CINTA IBU
Ibu adalah ciptaan terindah karena di dunia yang egois ini, dia adalah satu-satunya yang selalu ingin melihatmu bahagia. Daningrum berteriak-teriak memanggil Ken Darsih yang direbut Dadhungawuk secara paksa dari dekapannya. Wanita malang itu hendak mengejar dan merebut puterinya kembali, namun beberapa laki-laki memegangi tubuhnya dengan kuat. Mereka sengaja memisahkan seorang ibu dari puterinya.
“Lepaskan! Kembalikan anakku!”
Daningrum meronta sekuatnya. Tapi tenaga beberapa laki-laki itu bukanlah tandingannya. Dia akhirnya terduduk lemas sambil memanggil-manggil anaknya.
“Ken Darsih…Ken Darsih ..” panggilnya. Semakin lama suaranya semakin lemah. Kedua tangannya masih menggapai ke udara. Tapi Ken Darsih terlalu jauh dari jangkauannya. Apalagi Dadhungawuk sudah membawanya hilang di kegelapan hutan. Akhirnya ibu muda itu jatuh pingsan ditengah api yang mulai bergerak membakar rumahnya.
“Wah, Daningrum pingsan. Bagaimana ini?” tanya salah satu warga.
“Sudah tinggalkan saja. Ayo kita lari menyusul ki Lurah,” sahut yang lainnya.
Tanpa mempedulikan nasib Daningrum, mereka pun ikut lari berhamburan menyusul Dadhungawuk dan meninggalkan tubuh Daningrum begitu saja. Ditengah panasnya api yang terus berkobar. Rasa kebencian yang membuncah membuat mereka kehilangan rasa kemanusiaan.
Api semakin ganas membakar rumah kecil janda muda itu. Hembusan angin musim kemarau membuat nyala api merambat dengan cepat kemana-mana. Beberapa dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu bahkan sudah roboh. Tak butuh waktu lama rumah kecil itu pasti akan hangus terbakar bersama pemiliknya.
“Biadab!” satu teriakan tiba-tiba terdengar dari kegelapan. “Teganya kalian semua!”
Lalu sesosok bayangan melompat menerjang api dan masuk ke dalam rumah. Dengan sigap dia mengangkat tubuh Daningrum ke atas pundaknya lalu membawanya keluar. Melompati api tepat disaat atap rumahnya yang terpanggang ambruk ke tanah.
Bum! Bara api terpencar kemana-mana.
Pada saat bersamaan, dia melompat menyelamatkan diri. Lalu dengan cepat dia berlari menembus kegelapan menuju ke sebuah bangunan besar dimana terdapat api abadi. Ya, sosok misterius itu membawa tubuh Daningrum ke Sanggar Pamujan dimana Eyang Senthir atau sang Acarya sedang menyelesaikan semedinya. Di taruhnya tubuh ibu malang itu di bilik perawatan. Kemudian dia keluar lagi dan hendak berlari menuju hutan Kecipir untuk mengejar Dadhungawuk.Tapi mendadak Daningrum terbangun dan memanggil namanya.
“Kang Tusin! Dimana anakku?”
Tusin langsung mengubah niatnya dan berbalik menghampiri Daningrum yang jatuh pingsan kembali. Perempuan yang diam-diam disayanginya itu lebih menarik perhatiannya ketimbang menyelamatkan Ken Darsih.
***
Ken Darsih sangat sedih berpisah dengan ibunya. Dia takut sekali ditinggal di hutan sendirian. Apalagi pohonnya besar-besar dan tinggi, membuat hutan menjadi gelap.
“Ibuuu….ibuuuu….!!!!” teriaknya.
Suaranya menggema menembus kegelapan malam di hutan Kecipir. Beberpa hewan malam penghuni hutan sempat terbangun. Mereka salang mengeluarkan suara bersahut-sahutan. Burung, monyet, babi hutan, anjing liar, bahkan harimau ikut mengaum. Beberapa saat suasana hutan menjadi ramai. Tubuh Ken Darsih semakin meringkuk ketakutan.
“Ibuu, ibuu,” panggilnya lagi dengan suara yang pelan.
Lalu diam menunggu. Tapi ibunya tak juga datang menghampirinya. Malam semakin dingin dan menyeramkan. Gadis malang itu menggigil berbalut baju tipis yang sudah robek.
“Ibu..Ibu..aku takut ibu,” bisiknya semakin lirih.
Gadis kecil itu terus menangis semalaman sampai air matanya habis. Karena bingung dan kelelahan akhirnya Ken Darsih tertidur.
Lama sekali dia tidur. Menjelang pagi baru dia terbangun. Perutnya terasa lapar dan tenggorokannya kering. Dia kembali memanggil-manggil ibunya, tapi tak ada lagi suara yang keluar dari mulutnya. Keadaan disekelilingnya masih begitu gelap. Tidak ada cahaya yang tertangkap matanya. Yang ada hanya hitam dan kegelapan yang menakutkan. Tangannya meraba-raba kian kemari. Lalu merebahkan diri.
“Ibu…tolong aku, ibu aku lapar”, katanya sambil menutup matanya kembali.
Nafasnya berhembus pelan. Rasa takutnya sudah tidak terlalu dipedulikan. Perutnya terus berbunyi minta diisi, membuatnya tetap terjaga. Tapi dia tidak tahu harus minta makan pada siapa. Biasanya ibunya yang menyediakan sarapan di pagi hari.
Saat sinar matahari mulai menembus kegelapan hutan dia bangkit dari tidurnya, lalu duduk bersandar di sebuah pohon besar.
“Ibu, dimana aku?” bisiknya. “Aku lapar sekali.”
Bola matanya berputar ke atas dan ke bawah melihat pepohonan yang menjulang tinggi.
Tidak ada semak belukar. Hanya pohon perdu yang merambat di beberapa dahannya. Lalu pandangannya ditebarkan, mengamati keadaan sekitarnya.
“Rasanya aku belum pernah ke tempat ini,” pikirnya.
Beberapa saat dia duduk diam tidak tahu harus berbuat apa.
“Duk!”
Sebuh benda kecil dan ringan jatuh di keningnya lalu berguling ke tanah. Dinginnya air embun mengalir di atas keningnya. Perlahan dambilnya benda itu dan diamatinya. Seperti buah kecipir yang sering dimasak ibunya. Sebuah kecipir muda berwarna hijau terang. Diciumnya buah kecipir itu. Lalu didekatkan ke mulutya, baunya agak anyir. Dihisapnya air embun yang menempel dikulit kecipir itu dalam-dalam.
Hmh, segar sekali. Bisa sedikit mengobati rasa dahaganya. Didorong rasa lapar digigitnya kecipir muda itu. Hmm..enak sekali, kata hatinya. Mungkin saking laparnya.
“Buah ini enak sekali ibu,” gumamnya.
Sisa buah kecipir yang ada ditangannya langsung ditelan semuanya. Dia memetik lagi buah kecipir muda di atas kepalanya, dengan rakus dimakannya buah itu bulat-bulat.
“Hrm..enak sekali,” mulutnya sampai mengeluarkan cairan hijau buah kecipir.
Setelah perutnya terisi, gadis kecil itu mulai berpikir. Dia mengamati sekelilingnya. Banyak buah kecipir muda yang bergelantungan diatasnya. Dia mengangguk-angguk.
Sekarang dia tidak takut lapar lagi. Lalu dia berdiri. Diambilnya buah-buah kecipir muda itu sebanyak jangkauan tangannya. Lalu dia mulai memakannya satu persatu. Sampai perutnya kenyang barulah dia berhenti.
***
Di Sanggar Pamujan, Daningrum sudah mulai sadar. Perlahan dia membuka matanya. Rasanya dia tidak asing dengan tempat ini. Sanggar Pamujan? Dia berada di Sanggar Pamujan? Lama dia terdiam sambil mengingat-ingat apa yang terjadi dengan dirinya. Ketika dia ingat Ken Darsih langsung dia bangkit dari tidurnya.
“Ken Darsih!” teriaknya keras sekali.
Suara teriakannya sampai membangunkan Acarya dari semedi panjangnya. Padahal tinggal sepuluh hari lagi seharusnya dia menyelesaikannya. Rupanya Acarya kaget mendengar suara Daningrum di Sanggar Pamujan.
“Daningrum? Kenapa dia di ada disini? Apa yang terjadi?” beribu pertanyaan menghampiri benak sang Acarya. “Dimana Ken Darsih?”
Acarya tahu, Daningrum tidak mungkin membawa puterinya ke Sanggar Pamujan. Ada kekuatan terselubung yang melindungi bangunan suci ini yang akan menolak jiwa manusia setengah siluman seperti Ken Darsih.
Setelah beberapa saat terdiam dalam pikirnya, akhirnya Eyang Senthir berdiri.
Perlahan dia keluar dari biliknya dan berjalan menuju bilik para cantrik. Nampak Daningrum sedang duduk bersedeku, memeluk lututnya sambil menangis. Sementara wajahnya dibenamkan di dalam kedua lututnya.
“Ken Darsih..anakku..dimana kamu sekaranng?” tangisnya.
Eyang Senthir terhenyak sesaat. Tapi kemudian masuk bilik menghampiri Daningrum.
“Daningrum? Apa yang terjadi anakku?”
Mendengar suara Acarya, suara tangis Daningrum semakin keras.
Terimakasih berkenan membaca karyaku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Nona Bucin 18294
like buat kakak author
2021-05-29
1
Nona Bucin 18294
Ga sabar Ken Darsih gedenya kaya gimana 😊
2021-05-29
1
Fira Ummu Arfi
senangaaattt
2021-05-17
2