OASE DI PADANG TANDUS
Selalu ada perkecualian di dalam kehidupan. Diantara bunga-bunga yang berkuncup lima ada salah satunya yang berkuncup enam. Diantara kawanan burung yang melintas di langit, ada satu burung lebih menikmati kesendiriannya. Diantara gadis-gadis Jalatunda yang sudah kehilangan rasa malu pada dirinya, ada satu wanita yang tetap memegang teguh moralitas dan budi pekerti. Dia seperti mata air atau oase di padang tandus.
Dan inilah perempuan yang dijuluki bunga mawar Jalatunda, Miryam. Perumpamaan wanita semacam ini di mata manusia tak bisa disamakan, kecuali dengan mutiara yang tersimpan sehingga tidak sembarangan orang dapat mengotorinya. Tak seorang pun mampu mengusik kemuliaan dan kesuciannya.
Bagaikan bunga mawar yang tertutup dedaunan, baunya yang harum semerbak keluar dari rumah ki Jogoboyo dan menyebar ke setiap sudut Jalatunda. Aroma wanginya membangkitkan harapan mulia dalam jiwa para pemudanya yang menghindari wanita-wanita lain yang banyak dipuja orang. Banyak pemuda-pemuda dari keluarga terhormat ingin meminangnya sebagai pendamping hidupnya. Namun sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya, Miryam sudah memendam rasa cintanya kepada Santika, putera lurah Reksoyudho.
Santika adalah pemuda yang paling disukai gadis-gadis Jalatunda. Wajahnya tampan, tubuhnya tinggi tegap, terpelajar dan perilakunya selalu terjaga. Sebagai putera seorang lurah, Santika tidak pernah sombong, selalu siap membantu siapapun yang membutuhkan. Hobinya berburu. Hampir seminggu sekali dia menejelajah hutan-hutan diantara perbukitan Kethileng dan perbukitan Grilangan untuk berburu binatang liar.
Sesungguhnya Santika dan Miryam berteman sejak kecil, karena hubungan persahabatan ayah mereka. Jogoboyo, ayah Miryam, adalah kepala keamanan desa Jalatunda. Sebagai desa yang kaya, Jalatunda mampu membiayai pasukan keamanan sendiri. Saat kecil, Miryam sering di ajak ayahnya ke Dalem Kelurahan untuk urusan pekerjaan. Sehingga dia sering bertemu Santika dan bermain bersama. Demikian juga sebaliknya, Santika sering bermain ke rumah Miryam.
Namun sejak remaja, gadis tercantik di Jalatunda ini jarang keluar dari rumahnya. Sejak ibunya meninggal, Miryam lebih suka menghabiskan waktunya di rumah. Dia hanya keluar rumah saat menyelesaikan pekerjaan yang paling disukainya, yaitu mencuci baju di sungai. Disanalah dia bisa menyegarkan dirinya di sungai Tambra yang bening airnya.
Tok! Tok! Tok! Terdengar suara pintu diketuk.
Ah, pagi-pagi sudah ada tamu, batin Miryam. Gadis cantik itu bangkit dari duduknya dan bergegas ke ruang pendopo. Baru saja masuk ke ruang pendopo, langkahnya langsung terhenti. Miryam diam terpaku melihat sesuatu yang tidak dipercayainya. Santika, pemuda idamannya, nampak sedang menambatkan kudanya pada pohon jambu besar di depan rumah.
“Eh, Miryam!” panggil Santika ketika melihat gadis itu. “Paman Jogoboyo ada?”
“Eh! Ehm, masuk dulu mas Santika. Silahkan duduk,” sahut Miryam gugup.
“Kamu kok jadi sungkan sama aku. Panggil mas segala,” goda Santika.
Miryam tertunduk malu, Ada rona merah yang membias diwajahnya yang bening sempurna. Eh, memang tidak seharusnya dia bersikap begitu, Santika kan teman kecilnya.
“Paman ada?” tanya Santika sekali lagi. Matanya tak lepas dari wajah Miryam.
Miryam mengangguk cepat. Inginnya dia segera meninggalkan ruangan itu, tapi kakinya seperti terpaku. Memalukan sekali, kenapa dia malah jadi salah tingkah. Setelah menguasai dirinya, Miryam masuk ke dalam. Tak lama kemudian, ki Jogoboyo keluar dari kamarnya. Memakai seragam keprajuritan, sebagai kepala keamanan desa Jalatunda.
“Silahkan duduk Santika,” sahut ki Jogo. “Ada yang ingin kau bicarakan?”
Santika mengangguk. Lalu dia menceriterakan peristiwa yang terjadi di Kalangan.
“Apakah kau yakin kalau yang menjadi korban penganiayaan anak buah Dadhungawuk adalah putera Panembahan Somawangi?” tanya ki Jogoboyo.
Santika menganggukkan kepalanya.
“Tentu saja aku yakin ki Jogo. Aku pernah belajar brsamanya di Kotaraja. Walaupun tidak begitu akrab, tapi beberapa kali kami pulang bersama saat liburan.”
Ki Jogoboyo mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau sudah melaporkan peristiwa ini kepada ayahmu?”
“Sudah. Ayah menyuruhku datang ke sini. Paman diminta menghadap ayah sekarang juga,” sambung Santika.
Wajah ki Jogoboyo nampak berkabut, bias kemarahan tergambar dari raut mukanya. Terbayang dimatanya bagaimana kemarahan Panembahan Somawangi, tokoh sakti yang sangat disegani di dunia persilatan dan kemiliteran. Kalau sampai peristiwa ini terjadi, mungkin inilah masalah paling berat yang harus dihadapinya selama dia menjadi Jogoboyo.
Jogoboyo memanggil pengurus kudanya. Lalu memanggil Miryam untuk datang mendekat. Dia juga memakai pakaian seragam, lengkap dengan senjatanya.
“Miryam, ayah harus pergi ke kelurahan,” kata ki Jogo. “Jangan pergi kemana-mana sebelum ayah pulang.”
“Baik ayah,” jawab Miryam singkat.
Ki Jogoboyo kemudian menaiki kudanya. Dengan sekali sentak, kuda putih tinggi besar itu melesat meninggalkan rumah Jogobayan menuju Dalem Kelurahan.
Miryam melihat kepergian ayahnya dari balik pintu. Aneh, kenapa ayahnya memakai pakaian keprajuritan? Seperti mau perang. Lalu dilihatnya Santika sedang tersenyum memandang pohon jambu air yang tumbuh meneduhkan halaman Jogobayan. Miryam jadi merasa malu. Santika pasti sedang membaca tulisan-tulisan yang dia goreskan di batang pohon jambu itu.
“Miryam!” panggil Santika. “Pohon Cinta kita tumbuh semakin kuat ya?”
Santika mengambil salah satu buah yang matang. Lalu berjalan mendekati Miryam. Matanya menatap gadis itu dalam-dalam. Ada sesuatu yang ingin disampaikan, tapi tak terucapkan.
“Ini untukmu,” kata Santika sambil mengulurkan buah jambu yang dipegangnya.
Miryam menerimanya sambil tersenyum malu, namun hatinya begitu senang.
“Ehm, kalau begitu aku pulang dulu ya?” hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Santika.
Miryam mengangguk. Setelah Santika pergi, gadis itu duduk dibawah pohon Cinta. Di batang pohon jambu itu banyak goresan nama dirinya dan nama Santika. Kemudian Miryam mengukir gambar baru berujud emotikon cinta. Lalu di dalamnya dia menulis angka 1515. Menumpahkan isi hatinya yang sedang bahagia.
***
Matahari sudah tergelincir ke ufuk barat. Tapi ki Joboyo belum juga kembali. Miryam jadi gelisah apalagi dia harus mencuci pakaian kotor yang menumpuk.
“Eh, sudah sore, kenapa ayah belum pulang?” pikirnya sambil mengemas pakaian-pakaian kotor dan menaruhnya ke dalam wadah cucian. Setelah menunggu ayahnya beberapa saat, akhirnya dia memutuskan sendiri untuk pergi ke sungai.
Namun ada yang aneh. Suasana desa begitu sepi. Tidak ada anak-anak yang biasanya berlarian di jalan atau bermain di pematang sawah. Sungai Tambra juga nampak lengang. Tidak ada seorangpun yang mandi atau mencuci pakaian seperti biasanya.
‘Ada apa dengan orang-orang?’ batinnya. ‘Sepertinya mereka takut keluar rumah.’
Setelah menaruh cucian diatas batu, gadis itu melepaskan pakaiannya satu persatu. Hingga tersisa pakaian dalamnya saja. Sungguh keindahan yang sempurna. Tubuh Miryam begitu mulus. Lalu bibir tipisnya mulai bersenandung. Mengumandangkan lagu Asmarandhana, yang menuturkan kisah cinta seorang ksatria dengan puteri raja. Tanpa disadari, ada sorot mata merah yang memelototinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Terimakasih berkenan membaca karyaku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Abu Alfin
Dukungan datang dari Markas
🙏🙏🙏
2021-12-13
0
KIA Qirana
Pengen merasakan, mengalami hal seperti di film, atau cerita. Menemukan Oase 🤗🤗👍👍
Salam 🙏🙏
Era Berdarah Manusia
I Firmo
💕💕💕💕
2021-10-20
1
Rosananda
Bagus sekali ceritanya 👍 saya suka cerita seperti ini daripada Cerita roman.👍👍👍👍👍👍👍👍
2021-09-17
1