* CAFE AND RESTO.
Di dalam sebuah ruangan yang nampak terdengar hening, terlihat Ayuka nampak sedang membereskan beberapa berkas di atas mejanya, sejak kemarin ia di sibukkan oleh pekerjaan yang menumpuk, sampai siang ini ia masih bergelut dengan beberapa berkas yang tersisa. Sesekali mata Ayuka melirik ruangan Managernya yang sedari tadi nampak terlihat sepi, sejak pagi tadi ia belum melihat Bian keluar dari ruangannya.
"Apa yang salah denganmu, biasanya setiap pagi atau siang kau akan datang untuk menyapaku," Gumam Ayuka yang tiba tiba merasa gelisah. Untuk sesaat Ayuka tertegun dalam diam seraya melayangkan pandangannya keluar jendela seolah ia bisa mendapatkan jawabannya di sana, namun ia sama sekali tidak mendapatkan apapun, dan pikirannya masih terus tertuju kepada Bian.
"Apa kau benar-benar akan menghindariku? Tidak.. Aku tidak ingin kehilanganmu." Guman Ayuka yang langsung beranjak dari duduknya, dan terus melangkah keluar menuju ruangan Managernya.
Tok.. Tok.. Tok...
Ayuka mengetuk pintu itu perlahan, membukanya dan langsung melangkah masuk tampa menunggu jawaban dari sang pemilik ruangan yang kini tengah menyambut kedatangannya dengan senyum yang seperti biasa, manis dan teduh.
"Bi,"
"Hai Beby."
"Apa kau sibuk?"
"Lumayan.. Ada apa? Kau merindukanku?" Goda Bian tersenyum sambil menunjukkan deretan giginya yg putih.
"Hmm.. "
"Benarkah?"
"Kau bahkan tidak mengunjungi ku pagi ini" protes Ayuka memautkan bibirnya yang di balas tawa oleh Bian yang langsung menutup laptopnya dan beranjak mendekati Ayuka yang masih duduk di sofa, dan ikut duduk di samping gadis itu.
"Maaf... " ucap Bian perlahan.
"karena itu adalah kebiasaan kamu tiap pagi, aku hanya sedikit sedih saat kali ini kau tidak melakukannya lagi." balas Ayuka.
"Beby, aku benar-benar sibuk pagi ini, bukannya mulai besok kau akan cuti karena dua hari lagi kau akan menikah, jadi aku yang akan meng-handle semua pekerjaan Asistenku selama cuti."
"Maafkan aku." Balas Ayuka menunduk.
"Apa yg kau pikirkan?" tanya Bian perlahan, seolah mengerti dengan kegelisahan Ayuka saat ini.
"Tidak ada, aku hanya.... "
"Baby.. Apapun yg kau pikirkan, semua tidaklah benar. Aku baik baik saja, seperti yang kau lihat sekarang."
"Aku tau.... Aku hanya takut." balas Ayuka sambil meremat jari-jari tangannya.
"Apa yg kau takutkan?"
"Kehilanganmu."
"Kau tidak akan kehilangan aku, sekalipun kau sudah menikah dan memiliki keluarga, aku masih sahabat terbaikmu, tidak akan ada yang berubah."
"Aku tau, aku sangat egois, tapi aku benar benar takut kehilanganmu, selain kak Arka hanya kau yang aku miliki."
"Hei.. sebentar lagi kau akan segera memiliki seorang suami, apa kau lupa? kau akan menikah tidak lama lagi, bukankah seharusnya kau bahagia?"
"Hmm.. Aku tau,"
"Kau tidak akan sendiri." Balas Bian seraya mengusap pucuk kepala Ayuka. Belajar untuk mengikhlaskan Ayuka adalah hal yang sangat sulit buat seorang Bian yang sudah sangat mencintai Ayuka. Bahkan di saat terpuruk sekalipun ia harus berusaha untuk tetap tersenyum di hadapan gadis itu, untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.
"Baiklah.. Aku akan kembali untuk makan siang, apa kau tidak akan makan bersamaku?" tanya Ayuka lagi.
"Sepertinya tidak sekarang Beby, lihatlah.. Pekerjaanku benar benar menumpuk." Jawab Bian menunjukkan berkas menumpuk di meja kerjanya sambil menautkan bibirnya. Ayuka hanya bisa terkekeh saat melihat sikap Bian yang sedikit manja.
"Ya sudah.. Tapi ingat, jangan sampai tidak makan."
"Iyaa Beby." Jawab Bian mengangguk, sambil terus melihat punggung sempit Ayuka yang terus berjalan meninggalkannya, hingga bayangan Ayuka hilang dari pandangannya.
* * * * *
Malam yang cukup dingin di akhir bulan April, padahal sebentar lagi musim semi akan segera tiba, namun udara malam masih sangat dingin di tambah hembusan angin malam yang berhembus menyapa jejeran pohon maple di taman itu. Ayuka terdiam di bawah rindangnya pohon maple, menyandarkan tubuhnya di sebuah kursi, membiarkan angin malam menyapa wajahnya.
Untuk sesaat Ayuka menatap kursi yang masih nampak kosong di sisi sebelah kanannya, sambil meraba kursi tersebut Ayuka tersenyum lirih dengan mata yang mulai berkaca. Biasanya ia selalu melihat sosok Radika yang sedang duduk di kursi itu sambil menikmati hembusan angin, bahkan Radika akan mulai terlelap tampa menghiraukan daun-daun maple yang berguguran mengenai wajahnya karena tiupan angin. Tapi malam ini, kursi itu terlihat kosong seperti hari hari kemarin.
Ingatannya kembali tertuju pada kenangan dua bulan yang lalu, di mana saat itu ia masih bisa berkomunikasi dengan baik dengan Radika, ia masih bisa tertawa, dan masih bisa menyentuh pria itu. Dimana Ayuka selalu merasa bahagia karena masih bisa melihat senyum indah itu, menikmati tatapan teduh itu, sehingga ia selalu berharap bisa bersama pria itu, tapi sekarang, ia sepertinya akan kehilangan semua itu, semua terasa sangat berbeda, meski di satu sisi ada kebahagiaan besar di sudut hatinya karena impiannya yang ingin menjadi bagian hidup dari pria itu terkabul. Tapi di sisi lain ia merasa sakit karena telah kehilangan senyum dari pria itu, dia bahkan tidak pernah lagi melihat teduhnya tatapan pria itu, dan yang membuatnya ingin menangis sekarang karena sekalipun pria itu tidak pernah memanggil atau menyebutkan namanya.
"Apa aku benar-benar tidak ada di hatimu? Kau bahkan tidak pernah ketaman ini lagi, padahal aku tau, tempat ini adalah tempat yang paling kau sukai."
Guman Ayuka terus menatap kursi kosong di sampingnya.
"Kenapa aku tidak berhak memiliki hatimu? Kenapa kau tidak ingin membuka hatimu untukku, kenapa kau tidak mempercayakan hatimu untukku Radika, kenapa... " Gumam Ayuka, air matanya kembali menitik dari pelupuk matanya, ia kembali menangis karena mulai merindukan senyum pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu.
"Yuka.."
"Kakak"
"Apa yang kau lakukan malam-malam begini? Di sini sangat dingin, kau bisa masuk angin." Tanya Arka yang tiba-tiba muncul dan langsung melepaskan mantel yang di kenakannya untuk menutupi tubuh Ayuka yang dengan bergegas mengusap air matanya dan langsung memasang senyum semanis mungkin pada kakaknya yang sudah duduk di sampingnya.
"Lihatlah, hidungmu sudah memerah, kau bisa terkena flu." ucap Arka seraya mengusap pucuk kepala Ayuka.
"Maaf kak, Yuka lupa membawa sweater" Balas Ayuka terkekeh.
"Apa kau bahagia? Bahkan sebentar lagi kau akan menikah."
"Iya kak, Yuka sangat bahagia."
"Syukurlah.. Kakak harap bisa selalu melihat senyum di wajahmu seperti sekarang ini."
"Dan kakak akan mendapatkannya, Yuka akan selalu tersenyum buat kakak." balas Ayuka dengan senyuman yang kini menghiasi wajahnya.
"Apa kau bisa berjanji untuk itu?"
"Yuka janji kak, akan selalu tersenyum seperti ini,"
"Kakak bahagia mendengarnya, berjanjilah untuk selalu bahagia, maka Ayah dan ibu juga akan merasa bahagia di sana."
"Kakak,"
"Iya sayang."
"Yuka merindukan Ayah dan Ibu."
"Hmm, begitupun dengan kakak, kakak juga sangat merindukan mereka, mungkin sekarang mereka sedang berbahagia karena melihat anak gadis mereka yang cantik ini sebentar lagi akan menikah." Ucap Arka tersenyum meraih tubuh adiknya untuk di dekapnya. Arka menengadah, tatapannya jauh ke atas langit yang gelap, namun di atas sana terdapat dua Bintang yang terlihat begitu terang di bandingkan Bintang yang lainnya membuat Arka tersenyum.
"Ayah.. Ibu.. Arka berjanji akan selalu menjaga Yuka. Bukankah seharusnya kalian sudah bisa tenang di sana?" Gumam Arka seraya mempererat dekapannya.
* * * * *
Sedang di satu tempat yang berbeda, di sebuah ruangan yang berukuran cukup luas dengan penerangan seadanya, Radika merebahkan tubuhnya di sebuah sofa pikirannya jauh menerawang, semakin dekat hari pernikahannya semakin besar pula rasa gelisah di hatinya. Ia mencoba untuk memejamkan kedua bola matanya.
"Ibu.. Aku akan menikah. Apakah aku sudah mengambil keputusan yang benar? Aku merasa sangat takut sekarang. Aku takut melukainya, aku takut dia tidak akan bahagia, aku takut, aku akan seperti Ayah yang telah menyakiti ibu, dan aku takut dia akan pergi meninggalkanku seperti ibu yang meninggalkan Ayah."
Gumam Radika semakin gelisah.
"Bantu aku ibu, apa yang mesti aku lakukan untuknya, aku masih terlalu takut. Aku bahkan sudah berubah menjadi seorang pengecut sekarang."
Lirih Radika yang lagi lagi bergumam, berharap ada seseorang yang bisa mendengar dan menolongnya saat ini, sebenarnya ia hanya ingin mendengarkan kalimat bahwa semua akan baik-baik saja. Namun ia sadar, malam ini ia benar benar sendiri di ruangan ini. hanya foto ibunya yang sejak tadi menemaninya.
* FLASHBACK.
"Ibu.... Kenapa ibu menagis?" Tanya Radika kecil pada ibunya yang saat ini tengah menangis.
"Anakku, kemarilah.."
"Apa ibu butuh pelukan? Dika akan memeluk ibu, tapi ibu janji, setelah Dika peluk, Ibu harus berhenti menagis."
"Ibu janji sayang... " Ucap Adena seraya mengangguk meraih tubuh kecil putranya dalam pelukkannya, meski ia tau pelukan hangat putranya itu tidak mampu membuat air matanya untuk berhenti menetes.
"Ibu... Dika merindukan Ayah," Ucap Radika perlahan di dalam pelukan ibunya.
"Jangan sebut nama Ayah lagi Dika,"
"Tapi kenapa Bu? Apa karena tadi Ayah memeluk bibi itu?"
"Dika.. Ayah tidak menyayangi kita lagi, Ayah tidak menginginkan Dika dan ka Ziyi lagi, jadi lupakan Ayah, apa Dika mengerti?"
"Tapi Dika sangat merindukan Ayah hhuuaaaaa.... Huuaaaaa.... " Rengek Radika dengan tangisnya yang kembali terdengar.
"Anakku.. Berhentilah menangis. Ibu hanya tidak ingin Dika nantinya seperti Ayah." Rayu Adena sambil mengusap wajah Dika yang basah karena air mata.
"Kenapa ibu? Apa karena Ayah sudah membuat ibu menangis?" Tanya Radika dengan wajah polosnya.
"Ayah telah menyakiti hati ibu."
"Apa ini sakit?" Tanya Radika seraya menyentuh dada ibunya yang ia yakini itu adalah hati ibunya.
"Dika jangan seperti Ayah, berjanjilah, jangan pernah menyakiti hati seseorang yang Dika sayangi, apa Dika mengerti?"
"Iya ibu, Dika janji, Dika tidak akan menyakiti hati ibu, hati kak Ziyi dan hati Ayah." Ucap Radika mengangguk.
"Dika.. Jangan pernah buat kesalahan seperti Ayah, perlakukan orang yang Dika cintai dengan baik. Namun, jika suatu saat Dika tidak bisa berjanji untuk tidak menyakiti mereka, sebaiknya jangan dekati mereka. Anak pintar, suatu saat nanti di mana Dika sudah dewasa, Dika pasti akan mengerti dengan perkataan ibu sekarang." Ucap Adena memeluk putranya.
"Jangan mencintai seseorang jika akhirnya nantinya kau akan menyakitinya." Bisik Adena mengusap punggung putranya lembut.
"Ibu.. Dika tidak ingin seperti Ayah yang buat ibu menagis, Dika tidak mau seperti Ayah hhuuaaaaa.... Tidak mau..... " Tangisan Dika semakin kencang hingga membuat Ziyi kecil yang baru pulang dari sekolah berlari menghampiri Adik dan ibunya.
"Ibu.. "
"Ziyi.. Kau pulang nak?"
"Kenapa ibu menagis?" Tanya Ziyi mengusap air mata ibunya dan langsung merangkul tubuh Dika yang masih terisak.
"Mana Ayah? Bukankah hari ini Ayah akan pulang?" Tanya Ziyi lagi seraya menatap wajah ibunya yang kembali terisak.
"Ayah sudah menyakiti ibu huuaaaa..." Jawab Radika kembali menagis.
"Ibu... "
"Ziyi, bawah adikmu kekamar, biar adikmu istirahat."
"Tapi Bu.. "
"Sayang.. Beri ibu ruang sebentar."
"Baiklah ibu," Jawab Ziyi mengangguk dan langsung menggendong Diak yang masih terisak, membawanya kekamar dan merebahkan tubuh kecil adiknya di atas tempat tidur kemudian di selimutinya.
"Dika tidur ya?" Pinta Ziyi seraya mengusap pucuk kepala adiknya lembut.
"Tapi Dika tidak ingin tidur,"
"Ini sudah waktunya Dika tidur, katanya ingin cepat besar seperti Ayah,"
"Tapi Dika tidak ingin sperti Ayah," Teriak Radika yang membuat Ziyi tersentak karena kaget dengan sikap kasar Radika yang tidak seperti biasanya.
"Hei.. Ada apa? Kenapa adik kakak yang tampan ini Jadi pemarah?" Tanya Ziyi lembut, berusaha untuk menenangkan hati adiknya yang ia tahu saat ini Radika kecil sedang marah.
"Ayah jahat.. Ayah membuat ibu menagis kak, Ayah menyakiti hati ibu." Jawab Radika masih dengan nada tingginya.
"Dika sayang.. Jangan seperti itu,"
"Tapi Dika tidak suka Ayah memeluk bibi itu kak," protes Radika yang seketika membuat Ziyi kembali terkejut mendengar perkataan Radika.
"Bi... Bibi???"
"Tadi di ruangan kerja Ayah, Dika sama ibu lihat Ayah memeluk Bibi itu, Ayah juga menyakiti bibi itu karena bibi itu juga sedang menagis, Ayah jahat." Jawaban polos Radika yang membuat Ziyi terdiam sejenak, ia memeluk tubuh adiknya erat, pikirannya mulai gelisah memikirkan ibunya.
"Apakah ini sebabnya ibu menangis? Tapi.. Kenapa Ayah tega." Gumam Ziyi yang masih memeluk tubuh adiknya.
"Dika.. Jangan membenci Ayah.. Ayah juga tidak.... " Kalimat Ziyi menggantung saat Radika melepaskan pelukannya.
"Pokonya Dika tidak mau sperti Ayah... Dika tidak mau hhuuaaaaa.. Huaaaaaa...."
"TIDAAAK...... " Radika tersentak dari lamunan panjangnya, keringat dingin mulai bercucuran membasahi tubuhnya.
"Aku akan baik baik saja... Aku akan Baik baik saja.... " Guman Radika meremat pahanya sendiri. Dengan cepat Radika berlari menuju ke kamarnya, membuka sebuah laci yang di dalamnya terdapat banyak jenis obat penenang. Dengan cepat di telannya beberapa pil itu sambil menunggu pikirannya kembali tenang, sambil menyandarkan tubuhnya di pinggiran tempat tidurnya, di rasakan pandangannya mulai kabur, kepalanya juga mulai di rasakan pusing, dan juga mengantuk.
pandangan matanya kosong jauh menerawang ke arah langit-langit kamarnya. Kata kata ibunya memenuhi pikirannya, membuatnya kembali menitikkan air matanya. Hingga pil yang lima menit lalu di minumnya membuatnya terlelap dengan posisinya yang masih duduk bersandar di pinggiran ranjang.
* * * * *
* TO BE CONTINUED.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Bintang Desember
Dika 😭😭😭😭😭
2021-03-31
1
Mirna Rayn
ceritax keren
2021-02-15
1
Mirna Rayn
☺☺☺☺
2021-02-15
1