Bagaimana kabarmu, Alenna? Juno.
Satu pesan balasan terkirim. Sungguh sebuah pesan singkat. Hanya satu kata saja.
Alhamdulillaah. Begitulah bunyi pesan balasan dari Alenna untuk Juno. Ya, hanya satu kata. Tidak ada basa-basi dalam balasan pesannya.
Begitu Alenna hendak bangkit dari duduknya, satu panggilan suara masuk. Juno menelepon. Alenna memandang smartphone-nya sejenak. Dia ragu untuk mengangkat telepon itu. Hingga getar berakhir, panggilan suara pun tak terangkat.
"Astaghfirullah. Sebaiknya aku ambil wudlu dulu," pikir Alenna kemudian melangkah keluar ruangan.
Sementara Alenna sibuk fardu dhuhur, jauh di sana, Juno tampak tersenyum sambil memandangi layar smartphone. Dia sedikit kecewa karena Alenna tidak mengangkat teleponnya. Namun, di satu sisi dia sedikit bahagia, karena setelah sekian lama Alenna mau juga membalas pesan singkatnya meski hanya satu kata hamdalah saja.
"Beribu wanita yang pernah kutemui, kenapa hati ini kembali padamu Alenna? Apa pun yang akan terjadi nantinya, aku tetap akan menikmati rasanya." Juno bergumam sendiri.
***
Sabtu tiba. Hari ini adalah hari pernikahan Mario-Anjani. Alenna telah mengirimkan kado pernikahan untuk mereka kemarin. Kado super besar yang mengejutkan. Begitulah Alenna menyebutnya. Padahal kado darinya hanya bungkusnya saja yang besar. Isinya hanyalah lingerin sexy untuk dipakai Anjani saat malam pertamanya bersama Mario.
Pagi itu Alenna mengirim pesan singkat untuk sang kakak, Mario.
Selamat atas pernikahanmu dengan Anjani. Kado dariku mendarat malam hari di kamar pengantin kalian. Pastikan Anjani untuk memakainya.
Begitulah pesan singkat dari Alenna. Alenna senyum-senyum sendiri usai mengirimkan pesan singkat itu.
"Nona Alenna. Kita sudah sampai," terang Paman Li begitu mobil sampai di salah satu resto bergaya eropa.
"Setelah ini apa ada pertemuan lagi dengan relasi?" tanya Alenna sebelum turun dari mobilnya.
"Tidak ada lagi, Nona." Paman Li menjawab dengan ramah.
Alenna tampak tersenyum. Dia segera menyampaikan idenya untuk hari itu.
"Paman Li. Aku bawa mobil sendiri setelah ini. Mau jalan-jalan. Siapa tahu bisa dapat teman di sini," izin Alenna.
Paman Li mengangguk. Dia mengerti bahwa anak Tuan Besarnya itu kesepian. Sejak tiba di Jakarta sama sekali tidak punya teman mengobrol.
"Hati-hati di jalan, Nona. Jika perlu bantuan, silakan langsung hubungi saya. Oya, Nona Alenna sudah memberi ucapan selamat untuk Tuan Mario dan Nona Anjani?" tanya Paman Li.
"Sudah, dong. Nih, kakakku jahil betul. Masa yang dipamerin ke aku foto selfie lagi mesra sama Anjani, sih. Sengaja mau manas-manasin aku sepertinya." Alenna terkekeh sambil melihat foto yang dikirim Mario.
Paman Li tersenyum. Dia bersyukur setelah semua yang telah terjadi, keluarga tuannya kembali harmonis. Dalam hati, Paman Li berdoa agar Alenna bisa segera diperbolehkan kembali untuk berkumpul bersama keluarganya.
"Em, Paman Li. Apakah hadiah kecil untuk Mas Rangga juga sudah dikirimkan?" tanya Alenna hati-hati.
"Sudah, Nona. Kemungkinan akan diterima sore ini. Yang saya cantumkan langsung alamat rumah Tuan Rangga," terang Paman Li.
Alenna mengangguk lantas mengacungkan jempolnya pada Paman Li.
"Paman Li emang TOP deh. Sampai tahu alamat rumah Mas Rangga. Tapi Paman Li jangan adukan ini pada kakakku, ya. Ssuuut!" Alenna memberi kode telunjuk bibir.
"Siap laksanakan, Nona. Sekarang, silakan Nona Alenna menuju meja pertemuan." Paman Li mempersilakan Alenna.
Alenna mengangguk. Jiwa pebisnisnya kembali. Dengan anggun Alenna melangkah menuju meja pertemuan.
Pertemuan kali ini tidak serumit dan selama biasanya, karena hanya membahas hal kecil berisi kesepakatan tambahan. Semua berlangsung santai hingga sampai pada penandatanganan dokumen. Pihak relasi pun tidak alot dalam bujukan. Membuat Alenna begitu senang karena semua dimudahkan.
Usai pertemuan, jarum jam masih menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Alenna langsung memacu mobilnya sendiri menuju sebuah taman. Rencananya Alenna akan sedikit menyegarkan pikiran sambil membeli beberapa potong es krim di sana.
"Wah, ada bule cantik!" celetuk segerombolan anak kecil yang tengah bermain di taman itu.
Alenna tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah mereka. Rupanya, wajah blasteran yang dimiliki Alenna mengundang banyak pasang mata. Tidak hanya anak kecil yang memandanginya, lelaki dewasa yang sedang berjalan dengan anak istrinya juga sempat memperhatikannya.
"Em, bodoh amat deh. Yang penting aku mau duduk-duduk sambil makan es krim!" gumam Alenna sambil mempercepat langkahnya.
Alenna sebenarnya sangat ingin es jeruk dalam wadah plastik, tapi di taman itu tidak ada yang menjual. Yang ada hanya penjual es krim gerobak.
"Es krim rasa cokelat satu," kata Alenna dan seorang pria bersamaan.
Alenna dan pria itu kompak saling menoleh.
"Loh, kamu kan yang kemarin?" Lagi-lagi Alenna dan pria itu kompak berkata.
[Flashback ON]
Begitu banyak pakaian sexy yang terpajang di manekin. Alenna memperhatikan satu per satu sambil mengira-ngira, mana yang pas untuk Anjani. Ya, Alenna berniat menghadiahi pernikahan Mario-Anjani dengan lingerin sexy. Ide jahil itu terbersit begitu saja hingga menepis saran kado yang telah disampaikan Paman Li.
"Iyap. Sudah diputuskan yang ini!" gumam Alenna sambil tersenyum jahil.
Alenna mengambil lingerin itu dan hendak dibawa ke bagian pramuniaga. Akan tetapi, begitu dia balik badan malah menyenggol seseorang.
"Maaf, Mbak!" seru pria itu yang juga kaget.
Lingerin terjatuh. Pria itu membantu mengambil dan memberikannya pada Alenna.
"Mau dipakai di depan suaminya, ya Mbak? Ini." Pria itu menyerahkan lingerin sexy pilihan Alenna.
Alenna sempat melihat sekilas ke arah pria itu. Sesaat kemudian tangannya bergerak cepat mengambil lingerin dan langsung berlari menuju kasir.
[Flashback OFF]
"Yang kemarin maaf, Mbak. Sebagai gantinya aku traktir es krim," kata pria itu cepat dan langsung membayarnya.
Alenna tidak mau ambil pusing. Dia pun mengangguk saja. Begitu pula saat si pria menemaninya duduk di bangku taman, Alenna juga mengiyakan. Sejujurnya Alenna memang tidak punya tujuan pasti di taman itu.
"Namaku Barra," kata pria itu sambil menjulurkan tangannya.
Alenna tersenyum kemudian mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Seketika Barra tahu bahwa gadis bule cantik di depannya itu adalah wanita baik-baik.
"Namaku Alenna," kata Alenna turut memperkenalkan dirinya.
"Yang kemarin maaf, ya. Tidak seharusnya aku berkata sesuatu yang membuatmu merasa malu." Barra mengusap tengkuknya.
"No problem. Lagi pula yang kemarin itu bukan aku yang akan memakainya. Aku kan belum bersuami," aku Alenna.
Barra mengangguk-angguk.
"Kenapa sendirian saja di sini?" tanya Barra lagi.
Alenna tak langsung menjawab. Dia memandangi anak kecil yang kebetulan lewat di depannya.
"Aku baru di kota ini. Jadi nggak punya teman," aku Alenna.
Barra menoleh. Dia sedikit prihatin dengan pengakuan bule cantik di sebelahnya itu.
"Baiklah. Kita bisa berteman. Hehe. Itu sih kalau kamu mau." Barra mecoba akrab.
Alenna seketika menoleh. Insting Alenna mengatakan bahwa Barra adalah lelaki baik-baik. Jika diperhatikan lagi, tubuh Barra hampir mirip dengan Rangga. Sontak saja saat itu juga Alenna kembali teringat padanya.
"Nggak jawab. Berarti nggak mau ya jadi temanku?" Barra tampak kecewa.
"Mau kok. Teman makan es krim," celetuk Alenna.
Tawa renyah lekas tecipta. Alenna dan Barra sama-sama tertawa. Sesaat kemudian mereka berdua sama-sama terdiam sambil menikmati es krim masing-masing.
"Kamu sendiri ngapain di sini sendirian? Pendatang juga? Atau emang nggak punya teman?" Alenna mulai tak sungkan banyak bicara.
Sebelum Barra menjelaskan, tampak hembusan nafas dalam darinya. Seolah Barra sedang meluapkan beban yang saat itu dia rasakan.
"Boleh aku curhat?" izin Barra.
"Silakan!" sahut Alenna.
"Sebenarnya aku sedang putus asa," terang Barra.
Alenna tampak terkejut.
"What? Kamu nggak punya niatan buat bunuh diri kan? Jangan lakukan! Itu dosa. Sama sekali nggak akan menyelesaikan masalah!" nasihat Alenna yang lebih terlihat seperti orang panik.
Barra dibuat bingung dengan tingkah Alenna yang tak terduga.
"Bukan begitu, Alenna. Aku hampir putus asa karena tidak bisa menolong temanku," terang Barra.
"Memangnya temanmu dalam masalah apa?" Alenna yang mulai tenang pun mencoba mendengarkan penjelasan Barra.
Barra bercerita tentang usahanya untuk membebaskan temannya. Teman Barra itu kini dipekerjakan di tempat hiburan untuk melayani hidung belang. Rangga sempat protes kepada orang yang sudah menjebak temannya itu. Tapi rupanya teman yang dibelanya itu berhutang 100 juta.
"Aku pernah menawarkan pada temanku ini, aku akan berhutang 100 juta dan akan membebaskannya. Tapi teman yang kubela ini mengaku bahwa dia sudah menikmati pekerjaannya dan tidak akan pergi dari sana. Huft, sia-sia usahaku!" keluh Barra.
Alenna ikut prihatin. Dia bisa merasakannya karena dia adalah seorang wanita. Alenna bahkan sempat membayangkan dirinyalah yang ada di posisi si wanita yang dimaksud Barra.
"Sabar. Niatmu sudah baik dengan berusaha membantu temanmu keluar dari sana. Niat baik selalu berbuah manis," tutur lembut Alenna.
"Terima kasih semangatnya. Terima kasih sudah mendengar ceritaku juga," kata Barra.
"Barra, apa kamu masih berniat membantu temanmu?" tanya Alenna.
"Tentu saja. Aku ingin dia berada di lingkungan yang baik. Dia bahkan dulu berhijab sepertimu, tapi sekarang ... begitulah. Tapi, dianya ngeyel nggak mau. Lagipula aku juga nggak punya uang sebanyak itu. Berhutang pun mau kemana?" Barra benar-benar putus asa.
"Masalah uang akan aku bantu. Sebentar, aku hubungi seseorang untuk mengurus ini," terang Alenna.
Barra mengira Alenna hanya sedang menghiburnya. Barra sama sekali tidak tahu bahwa Alenna adalah horang kaya, dan menjabat dalam posisi penting di perusahaan. Kini, Barra hanya memperhatikan Alenna yang sedang serius menelepon seseorang.
"Bagaimana, Paman? Bisa?" tanya Alenna usai penjelasan singkatnya.
Alenna tampak mengangguk-angguk mendengar penjelasan Paman Li. Alenna juga sempat meminta alamat tempat teman Barra berada untuk disampaikan pada Paman Li.
"Paman Li jangan sendirian. Ajak bodyguard sewaan ayah. Siapkan pula hitam di atas putih. Alenna ingin dia kembali ke lingkungan yang baik," terang Alenna.
Jeda sejenak, Alenna kembali meminta ciri fisik dan nama lengkap teman Barra. Alenna menyampaikan semua dengan detail pada Paman Li.
"Terima kasih banyak, Paman. Alenna tunggu kabar selanjutnya." Mimik wajah Alenna tampak lebih baik setelah mendengar kesanggupan Paman Li.
Telepon dimatikan.
"Alenna, maaf. Aku berteman denganmu sebenarnya bukan untuk ini. Ah, gimana ya? Aku jadi nggak enak hati sekarang," aku Barra. Dia mulai menyadari bahwa Alenna adalah horang kaya.
"Santai saja. Bisa jadi ini sudah bagian dari takdir-Nya. Eh, ini sudah mau dhuhur. Ke masjid dulu, yuk! Kita doakan agar semua dimudahkan," tutur lembut Alenna.
Barra tersentuh. Pikirnya, baru kali ini dia bertemu gadis sebaik Alenna.
***
Barra selesai sholat berjamaah. Dia menunggu Alenna di dekat mobil. Barra menunggu Alenna cukup lama, karena di dalam masjid Alenna masih berdzikir sembari berdoa untuk segala halnya. Hingga kemudian, Alenna kembali ke mobilnya.
"Mau kuantar pulang? Atau mau ikut aku makan siang?" Alenna menawarkan pada Barra.
Barra saat itu sadar. Kemungkinan kalau dia ikut, khawatirnya Alenna akan makan di tempat mahal. Sedangkan uang di dalam dompetnya meronta. Barra pun memutuskan untuk menggeleng saja.
"Ikut saja, yuk! Sambil menunggu kabar dari Paman Li," saran Alenna.
Barra pun memutuskan untuk ikut setelah bergelut dengan pikirannya.
Sesampainya di restoran, Barra sungguh tak menduga bahwa Alenna hanya memesan ayam geprek sambal ijo dan segelas es jeruk. Padahal banyak menu lain yang lebih lezat di restoran itu.
"Aku salut padamu. Meskipun kamu kaya, tapi kamu sepertinya terbiasa dalam kesederhanaan. Seperti ayam geprek ini!" Barra memuji.
"Terima kasih pujiannya, Barra. Dulu waktu aku di Jerman, aku terbiasa dengan barang berkelas. Tapi sejak ikut keluarga, ketemu teman-teman baik di sana, semakin lama aku semakin ikut ketularan baiknya. Tunggu sampai kamu lihat aku makan nasi goreng petai." Alenna terkekeh. Dia teringat Mario yang pernah berjuang membuat nasi goreng petai demi menarik perhatian Anjani.
Barra takjub. Dalam hati dia bersyukur bisa ditakdirkan mengenal Alenna.
"Oya, kamu tinggal di mana?" tanya Alenna.
"Di daerah perkampungan sekitaran sini. Aku merantau di sini. Alhamdulillah, tiap bulan masih bisa kirim uang ke orangtua meski hanya beberapa." Barra jujur tentang kehidupannya.
"Kerja di mana?" tanya Alenna lagi.
"Di cafe. Jadi pelayan. Kadang juga antar orderan online ke pelanggan yang pesan makanan," jelas Barra lagi.
"Kamu sendiri tinggal dan kerja di mana?" tanya Barra balik.
"Aku tinggal di apartemen. Jauh dari sini. Aku kerja di perusahaan di pusat jalan sana," terang Alenna.
Barra yang tahu daerah itu dengan betul pun lekas bertanya-tanya lagi. Dari obrolannya itu Barra tahu bahwa Alenna menjabat sebagai wakil manajer.
"Ma-maaf, Nona! Saya tidak tahu bahwa Nona wakil manajer di sana." Barra tampak ketakutan. Takut dipecat.
Sebenarnya cafe tempat Barra bekerja terlibat kerjasama dengan perusahaan Alenna. Dana pembangunan cafe dari sanalah asalnya. Barra mendadak takut dipecat karena dirinya sok akrab pada Alenna.
"Ih. Kamu ngapain sih. Udah biasa aja. Aku niat bantuin teman kamu itu, kok. Satu lagi. Panggil aku Alenna," pinta Alenna.
Barra akhirnya bersikap biasa. Dia semakin mengagumi sosok Alenna.
Tak lama kemudian, Paman Li kembali memberi kabar. Semua sudah beres. Hitam di atas putih telah disepakati. Teman Barra sudah tidak terikat di sana. Namun, Paman Li menjelaskan bahwa teman Barra tidak mau meninggalkan tempat itu meski sudah dinyatakan bebas hutang tanpa ikatan apa pun lagi di sana.
"Terima kasih banyak, Paman Li. Simpan baik-baik berkas hitam di atas putihnya. Sisanya, Alenna yang akan mengurusnya."
Sejenak, Alenna mendengar nasihat Paman Li via telepon.
"Alenna akan hati-hati. Tidak perlu bodyguard juga. Nanti Alenna kabari lagi. Terima kasih, Paman. Assalamu'alaikum."
Telepon dimatikan. Alenna menyampaikan semuanya pada Barra. Alenna dapat melihat jelas perubahan mimik wajah Barra, bahagia.
"Ayo kuantar menjemput temanmu. Mungkin saja setelah mendengar kata-katamu dia jadi berubah pikiran." Alenna membuat harapan.
"Baiklah. Ayo kita ke sana! Tapi, kamu jangan kaget ya lihat tempatnya." Barra khawatir.
"Insya Allah."
***
Alenna gagal untuk tidak kaget. Tempatnya berada saat ini sungguh tak dapat dia duga sebelumnya. Tampak depan mirip cafe. Bahkan banyak orang mengiranya itu cafe. Akan tetapi, setelah melewati pintu khusus, akan dijumpa semacam bar.
Lampu di sana remang-remang. Terlihat beberapa lelaki sedang duduk mesra bersama teman wanitanya. Parahnya lagi, Alenna di sana sangat mencolok dengan hijab dan wajah bule cantiknya.
"Alenna, maaf. Kalau kamu tidak mau ikut jangan dipaksa," kata Barra.
"No problem. Ayo, aku ingin tahu temanmu itu!" Alenna bersikukuh.
Alenna memperhatikan Barra yang sedang bertanya keberadaan temannya. Setelah mendapat petunjuk, Alenna terus melangkah mengikuti Barra. Semakin jauh, mulai terdapat sekat-sekat ruangan. Ada pintu yang dibiarkan terbuka, ada yang tertutup. Sedari tadi banyak dijumpa paras cantik berpakaian terbuka. Hingga kemudian, sampailah mereka berdua di sebuah ruangan yang bertuliskan VIP.
"Barra, temanmu ada di dalam sini?" tanya Alenna takut-takut. Mendadak dirinya khawatir. Harusnya dia menuruti saran Paman Li untuk membawa bodyguard bersamanya.
"Iya. Katanya di dalam sini. Semoga tidak sedang ada yang lain," doa Barra.
Semakin mendekat ke pintu, yang terdengar justru suara erangan. Alenna seketika menghentikan langkahnya. Dia takut untuk masuk.
"Tidak apa-apa kamu di sini saja. Biar aku yang masuk," saran Barra.
Alenna mengangguk setuju. Namun, tiba-tiba saja pintu terbuka karena ada wanita yang hendak keluar membawa gelas-gelas kosong. Bukan itu yang membuat Alenna kaget, melainkan pemandangan di sofa dalam ruangan itu.
Terlihat seorang pria masih berpakaian lengkap, hanya bagian resletingnya saja yang terbuka. Di pangkuan pria itu, seorang berlipstik merah menyala, tanpa sehelai kain tengah membuat ritme cepat sambil merangkul si pria yang sedang keenakan. Tiba-tiba saja pria itu menoleh melihat ke arah pintu.
"A-len-na," lirihnya.
"Vero!"
Bersambung ....
Mampir juga yuk ke novel Cinta Strata 1. Kisah Alenna dan Rangga bermula dari sana. Like, Vote, Rate5, Fav, dan tinggalkan jejak komentar kalian. See You.
Enjoy Reading, dan terima masih sudah mampir.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Bagus Effendik
hadir
2021-01-24
0
VaLe~
5 like kak
semangat
jaga kesehatan kak
2021-01-17
0
Muhammad Ahza
Banyak yg suka Alenna ya?
2021-01-01
0