KECANTIKAN ADALAH KUTUKAN
Bagaikan bunga yang tak pernah memimpikan kumbang untuk mengisap madunya. Karena segala kecantikan yang dimilikinya hanya akan dipersembahkan untuk lebah yang disukainya. Namun, takdir berkata lain. Kecantikan tidak berarti dia punya banyak pilihan, karena kecantikan bisa menjadi kutukan yang membawa manusia kepada derajat yang hina.
Melihat puteri kesayangannya sedang diperlakukan tak senonoh oleh Dadhungawuk, murkalah ki Jogoboyo. Dengan keris terhunus dia menerjang berandal Jalatunda itu. Dadhung yang belum menyadari keadaan, hanya melompat untuk menghindari serangan ki Jogo.
“Eh! Apa yang kau lakukan ki Jogo? Kenapa kau menyerangku?” teriaknya.
Tapi Ki Jogoboyo yang sudah gelap mata, tak mau mendengar kata-katanya. Dia bersiap menyerang pemuda berandal itu kembali.
“Dasar durjana sampah! Hari ini hidupmu selesai!”
Jogoboyo memutar tubuhnya. Kemudian dengan gerakan yang sangat cepat, dia menusuk ulu hati Dadungawuk yang pertahanannya terbuka.
“Mampus!” teriak Jogoboyo lagi.
Dadhung tidak punya kesempatan untuk menghindar. Namun saat ujung keris itu hampir menusuk jantungnya, tiba-tiba...
Trang!
Keris Jogoboyo ditangkis oleh keris lain, sehingga benturannya menimbulkan percikan api yang cukup besar. Jogoboyo terpental satu langkah ke belakang.
“Tahan amarahmu Jogoboyo! Kita belum tahu duduk persoalannya,” kata Lurah Rekso. Dia berdiri diantara ki Jogoboyo dan Dadhungawuk.
Ki Jogo memandang lurah Rekso dengan wajah yang tegang.
“Jangan menghalangi pandanganku ki Lurah. Pemuda berandal ini telah menodai kesucian puteriku. Dia harus membayar mahal dengan nyawanya,”kata ki Jogo.
Mendengar tuduhan ki Jogo yang dialamatkan kepadanya, Dadhung menggeleng cepat. Dia mencoba membantah semua tuduhan ayah Miryam itu.
“Tidak ki Jogo. Aku tidak melakukan apa-apa,” jawabnya. “Aku menemukannya tergeletak di tepi sungai. Lalu aku pindahkan kesini. Terus aku periksa denyut nadinya.”
“Bajingan tengik! Tak ada yang percaya kata-katamu!” teriak ki Jogo.
Dia bermaksud menyerang lagi. Tapi beberapa orang memegang tubuhnya.
“Sabarlah Jogoboyo. Kita belum tahu duduk permasalahannya. Biarkan Dadhungawuk melewati proses hukum yang adil,” kata Lurah Rekso.
“Percayalah ki Lurah. Aku hanya ingin menolong Miryam, tapi ki Jogo salah paham.”
“Bawa Dadhungawuk ke Balai Desa. Jaga jangan sampai melarikan diri!” perintah Lurah Rekso kepada para pengawalnya.
Dadhungawuk terdiam pasrah. Dengan beberapa pengawal, dia berjalan menuju Bale Desa diiringi pandangan penuh dendam ki Jogoboyo.
Lurah Rekso mendatangi ki Jogo dan menepuk bahunya.
“Jogo, lebih baik sekarang kita selamatkan puterimu dulu. Masalah Dadhung nanti kita bereskan bersama,” kata ki Lurah.
Ki Jogoboyo langsung menengok puterinya yang masih tergeletak pingsan. Dia melepas bajunya untuk menutup tubuh Miryam.
Melihat wajah puterinya yang begitu pucat, kesedihan merayapi laki-laki perkasa itu. Semua salahku, semua salahku, batinnya berulang kali. Dia merasa gagal menjaga puteri satu-satunya itu.
“Maafkanlah ayah nak. Sekarang bukalah matamu,” ucap ki Jogo dengan suara tersendat. “Aku berjanji akan membalaskan sakit hatimu pada pemuda berandal itu.”
“Redakan amarahmu Jogo, berpikirlah yang jernih,” ujar ki Lurah Reksoyudho. “Sekarang kita bawa puterimu ke Sanggar Pamujan, biar diperiksa eyang Senthir.”
Ki Jogo memejamkan matanya, mencoba menahan air matanya yang hampir tumpah. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera diangkatnya tubuh puteri kesayangannya itu. Dengan langkah cepat, dia bawa tubuh puterinya kembali ke desa. Diikuti orang orang lainnya.
Hanya satu orang yang masih tinggal disana. Dia berdiri terpaku dengan wajah dingin membeku. Pemuda itu adalah Santika.
Hatinya dipenuhi pertanyaan dengan apa yang baru saja terjadi dengan Miryam. Sungguh dia tidak bisa menerima kenyataan yang dilihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Kenyataan bahwa gadis yang dicintai telah dinikmati oleh orang lain.
‘Kenapa Miryam dan Dadhungawuk ada di tempat ini? Apakah mereka benar-benar telah melakukannya?’ batinnya.
Dan tiba-tiba dia merasa cintanya telah dikhianati oleh gadis itu.
***
Di sanggar pamujan, Glagah Jenar sudah siuman. Eyang Senthir memberikan minuman sarimadu dan perasan empu jahe dan kunyit untuk memulihkan tenaganya. Walaupun tidak enak rasanya, tapi Glagah Jenar tetap meminumnya.
“Wedhus!” makinya.
Wajahnya dipenuhi amarah dan dendam. Seluruh tubuhnya terasa sakit dan pegal. Bahkan kaki kanannya tidak bisa digerakkan. Seandainya ayahnya tahu apa yang terjadi dengan dirinya, pasti dia akan marah besar.
“Bajingan!” umpatnya lagi. “Tunggu pembalasan ayahku anjing-anjing Jalatunda!”
Suaranya begitu keras keluar menembus dinding Sanggar Pamujan. Tapi Eyang Senthir membiarkannya. Dia tahu pemuda itu tidak akan melakukan apa-apa. Luka-lukanya cukup parah, sehingga tubuhnya menjadi lemah. Justru yang membebani pikirannya adalah bagaimana lurah Reksoyudho menjelaskan masalah ini kepada Panembahan Somawangi.
Sesaat kemudian, Eyang Senthir keluar dari biliknya. Dia seperti mendengar suara ribut-ribut mendatangi sanggarnya. Terlihat, Lurah Rekso, Jogoboyo dan beberapa warga Jalatunda berjalan tergesa-gesa. Dia bergegas menyambut lurah Reksoyudho.
“Kulanuwun Eyang,” sapa Lurah Rekso. “Maaf mengganggu ibadahmu.”
Eyang Senthir menganggukkan kepalanya. Lalu perhatiannya beralih kepada tubuh Miryam yang dipondong oleh Jogoboyo.
“Miryam? Apa yang terjadi ki Jogo? Ayo cepat bawa masuk ke dalam,” katanya.
Jogoboyo membawa tubuh puterinya masuk ke dalam bilik perawatan, diikuti Eyang Senthir. Lurah Rekso menunggu di luar bersama warga lainnya. Rupanya kehadiran mereka juga di dengar oleh Glagah Jenar dari dalam biliknya.
“Siapa itu yang bikin ribut diluar! Apa kalian anjing-anjing Jalatunda?” teriaknya.
Lurah Rekso memandang warganya yang nampak marah mendengar umpatan itu. Kemudian dia menyuruh mereka untuk bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Namun umpatan-umpatan Glagah Jenar masih terdengar jelas di telinga mereka.
Cukup lama Eyang Senthir memeriksa tubuh Miryam. Nampak perubahan dari air mukanya. Berkali-kali pula dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ki Jogoboyo melihatnya dengan wajah yang cemas.
Setelah makan malam, Eyang Senthir duduk di sanggar dengan ki Lurah dan Jogoboyo. Mereka sudah tidak sabar mendengar keterangan sang Acarya.
“Bagaimana hasil pemeriksaanmu, Acarya?”
“Puterimu telah dirudapaksa atau diperkosa oleh kekuatan ghaib yang luar biasa,” katanya kepada Lurah Reksoyudho dan ki Jogoboyo.
Apa!? Ki Jogoboyo dan Lurah Rekso terkejut bukan kepalang. Kedua tokoh desa Jalatunda itu saling berpandangan. Dirudapaksa makhluk gaib?
“Bukan Dadhungawuk pelakunya? Bagimana mungkin?” tanya Jogoboyo penasaran.
“Kecantikan puterimu telah membuat makhluk ini lupa diri. Dia menaruh hati kepada Miryam,” lanjut Eyang Senthir.
“Kemudian menculiknya dan memperkosanya.”
Tubuh ki Jogoboyo seperti limbung. Apa yang dikatakan Acarya benar-benar memukul perasaannya. Itu semua di luar penalarannya.
“Kesucian anakku direnggut oleh makhluk durjana dari alam lain?” tanya ki Jogo tak percaya. “Oh, Hyang Jagad Batara, dosa apa yang telah aku lakukan, sehingga puteriku harus menanggung aib yang begitu berat?”
Dia memang pernah mendengar kisah tentang makhluk gaib yang jatuh cinta dengan manusia. Mereka bahkan sampai menjalin hubungan dan memiliki keturunan. Tapi dia tidak pernah menyangka, hal ini akan terjadi pada puterinya sendiri.
Terimakasih berkenan membaca karyaku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
KIA Qirana
😭😭😭😭
jadi kalau cantik bisa bahaya dong 😭😭 oh no
Ayo lanjut dukungan thor
salam dari
Era Berdarah Manusia
I Firmo
⭐⭐⭐⭐⭐⭐
2021-11-28
0
Rosananda
beberapa like untukmu
2021-09-17
1
Dhina ♑
Syukurlah Dadungawuk bisa lepas dari masalah. Dan sekarang, kasihan Miryam. Apa kira-kira nantinya dia hamil anaknya makhluk itu
2021-08-10
1