FIRASAT MIMPI
Seperti sebuah kutukan yang selalu bersenandung di tiap kehidupan, kekerasan seperti rumput liar yang tidak akan mati walaupun mengalami kemarau yang panjang. Suasana di tempat perjudian Kalangan terasa begitu mencekam. Sebagian besar orang masih memusatkan perhatiannya kepada Santika, putera Lurah Jalatunda. Hanya beberapa pengawal yang begitu sibuk menolong pemuda yang menjadi korban pengeroyokan anak buah Dadhungawuk, sang Berandal Jalatunda. Pengawal-pengawal lainnya bergerak mengepung tempat perjudian terbesar di kadipaten Wirasaba bagian selatan.
Santika berdiri tegak di tengah-tengah Kalangan. Pandangannya menatap tajam Dadhungawuk dan anak buahnya. Wajah pemuda berparas tampan itu nampak memerah karena marah.
“Dan hari ini, untuk kesekian kalinya, kalian telah membuat masalah besar!” bentak Santika. Pandangannya memutar, memandang orang-orang yang ada disitu satu persatu.
Orang-orang saling memandang satu sama lain, lalu mengalihkannya kepada pemuda yang tergeletak tadi. Siapa pemuda itu sehingga Santika begitu marah?
“Kalian tahu siapa pemuda yang sekarat dihadapanku ini?” tanya Santika.
Orang-orang hanya terdiam, seperti Dadhungawuk mereka juga merasa penasaran.
“Ini adalah Glagah Jenar, putera Panembahan Somawangi, penguasa tanah perdikan Somawangi,” tegasnya.
Semua orang tersentak. Panembahan Somawangi? Dia adalah salah satu panglima perang yang diberi tanah perdikan* oleh Kanjeng Sinuhun* Penguasa Mataram.
Santika memandang tajam Dadhungawuk yang berdiri mematung. Berandal itu tidak mengenal Glagah Jenar, tapi dia tahu siapa Panembahan Somawangi. Seorang sakti yang datang dan perginya seperti angin malam, kita bisa merasakan sejuknya sekaligus bahayanya. Kalau benar pemuda itu adalah puteranya, itu artinya mereka akan menghadapi kemarahan sang Panembahan.
Anak buah Dadhungawuk serentak mundur menjauh. Wajah-wajah mereka menjadi gelisah. Hanya Junggul Wiro yang masih tegak berdiri dibelakang bosnya.
“Dasar begundal-begundal bodoh tak berguna!” bentak Santika lagi. “Sekarang kalian berada dalam masalah besar!”
Lalu dia berbalik memandang Dadhungawuk.
“Dan kau Dadhung, jangan kemana-mana. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatan anak buahmu!”
Tanpa bicara lagi pemuda tampan itu segera menaiki Jalitheng, kuda hitam kesayangannya. Dengan sekali sentak, Jaliteng langsung melesat membawa tuannya pulang ke Dalem Kelurahan diikuti para pengawal lainnya.
***
Di Dalem Kalurahan, Lurah Reksoyudo sedang berbincang serius dengan Eyang Senthir. Lelaki tua berpakaian serba putih itu adalah seorang Acarya, pendeta Budha yang bertugas menjaga Sanggar Pamujan, tempat peribadatan penduduk desa Jalatunda.
“Apa yang akan kau sampaikan Acarya. Kenapa wajahmu begitu gelisah?” tanya ki Lurah Reksoyudho.
Eyang Senthir menghela nafas panjang. Sejak pagi dia nampak begitu gelisah, memikirkan mimpi yang dialaminya tadi malam. Dia melihat matahari kembar di Jalatunda.
“Aku mempunyai firasat buruk dengan mimpiku ki Lurah. Bagaimana mungkin ada matahari kembar yang begitu panas membakar desa kita?” kata Eyang Senthir.
Lurah Rekso memandang wajah Acarya. Dia tahu brahmana suci yang duduk didepannya itu memiliki firasat yang tajam. Karena itulah dia sangat memahami kekhawatiran sang Acarya.
“Lalu apa yang harus aku lakukan Acarya?” tanya ki Lurah.
Eyang Senthir menggelengkan kepalanya. Firasat hanyalah gambaran semu akan sesuatu yang akan terjadi dimasa mendatang. Tapi kita tidak akan pernah mendapatkan jalan keluar sebelum firasat itu berubah menjadi kenyataan.
“Oh, Dewata Jagad Batara, lindungilah kami dari segala serangan setan manusia dan setan dalam wujud siluman ghaib,” desisnya.
Lurah Rekso menerawang ke langit mendengar doa-doa Acarya.
“Sudah empat puluh tahun aku memimpin desa ini menggantikan ayahku. Dan selama itu, kita hidup baik-baik saja. Bahkan panen tahun ini pun berlipat melebihi tahun sebelumnya. Mudah-mudahan kekhawatiranmu hanyalah firasat yang tidak nyata Eyang”
Eyang Senthir mengangguk-anggukkan kepalanya. Benar semua apa yang diucapkan Lurah Rekso. Jalatunda memang desa yang sangat makmur, bahkan terlalu makmur.
Terletak di sudut pertemuan antara dua perbukitan besar, perbukitan Kethileng dan perbukitan Girilangan, Jaltunda diberi begitu banyak keberkahan. Tanahnya sangat subur, apapun yang ditanam warga desa pasti memberikan hasil yang berlimpah. Air tidak pernah kekurangan. Sungai Tambra yang membelah desa menyediakan air dalam jumlah yang cukup untuk semua kebutuhan warga desa. Mandi, mencuci, mengairi sawah dan keperluan lainnya. Ibarat tongkat kayu dilempar ke tanah Jalatunda pasti akan tumbuh dan berkembang dengan baik.
Tapi sayang, keadaan ini membuat mereka lupa diri. Kemakmuran yang begitu melimpah membuat warga Jalatunda mulai meninggalkan jalan tuhannya. Mereka mulai jarang datang berdoa ke sanggar pamujan. Hari-hari mereka disibukkan untuk memikirkan menghabiskan uang mereka. Mereka begitu acuh dengan nilai-nilai agama, walaupun mereka masih menghormati dirinya sebagai seorang Acarya.
Lalu seorang abdi memberitahukan bahwa Santika, putera ki Lurah sudah kembali dari perburuan. Lurah Rekso dan Eyang Senthir segera bangkit dari duduknya. Mereka berdua berjalan ke pendopo untuk menyambut kedatangan putera mahkota calon pemimpin desa Jaltunda.
Terdengar derap kaki kuda yang dipacu dengan cepat. Bahkan saat memasuki halaman Dalem Kelurahan yang sangat luas, Jalitheng masih berlari dengan kencangnya. Dibawah sebuah pohon beringin barulah kuda hitam itu menghentikan larinya. Begitu turun dari kudanya, Santika berjalan cepat ke pendopo Kelurahan.
“Salam ayah, salam eyang,” sapa Santika. Wajahnya nampak begitu tegang.
“Wah, anak ayah yang paling ganteng, bagaimana hasil perburuanmu?” tanya ki Lurah sambil memegang kedua bahu puteranya. Ada kelegaan yang tersirat, melihat putera satu-satunya pulang dari perburuan dengan keadaan selamat. “Apa yang kau dapat hari ini?”
Santika menggelengkan kepalanya.
“Mohon maaf ayah, ada hal penting yang harus nanda sampaikan.”
Lurah Rekso mengajak Eyang Senthir dan Santika masuk ke dalam ruang emperan. Dia tidak mau ada orang lain yang mendengar percakapan mereka. Siapa tahu puteranya membawa berita penting.
“Sekarang duduklah dan tenagkan dirimu. Baru kau boleh bercerita,” kata ki Lurah.
Setelah duduk dan menenangkan dirinya, Santika menceriterakan peristiwa yang terjadi di Kalangan. Seketika wajah lurah Rekso nampak mengeras karena menahan amarah.
“Hrrmm, lagi-lagi Dadhungawuk,” ucapnya geram. “Dimana tubuh putera Panembahan Somawangi sekarang?”
“Para pengawal sedang mengurusnya ayah. Mereka membawanya ke Sanggar Pamujan, biar dirawat Eyang Senthir,” sahut Santika sambil menatap sang Acarya.
Lurah Rekso mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tindakanmu sudah benar anakku, “ kata Lurah Rekso. “Sekarang pergilah ke rumah pamanmu Jogoboyo. Katakan aku memanggilnya. Aku ingin Kalangan ditutup dan bawa Dadhungawuk ke hadapanku.”
“Baiklah ayah,” sahut Santika.
Pemuda tampan itu segera berdiri. Namun lurah Rekso memegang kedua bahunya.
“Oh ya, bagaimana hasil perburuanmu di Alas Salamerta?”, kata ki Lurah.
“Aku tidak tahu ayah. Tiga hari aku menjelajah hutan, tapi tak menemukan seekor binatang pun disana,” sahut Santika.
Lurah Reksoyudho mengernyitkan keningnya, dia merasakan ada sesuatu yang ganjil di Alas Salamerta, tempat perburuan yang hanya boleh di masuki sebulan sekali.
Perdikan : daerah otonom hadiah raja untuk seseorang yang berjasa kepada Negara.
Kanjeng Sinuhun : Sebutan untuk raja Jawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Li Permana
Next kak, bagus banget ceritanya
2021-10-26
1
KIA Qirana
Semoga mimpi indah 👍👍👍
Era Berdarah Manusia
Lanjut
⭐⭐⭐⭐⭐
2021-10-20
1
Dhina ♑
Bencana sedang mengintsi
2021-06-01
2