnya Rangga sudah menaruh hati pada seorang wanita," aku Rangga.

Bu Anis tampak terkejut sekaligus bahagia. Sekian lama sang putra itu tertutup dengan masalah cinta. Kali ini Rangga justru sukarela curhat pada ibunya.

"Siapa wanita yang beruntung itu, Le?" tanya Bu Anis.

"Sebenarnya Rangga yang beruntung bisa dicintai wanita ini, Bu." Wajah Rangga terlihat cerah.

"Seperti apa calon mantuku itu?" Bu Anis makin dibuat kepo.

Rangga senyum-senyum tidak jelas sebelum menjawab pertanyaan sang ibu. Pikirannya kini sedang menghadirkan sosok Alenna agar lebih mudah dideskripsikan olehnya.

"Cantik. Wajahnya blasteran. Semacam bule gitu. Pintar bahasa Inggris deh pokoknya. Sudah gitu, gadis ini berhijab. Senyumnya itu loh, heeem. Satu lagi, dia adik dari bosnya Rangga. Dia ...."

Belum sempat Rangga melanjutkan penjelasannya, satu gayung berisi air meluncur membasahi area wajah. Bu Anis yang menyiram wajah Rangga.

"Ojo ngimpi dhuwur-dhuwur (jangan mimpi tinggi-tinggi). Mana ada gadis sempurna kayak gitu suka sama kamu, Le. Sudah, ayo berangkat!" Bu Anis memberi instruksi.

"Yaah. Rangga nggak bohong, Bu." Rangga masih saja berusaha meyakinkan.

"Ayo berangkat! Ibu sudah telat ini!" Bu Anis melangkah menuju motor Rangga.

"Iya, deh. Terserah ibu saja," lirih Rangga, pasrah.

Rangga yang memang menaruh hormat tinggi pada sang ibu, pagi itu tidak kembali mencoba meyakinkan ibunya. Saat Alenna kembali dari Jakarta nanti, Rangga sudah berniat mengajaknya bermain mengunjungi rumah sederhananya, agar sang ibu percaya.

***

di Jakarta

Usai VC dengan Mommy tercinta untuk bertukar kabar sekaligus menanyakan persiapan pernikahan Mario-Anjani, Alenna didampingi Paman Li menuju ruang meeting. Begitu masuk ruangan, kursi-kursi sudah dipenuhi oleh kepala-kepala divisi dan rekan bisnis yang akan diajak bekerjasama dengan perusahaan. Semua yang ada di sana rupanya sudah menunggu Alenna, karena memang Alenna yang pagi itu memimpin meeting.

Meeting dimulai. Meski usia Alenna masih muda, tapi jiwa bisnis yang menurun dari sang ayah sudah mendarah daging. Alenna begitu cakap. Keterampilan berbicaranya pun tak bisa diremehkan. Apalagi Alenna sangat menguasai bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Sosok Alenna yang baru menjabat sebagai wakil manajer pun cepat disegani oleh seluruh karyawan.

"Demikian meeting hari ini. Setelah ini kami harap kepada perwakilan Bina Sentosa agar dapat berbincang lebih dengan saya. Diucapkan terima kasih kepada peserta rapat hari ini. Pertemuan selanjutnya akan segera dijadwalkan Sekretaris Li," terang Alenna.

Semua mengangguk dan satu per satu meninggalkan ruangan meeting. Tersisa dua perwakilan dari tim relasi. Alenna tidak menyadari bahwa sedari tadi salah satu dari perwakilan relasi, yang paling tampan, terus memperhatikan dirinya.

"Nona Alenna. Perkenalkan, saya Vero. Arvero Dewanggi. Putra tunggal sekaligus wakil direksi dari Johan Renaldi. Dia ayahku. Perusahaan ayahku sudah lama berelasi dengan perusahaan ini. Tapi baru kali ini saya bertemu dengan putri Pak John. Anda sungguh cantik, Nona Alenna." Vero memuji.

Alenna sedikit kurang suka dengan cara Vero menatapnya. Vero memang tampan, sebelas dua belas dengan mantan pacarnya, Juno. Namun, wajah tampan Vero dan karir suksesnya sama sekali tak bisa menandingi pesona seorang Rangga. Ya, begitulah pikir Alenna.

"Terima kasih atas pujiannya, Tuan Vero. Sekarang mari kita bahas perbaruan kontrak kerjasama," pinta Alenna.

Vero mengangguk. Dia langsung mengambil sikap profesional dan menampakkan sisi bijak dalam urusan bisnis seperti saat itu. Paman Li sigap membantu Alenna menyiapkan berkas-berkasnya. Sementara sekretaris yang mendampingi Vero sedari tadi tampak berbisik memberikan masukan-masukan pada tuannya.

Dua puluh menit berlalu. Kesepakatan telah berada di titik temu. Alenna senang kerjasama tetap berlanjut dengan kesepakatan yang telah ditandatangani. Sungguh sesuai rencana dan perkiraannya dan sudah pasti akan membawa untung bagi kedua perusahaan.

Meeting berakhir. Semua berdiri dan memberi hormat. Paman Li tampak mengobrol dengan sekretaris Vero dan berjalan mendahului menuju pintu keluar. Sementara itu, Alenna dan Vero masih membereskan berkas-berkas penting mereka.

"Aku harap hubungan kita tidak sebatas rekan kerja, Nona Alenna. Aku sungguh tertarik dengan anda. Semoga lain waktu kita bisa mengatur jadwal untuk berkencan." Vero blak-blakan.

Alenna tidak menggubrisnya. Dia hanya tersenyum simpul sambil menolaknya secara halus.

"Saya lebih tertarik jika hanya menjadi rekan bisnis saja. Terima kasih. Pintu keluar ada di sebelah sana, Tuan Vero." Alenna mengusir.

Dalam hati Vero tidak terima dengan penolakan Alenna. Namun, tampak luar Vero berusaha tersenyum dan menunduk takzim. Vero keluar dari ruangan meeting itu diikuti langkah sekretarisnya.

"Astaghfirullah," ucap Alenna sambil kembali duduk bersandar di kursi.

"Nona Alenna mau istirahat makan siang dulu?" Paman Li menawari.

"Loh. Memangnya ini sudah jam berapa kok sudah makan siang?" Alenna tampak terkejut.

"Hampir mendekati pukul dua belas," terang Paman Li.

Alenna menghela nafas dalam. Rupanya meeting tadi telah menghabiskan banyak waktu. Tanpa dia sadari tiba-tiba saja sudah siang.

"Paman Li makan siang dulu saja. Terima kasih banyak sudah membantuku hari ini. Apakah setelah ini ada meeting lagi?" tanya Alenna.

"Sudah tidak ada lagi, Nona. Saya tahu, pasti Nona Alenna mau berlama-lama di tempat sholat." Paman Li menebak.

Alenna tersenyum. Sejak tiba di Jakarta, dia memulai kebiasaan barunya. Sesuai pesan Mario, orangtuanya, juga Rangga. Alenna akan berbenah diri, memperbaiki ibadahnya. Rupanya kebiasaan itu diamati oleh Paman Li.

"Kalau begitu saya permisi dulu. Nona Alenna segeralah makan siang juga nanti," nasihat Paman Li sebelum beranjak pergi.

Alenna mengangguk dan kembali bersandar di kursinya.

"Kalau dipikir-pikir lagi, aku sudah nggak secerewet dulu. Hihi. Mungkin karena di sini tidak ada Mario ataupun teman-teman yang bisa kuajak berdebat." Mendadak saja Alenna merasa kesepian.

Sejak tiba di Jakarta, Alenna memang tidak akrab dengan orang lain selain Paman Li. Di tempatnya sekarang ini tidak ada wanita sebaik Anjani, tidak ada yang seheboh Meli, dan tidak ada yang sebucin Berlian. Tiba-tiba saja Alenna teringat teman-temannya di Jember.

"Mas Rangga apa kabar?" lirih Alenna begitu teringat Rangga.

Getar smartphone di meja sedikit mengagetkan. Alenna lekas mengambil benda pipih itu dan membaca pesan yang masuk.

Bagaimana kabarmu, Alenna? Juno.

"Juno?"

Rupanya pengirim pesan singkat itu adalah Juno. Alenna sempat bertanya-tanya tujuan Juno kembali menanyakan kabarnya. Menit berikutnya Alenna pun membalas pesan Juno.

Bersambung ....

Mampir juga yuk ke novel Cinta Strata 1. Kisah Alenna dan Rangga bermula dari sana. Like, Vote, Rate5, Fav, dan tinggalkan jejak komentar kalian. See You.

Enjoy Reading, dan terima masih sudah mampir.

***

Terpopuler

Comments

Bagus Effendik

Bagus Effendik

semangat

2021-01-24

0

Muhammad Ahza

Muhammad Ahza

Vero naksir Alenna?

2021-01-01

0

Naufazmiza

Naufazmiza

Rangga anak baik rupanya

2020-12-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!