NAGABADRA
Ketika kenikmatan di anugerahkan secara terus menerus, maka manusia akan melupakan sang Pemberi nikmat, bahkan membelakanginya dengan sikap yang sombong. Tindakan mereka menjadi ceroboh karena kepercayaan diri yang berlebihan.
Lurah Rekso terdiam. Hatinya dipenuhi rasa heran mendengar penuturan puteranya yang tidak melihat satu pun binatang di alas Salamerta, hutan perburuan yang terletak di perbukitan Kethileng. Aneh rasanya kalau di hutan lebat itu tidak ada binatang.
“Apa kau ingin mengatakan kalau kali ini perburuanmu gagal anakku?”
Santika menggelengkan kepalanya sekali lagi. Kali ini dia tersenyum lebar.
“Aku memang tidak berhasil mendapatkan buruanku, tapi aku mendapatkan buruan yang lebih besar,” katanya. Senyum bangga terukir di bibirnya.
“Oh ya? Apa yang kau dapatkan nak? Kau ketemu gadis cantik di dalam hutan?” canda Lurah Rekso sambil tersenyum.
“Bukan itu maksudku. Aku berhasil membunuh seekor ular ayah. Ular yang sangat besar,” jawab Santika dengan semangat. Wajahnya nampak begitu bangga.
Sebaliknya Lurah Rekso dan Eyang Senthir sangat terkejut mendengarnya. Hampir bersamaan mereka bangkit dari duduknya.
“Apa! Ular besar? Apakah kau memasuki hutan larangan?” tanya ki Lurah. Ada rasa cemas yang tertangkap dari cara bicaranya.
Eyang Senthir terdiam dalam pikirnya. Santika habis membunuh ular besar di alas Salamerta? Padahal alas itu berbatasan langsung dengan hutan Kecipir atau hutan larangan.
Dia menangkap pertanda buruk. Inikah arti dari mimpinya semalam? Matahari kembar yang membakar Jalatunda hingga habis tak bersisa? Kalau benar Santika membunuh ular penghuni hutan larangan, mereka akan menghadapi dua masalah besar. Karena kawasan hutan larangan adalah milik Nagabadra, ular raksasa berkepala dua yang tinggal bersama isteri dan anaknya. Mereka adalah keluarga Naga siluman yang doyan sekali menyantap manusia yang terjebak disana.
Padahal baru saja dia melaporkan perbuatan Dadhungawuk yang baru saja menghajar Glagah Jenar, putera penguasa tanah perdikan, Panembahan Somawangi. Setelah bermasalah dengan Panembahan Somawangi kini mereka juga akan menghadapi kemarahan Nagabadra.
“Katakan anakku, apakah kau memburu ular itu di hutan larangan?” tanya ki Lurah.
Santika menggeleng cepat. Heran juga, kenapa ayahnya nampak begitu mencemaskan ular yang dibunuhnya. Padahal yang dibunuhnya hanyalah ular biasa.
“Tidak ayah. Aku bertemu ular itu di sekitar perbukitan Ketileng,” sahut Santika.
“Nampaknya dia sedang kebingungan mencari jalan pulang, setelah memburu mangsanya.”
Lurah Rekso memandang wajah puteranya dalam-dalam. Entah apa yang ada dalam pikirannya, dia juga tidak tahu. Yang jelas kecemasan nampak membayangi wajahnya. Namun akhirnya dia mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu berkata kepda puteranya.
“Baiklah kalau begitu. Sekarang pergilah kau menemui pamanmu Jogoboyo.”
Santika memandang wajah ayahnya sejenak. Lalu tanpa bicara lagi, pemuda itu bergegas pergi ke rumah ki Jogoboyo, kepala penjaga dan keamanan desa Jalatnda.
Sementara Lurah Rekso memandang Eyang Senthir dengan cemas. Seperti Acarya, mendadak dia juga memiliki firasat yang buruk.
“Bagaimana pandanganmu Acarya? Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Lurah Rekso berjalan mondar-mandir di depan Eyang Senthir.
“Apa ini ada kaitannya dengan mimpimu tadi malam? Mengapa aku mulai mempercayainya Acarya? Mendadak aku merasa cemas dan jantungku berdegup cepat.”
Eyang Senthir menghela nafas panjang tapi tidak berkata apa-apa.
“Acarya, apakah ini artinya kita akan menghadapi kemarahan Panembahan Somawangi dan Nagabadra?” tanya Lurah Rekso kepada Eyang Senthir.
Eyang Senthir masih terdiam, namun kerut di keningnya nampak semakin dalam. Pertanda dia sedang berpikir keras. Bayang-bayang petaka menggelayuti pikirannya.
“Sebaiknya kita periksa hewan buruan yang dibunuh Santika. Kita akan tahu apakah ular itu keturunan Nagabadra atau bukan.”
Lurah Rekso mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dia memrintahkan penjaga agar membawa salah satu keranjang berisi daging buruan ke halaman Dalem Kelurahan. Kemudian Eyang Senthir memeriksanya dengan seksama. Namun dengan sekali pandang, dia sudah dapat memastikan bahwa hewan yang dibunuh Santika adalah seekor ular naga yang belum tumbuh kakinya.
***
Hutan Kecipir geger. Dari dalam kegelapannya, terdengar suara auman yang sangat mengerikan. Getaran suaranya terdengar menggema diantara pepohonan besar yang tinggi menjulang. Kadang suara auman itu berubah seperti suara lolongan serigala di malam purnama yang begitu memilukan. Menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Lain waktu, berubah lagi menjadi teriakan kemarahan yang begitu mengerikan.
Tiba-tiba tanah di hutan Kecipir berguncang hebat. Angin bertiup kencang entah darimana datangnya. Pepohonan bertumbangan satu persatu, rata dengan tanah. Lalu kengerian itu terjadi. Tanah hutan Kecipir terbelah menjadi dua bagian Tak lama, sesuatu muncul dari dalam belahan itu disertai auman dan lolongan yang menggetarkan. Seekor ular raksasa berkepala dua. Satu kepala ular jantan yang mengaum dengan penuh kemarahan dan satu kepala ular betina yang melolong penuh kesedihan. Rupanya inilah ular raksasa yang disebut Eyang Senthir sebagai Nagabadra. Ular yang terlahir sebagai kembar siam sehingga memiliki dua kepala dalam satu tubuh. Naga penguasa hutan Kecipir atau hutan larangan.
Dengan teriakan kemarahan, naga jantan menyemburkan api dari mulutnya. Wush! Pepohonan hutan langsung terpanggang dengan cepat menjadi abu. Hewan-hewan penghuni hutan pun berlarian menyelamatkan diri. Teriakan kesakitan dan bau daging gosong begitu menyengat tercium dimana-mana. Kedua naga itu mengamuk dan bergerak kesana kemari. Tidak memberi ruang siapapun yang berani lewat di depannya.
Rupanya Nagabadra baru saja mendapatkan gambaran tentang puteranya yang dibunuh secara keji dan dipotong-potong menjadi bagian kecil-kecil. Orang tua mana yang tidak tersulut kemarahannya mengetahui hal yang seperti ini.
“Aargh! Aargh!” teriak kepala ular jantan.
“ Huu! Huuu!” jerit tangis kepala ular betina.
Tiba-tiba kepala ular jantan terpotong dan meloncat ke udara. Ketika mendarat ke bumi kepala ular jantan itu berubah menjadi sosok manusia. Dengan pakaian abu-abu tua yang terlihat sedikit berkilau terkena sinar matahari, laki-laki ini berdiri tegak. Walaupun rambut dan jenggotnya sudah berwarna putih, tapi tubuhnya begitu tegap dan gagah. Inilah Badranaya, sosok manusia jelmaan Nagabadra jantan. Raut mukanya begitu gelap karena tertutup rasa amarah dan dendam kepada rakyat Jalatunda.
“Akan aku bunuh kalian semua!” suara teriakan Badranaya mengguntur di kaki langit.
Dipandanginya wajah isterinya yang terus terisak. Hatinya begitu di sayat kesedihan. Putera mereka satu-satunya, yang masih tumbuh berkembang, tiba-tiba dibunuh. Kemudian tubuhnya dipotong-potong tanpa ampun untuk dijadikan santapan manusia.
“Redakan amarahmu isteriku, tenangkan hatimu,” ucap Badranaya, jelmaan naga jantan. “Aku berjanji untuk membunuh seluruh keturunan Jalatunda sampai tak tersisa.”
“Huhuuu!” tangis Nyai Nagabadra semakin keras. Hatinya dipenuhi dendam kesumat kepada orang-orang Jalatunda. “Pergilah suamiku, tuntaskan dendammu. Aku akan menunggumu dalam satu purnama.”
Badranaya membalikkan tubuhnya. Dengan langkah tegap dia segera berjalan meninggalkan hutan Kecipir. Meninggalkan isterinya yang sedang terpuruk penuh luka. Membawa dendam untuk dilampiaskan kepada seluruh penduduk dan keturunan Jatunda.
Terimakasih telah berkenan membaca karyaku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
KIA Qirana
Hutan Kecipir, apa itu berarti banyak tumbuhan Kecipir 😱😱
Salam dari
Era Berdarah Manusia
I Firmo
🌷🌷🌷🌷
2021-10-20
1
nonk sa
suka banget
2021-07-31
1
bumade
seru kakak ceritanya☺☺☺
2021-05-27
1